Jadi ingin nih cari tahu the reason behind the hadith " Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (HR Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi) Setelah Ustadz Abdul Shomad menggunakan sebagai dalil dalam memberi tauziah terkait pemberian selamat pada hari ibu yang viral beberapa waktu lalu.
Sekilas hadith diatas cocok untuk pengarus utamaan kebhinekaan, misalnya yang menyerupai pakaian orang Jawa maka dia dianggap orang Jawa, yang menyerupai orang Banjar maka dia dianggap orang Banjar dan seterusnya sehingga proses asimilasi dan pembauran bisa berjalan. Namun demikian hadith diatas bila digunakan untuk segregasi, pengkamplingan atau kepentingan untuk "persaingan" antar golongan maka yang muncul adalah konflik antar golongan.
Bila ditarik ke kata “tasyabbuh” berasal dari wazan “tafa’ul” dalam bahasa Arab ini menjadi menarik dimana kata ini akan bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Kata kerja dengan wazan ini mengandung faidah : Yaitu perbuatan tasyabbuh dilakukan sedikit demi sedikit, awalnya seseorang merasa terpaksa dengan perbuatan ini hingga lama-lama ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.
Lha dari sini bila kita telan mentah mentah, maka apapun baik sistem atau nilai yang berasal dari golongan "sebelah" akan membuat golongan yang meniru lama kelamaan akan tunduk kepada golongan yang ditiru!‘.
Hal hal apa saja yang termasuk "tasyabbuh bil kuffar"?
Main fesbook? ngeklik email? pamer foto via instagram? mengucapkan selamat hari raya kepada umat lain? cara berpakaian? ikut merayakan tahun baru?
Bagaimana bila meniru sistem pendidikannya? atau malah terlibat dengan sistem pendidikan (bersekolah atau menjadi pengajarnya) atau sistem perkantoran dan manajemen (bekerja untuk sistem yang dianggap kufar, asing dan tidak menganut syariat) apakah juga kena pasal itu?
Namun demikian terdapat pula pendapat yang mentafsirkan hadith diatas sebagai upaya untuk meniru perilaku golongan golongan yang berakhlag dan berperilaku baik " barangsiapa yang menyerupai orang-orang shalih dan mengikuti mereka, ia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang shalih dimuliakan" dan tentu saja penafsiran ini juga berperilaku : barang siapa yang menyerupai orang-orang fasiq (mungkin diantaranya suka korupsi, senang menyalahi hukum, menghalalkan segala cara, suka adu domba, hoby menyebarkan hoax dan lain sebagainya) sehingga, ia akan dihinakan sebagaimana orang-orang fasiq itu juga dihinakan.
Terus muncul pertanyaan, apakah hadith diatas bisa digunakan dalam proses persaingan? entar itu dalam konteks perang bersenjata ataupun persaingan dalam kampanye pilkada? Wah kalau menjawab ini kayaknya butuh waktu lama untuk buka buka referensi nih, namun demikian logika bisa kita gunakan, bila dalam kondisi berperang secara fisik, spionase atau mata mata adalah menjadi kunci dalam peperangan untuk mengumpulkan informasi pihak musuh, lha kalau para spionase atau mata mata yang pro kita dikenakan hadith ini secara sakklek? artinya kita memvonis mati mereka dong? atau bila terjadi pertempuran terbuka di medan laga, seragam, cara ngomong atau sandi bisa membuktikan itu teman atau lawan dan ini bisa berlaku kayaknya guna mengantisipasi "penghianatan" orang yang meniru atau mirip dengan "musuh".
Namun dibalik semua ulasan singkat diatas, saya ingin sedikit memberi penutup atas tulisan ini "barang siapa yang terdapat padanya ciri-ciri orang mulia (meniru perbuatan orang mulia), ia akan ikut dimuliakan walaupun belum tentu ia memang orang yang mulia".
Wallahu a'lam Bishowab
Fitrianto Abu Attila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H