Dengan lunglai, seperti orang linglung, dia menyeret tubuhnya sendiri, berjalan tertatih tatih. Lalu Begawan Durna pergi menemui Prabu Yudistira. Dia ingin lebih meyakinkan diri, apakah Aswatama putranya itu memang benar telah gugur di medan perang.
Begawan Durna tahu, bahwa Prabu Yudistira mantan muridnya itu adalah seorang ksatria yang jujur, tak pernah berbohong selama hidupnya.
"Anak Prabu Yudistira, tolong katakan, apakah benar Aswatama telah mati di medan perang?", tanya Begawan Durna kepada Yudistira.
Prabu Yudistira menjawab lirih "Ya, bapa Durna. Saya dengar Hes-ti-TAMA telah gugur." Putra sulung Pandawa itu berkata jujur, bahwa yang meninggal adalah Hestitama, bukan Aswatama.
Tetapi nada ucapannya itu lirih. Dan hanya kata "Tama" yang diucapkan agak jelas. Sedangkan Begawan Durna yang tengah dalam pikiran kalut dan suasana hati galau mempersepsi bahwa Aswatama putranya itu mati, seperti diucapkan sendiri oleh Prabu Yudistira.
"Jadi benarkah yang meninggal di medan perang adalah putraku, Aswatama? Jawablah sekali lagi anak Prabu Yudistira", pinta Begawan Durna.
"Benar bapa Durna. Setahuku yang meninggal Hes-ti -TA-MA", jawab Prabu Yudistira.
Demi mendengar jawaban itu, Begawan Durna merasa yakin mendengar kata "Aswatama" bukan "Hestitama".
Maka dia semakin syok. Seketika itu juga mentalnya drop. Tubuhnya ngelumpruk tanpa daya. Napasnya tersengal sengal, menahan duka yang dalam. Dia meratapi nasib sebagai seorang ayah yang kehilangan anak tunggal yang sangat disayanginya.
Akhirnya Begawan Durna seperti orang linglung. Kehilangan Aswatama membuat semangat hidupnya pupus. Tubuhnya lunglai. Ia melepaskan baju panglima perang dan meletakkan senjatanya di tanah.
Dia merasa bahwa hidupnya tak lagi berguna. Aswatama, anak yang dikasihinya telah pergi selamanya. Pandangannya kosong. Dukacita dan depresi yang sangat dalam, membuatnya seperti orang hilang kesadaran dan kewarasan.