Kilasan kalimat judul diatas mungkin banyak diucapkan ketika mengetahui salah satu stafsus milenial mengundurkan diri. Lha bagaimana tidak sekian triliun rupiah program pelatihan pra kerja sudah ditangan, perusahaan sudah dapat income lumayan dan yang pasti tidak perlu berdebat meladeni tantangan berdebat yang viral itu.
"Kejadian ini mungkin muncul dikarenakan belum matangnya watak seseorang atau belum dewasanya seseorang ketika mengemban amanah namun mendapati "opportunity" yang begitu besar" kata beberapa kawan yg juga alumnus universitas luar negeri di salah satu WAG. " Doi kayaknya belum pernah bergabung di Val Institute" ( Val itu adalah nama supervisor salah satu perusahaan cleaning service di Perth) sambil memunculkan emoticon tertawa, " ah dia mah elit, mana mau kerja nguli ngebersihin toilet yang kadang berkerak guys" sambung beberapa member yang lain.
Memang banyak kawan kawan para alumni universitas luar negeri yang menyambung kehidupan dan masa studinya dengan bekerja sebagai cleaning service atau pekerjaan kasar lainnya. Manfaat yang didapatkan selain untuk menutupi kebutuhan selama hidup di negeri orang adalah belajar tentang kehidupan, belajar tentang bagaimana kelompok kecil, society paling bawah yang rentan, dan akan memberi kita satu pelajaran yang sangat mendalam sehingga memudahkan kita untuk mengapresiasi hasil kerja orang lain meskipun terlihat hina.
Kejadian sebulan terakhir yang rame terkait perilaku stafsus milenial yang mungkin kita Ndak perlu sebut namanya, mengingatkan akan kejadian yang saya alami sendiri di kisaran tahun 2015-2016. Dimana saat itu saya terpilih menjadi Presiden Curtin University postgraduate student association, orang Indonesia pertama lagi, kurang apa lagi coba hahahahahahaha.
"Ah itukan hanya organisasi sama kayak OSIS saja bro, Ndak usah dibesar besarkan" kata seorang kawan mengingatkan. Betul itu cuman organisasi kampus, yang masa jabatannya hanya setahun dan bila beruntung bisa setahun lagi. Namun demikian bukan cerita tentang menjadi presiden student association yang saya ceritakan, yang mewakili mahasiswa di lima university council meeting, bukan. Tapi saya ingin bercerita tentang bagaimana konflik of interest dalam jabatan itu harus di manage dengan baik.
Pada masa itu, CUPSA memiliki program grant bantuan kepada research student at any memiliki kendala financial khususnya utk mereka yg berasal dari Negara berkonflik dan miskin.Â
Saat itu anggaran yang dikelola CUPSA setara dengan anggaran 1,5 miliar rupiah dalam setahun utk berbagai macam programnya termasuk grant bantuan keuangan. Kebetulan saat ini saya pribadi mendapat beasiswa dari Dikti entah batch yang keberapa ( saking pahitnya pengen melupakan) yang selalu telat dalam pengiriman, belum lagi masalah pencairan yang kadang nilai tukarnya jauh dibawah saat pencairan (selisih 100-200 rupiah per dollar nya).Â
Dengan kondisi keuangan yang seret, plus adanya peluang mendapat grand dengan mudah (karena final decision ada di presiden setelah rapat committee) berkecamuk lah dalam diri ini, apply tidak, apply tidak, apply tidak. Saking gundahnya saya mengkonsultasikan dengan beberapa orang yang mana Jawabannya selalu mengembalikan ke diri pribadi. Berat man....$1500-$2500 dollar lho........ Pada akhirnya saya tidak mengambil grant itu.
Disisi lain, begitu saya memiliki otoritas untuk meng-approve grant bantuan itu, tidak sedikit sebetulnya yang "meminta tolong" ataupun berbasah-basih untuk konsultasi terkait cara jitu mendapatkan grant. Saya pernah ada seorang kawan baik, sangat baik, yang meminta khusus agar dibantu dalam applying the grant, saya bilang gini " meskipun kamu sangat dekat dengan saya tidak menjamin aplikasi mu akan lolos otomatis, penilaian sangat ketat dan semua ada ukuran dan standartnya, andaipun lolos, itu bukan karena saya" mendapat jawaban seperti itu sang kawan agak meradang, seolah olah saya tidak menolong dia. Akhir cerita akhir grant diputuskan siapa yang dapat dan siapa yang tidak dapat.
Dari cerita ini bisa dirasakan konflik kepentingan yang berat, kebutuhan diri, kawan dll.
Andai saat itu saya tidak stick di rule and regulation plus mengabaikan konflik interest, sangat mungkin committee evaluasi memiliki senjata kuat, saya mahasiswa dari Indonesia di posisi itu, dimana stigma negatif sebagai negara yang koruptif menjadikan sasaran tembak, belum lagi saya juga aktif di organisasi keagamaan, pas cocok menjadi amunisi di negeri kangguru.
Keinginan utk menjaga nama baik Indonesia, agama yang saya anut, orang tua dan bagaimana anak saya nantinya mengenang saya menjadikan saya harus berhati-hati dalam bertindak.
Semoga bisa jadi pembelajaran bersama
tulisan ini juga bisa ditemui di facebook.com/fitrianto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H