Gerakan filantropi atau gerakan kedermawanan dewasa ini semakin masif terjadi, apalagi dimasa pandemi seperti saat sekarang ini. Pada masa seperti sekarang ini jelas membutuhkan komitmen Bersama untuk bangkit, kekuatan Bersama, dan dukungan satu sama lain untuk saling menguatkan. Fenomena tersebut menginterpretasikan solidaritas sosial dan kedermawanan masyarakat kita yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan dari World Giving Index (WGI) pada akhir bulan April (2021), Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dermawan di dunia. Kedermawanan masyarakat kita tentu menjadi warisan budaya terdahulu yakni gotong royong.
Filantropi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu philos yang berarti cinta dan anthropos yang berarti manusia. Secara harfiah filantropi bermakna konseptualisasi dari praktek memberi, pelayanan, dan asosiasi secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Filantropi sendiri dibagi menjadi dua, yakni filantropi tradisional yang dikenal dengan sikap kedermawanan, sedangkan filantropi modern lebih diartikan dengan kedermawanan untuk melakukan perubahan dan keadilan sosial secara struktural berkaitan dengan kemiskinan, hak asasi manusia, lingkungan dan lain-lain. Sekilas makna filantropi sangatlah harmonis sekali. Kata dermawan memiliki makna sifat yang baik, mulia dan mudah memberi. Namun bagaimana jika nilai-nilai harmonis yang baik tadi tercemari oleh kapitalisme?
Filantropi Kapitalisme dan Praksisnya masa kini
Kita mulai dengan sebuah pertanyaan tentang mengapa filantropi digunakan sebagai senjata dan perisai oleh Kapitalisme dalam melindungi dirinya?. Sederhananya disini Filantropi digunakan sebagai tameng perlindungan diri. Jika diibaratkan dalam sebuah formasi, Kapitalisme sendiri adalah sebagai inti dari formasi yang berada di tengah formasi ini, dan filantropi menjadi sebuah cover atau tameng yang kuat karena filantropi sendiri mempunyai substansi yang baik. Jawaban dari pertanyaan sebelumnya menyisakan Pertanyaan lainnya, sekarang siapa yang akan menolak sebuah kebaikan?. Maka dari itu kapitalisme, dengan menggunakan bungkus filantropi, mempretensikan diri untuk menjadi sebuah kebaikan yang mutlak. Maka, kapitalisme yang berbalut filantropi dapat dibenarkan meski secara sepihak.
Jika dikaitkan dengan praksis fenomena di era sekarang, filantrokapitalisme merupakan cara baru dalam melakukan filantropi, yang dicerminkan oleh aktor-aktor korporasi dalam dunia kapitalisme yang ikut terlibat untuk kebaikan umat manusia. Banyak korporasi besar membangun sebuah yayasan amal sehingga dapat menggerakan dan membentuk legitimasi masyarakat untuk semakin percaya pada korporasi tersebut.
Filantropi kapitalisme merupakan langkah yang baik, namun dalam praktiknya seringkali ditunggangi kepentingan tertentu untuk meningkatkan citra untuk sebuah kepentingan keuntungan. Dalam praktik pelaksanaanya filantropi kapitalisme berbeda dengan filantropi sosial. Praktik filantropi sosial sebelum pelaksanaanya perlu memperhitungkan model charity yang sesuai dengan kondisi di masyarakat serta mencari akar penyebab masalah atau ketidaksetaraan yang terjadi. Namun filantropi kapitalisme dalam melakukan praktiknya hanya memperhitungkan untuk mengatasi isu global yang dianggap darurat tanpa memperhitungkan kondisi sosial di masyarakat untuk mencari akar penyebab kondisi tersebut terjadi.
Filantropi dan kapitalisme mungkin merupakan dua sisi yang berbeda namun bila digabungkan menjadi filantropi kapitalisme akan menjadi satu kesatuan sebagai cara baru dalam melakukan filantropi. Tentu saja filantropi kapitalisme tidak bisa terlepas dari istilah kapitalisme. Terlepas dari itu filantropi kapitalisme membawa pengaruh dan dampak yang baik untuk umat manusia melalui dana bantuan. Filantrokapitalisme akan lebih humanis, jika sebelum melakukan praktiknya, melakukan pemetaan akar masalah yang terjadi, kemudian membuat great design charity yang sesuai dengan masyarakat serta sesuai tujuan yang dicapai. Agar dana bantuan dari praktik filantropi dapat tersalurkan dengan tepat sasaran.
Sebagai masyarakat awam, tentu dalam menyikapi fenomena filantropi kapitalisme agar tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah wacana tentang kebenaran atau kebaikan dalam selubung filantropi kapitalisme, karena di balik kebenaran itu, ada kebenaran-kebenaran yang lainnya. Percayalah, sebuah tindakan baik belum tentu baik.
Muhammadiyah Sebagai Teladan Gerakan Filantropi KosmopolitanÂ
Menelisik rekam sejarah filantropi di Indonesia, berawal dari unsur filantropi traditional yang bersumber dari agama baik Kristen maupun Islam. Filantropi kegamaan di Indonesia terkait dengan kegiatan misionaris dan dakwah. Kegiatan penyebaran agama dilakukan dengan penyediaan pelayanan sosial terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial (panti-panti sosial).
Tulisan ini tidak ingin hanya membahas satu sisi saja, kapitalisme. Sebagai penyeimbang Penulis ingin membawa Gerakan Muhammadiyah yang notabene-nya berbasis agama sebagai Gerakan filantropi Kosmopolitan. Secara historis sejak awal berdirinya Muhammadiyah memang lebih menampilkan dirinya sebagai gerakan amal (a philanthropical movement). KH Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, dan murid-muridnya merupakan sosok yang bisa dikatakan kurang tertarik dengan polemik-polemik keagamaan atau teologis, tetapi sangat kuat pada aktifitas-aktifitas kemanusiaan, kedermawanan kepada sesama, sangat cinta sesama, dan gandrung pada pekerjaan-pekerjaan amal atau filantropis. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang pemurah, dermawan, dan suka menolong pada sesama.
Agama Islam itu lebih mementingkan amal dari pada spekulasi-spekulasi teologis. Manifestasi dari jiwa pemurah, dermawan, dan suka menolong antar sesama itu salah satunya tampak sekali dalam pembentukan "PKO" atau "Penolong Kesengsaraan Oemoem"Â (Assistence for Relief of Public Suffering) yang di gagas Muhammadiyah pada tahun 1920-an. Kata oemoem (public) dalam frase "Penolong Kesengsaraan Oemoem" ini penting untuk digarisbawahi oleh karena penekanannya pada kerja-kerja kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama dan suku atau bangsa. Atau bisa juga dimaknakan sebagai Gerakan kemanusiaan kosmopolitan. Jadi, tujuan didirikannya PKO pada masa itu tegas dari Muhammadiyah yang berasas agama Islam dan tegas juga manfaatnya untuk kemanusiaan universal tanpa memandang perbedaan.
Muhammadiyah tidak hanya pada berkutat ideologi dan wacana. Abad ke-2 Muhammadiyah dengan lantang menyuarakan bakti untuk negeri "Ta'awun Untuk Negeri" sebagai upaya praksis Filantropi sebagai Gerakan Reflektif melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), LAZISMU (Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah), MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat). Muhammadiyah membawa peranan penting Filantropi sebagai wujud Gerakan Reflektif dalam mengarungi abad ke-2 Muhammadiyah. Upaya Filantropi yang terus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dengan tujuan terciptanya fungsi sosial tidak hanya sebatas ritual mengatas namakan Filantropi yang sejatinya hanya sebuah eksistensi gerakan sosial tanpa ada upaya pendampingan dan pemberdayaan.
Akhirul kalam, upaya Filantropi akan mampu menjadi Gerakan Reflektif ketika Filantropi berorientasi kepada pemberdayaan sosial masyarakat yang berkeadaban tentunya melalui perubahan institusional yang sistematik dan tetap pada ghirah filantropi kosmopolitan yang berasas Islam dan manfaatnya untuk kemanusiaan secara universal tanpa memandang perbedaan. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H