Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Menonton Pentas Wayang Kulit yang Unik, Kreatif, Sederhana, Tapi Keren

9 November 2023   14:09 Diperbarui: 9 November 2023   16:37 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penonton melihat pentas dari balik layar atau Kelir wayang kulit (foto: wibhyanto/dokumen pribadi) 

Menonton Pentas Wayang Kulit yang Dikemas Secara Unik, Kreatif, Sederhana Tapi Keren

YOGYAKARTA, -Bunyi gamelan Jawa terdengar dinamis memenuhi ruang pertunjukan, ketika kami tiba di tempat ini. Suluk ki dalang begitu mempesona, seperti sebuah nyanyian kuno dari syair tua berbahasa Jawa.

Bunyi suluk yang menurutku begitu indah dan mirip suatu mantera asing itu, bunyinya begini:

Samsaya dalu araras / abyor kang lintang kumedhap / titi sonya tengah wengi / lumerang gandhan puspita // karenghyan ing pudyanira / sang dwijawara mbrengengeng / lir swarane madubranta / manungsung sarining kembang/ Hooong//

Menurut terjemahan bebasku, kira-kira suluk itu artinya begini:

Malam semakin indah / memancar cahaya bintang bergemerlap / sunyi senyap tengah malam / semerbak bau harumnya bunga // Terdengar suara doa dilantunkan / oleh sang pandita utama / alunan suaranya bergumam / bagaikan suara kumbang, menjemput sarinya bunga/ Hooong//.

Di bagian lain, ki dalang dengan lincah memainkan sabetan dua sosok karakter wayang yang tengah berperang di kelir atau layar pertunjukan. Dua karakter itu adalah Raden Arjuna yang kalem melawan Buto Cakil, raksasa yang gerakannya pethakilan dan ugal ugalan.

Bunyi gamelan bertalu talu dinamis mengiringi adegan peperangan itu. Raden Arjuna dikisahkan menang atas Buto Cakil yang terbunuh oleh senjata kerisnya sendiri. Dan kami, para penonton pun bertepuk tangan.

Pertunjukan wayang kulit ini berlangsung meriah, tetapi tidak berlangsung lama. Sebab pentas ini memang sengaja dikemas berdurasi pendek, sekitar 20 menitan.

melibatkan crew yang sedikit, tetapi pentas meriah dan keren (foto: wibhyanto/ dokumen pribadi) 
melibatkan crew yang sedikit, tetapi pentas meriah dan keren (foto: wibhyanto/ dokumen pribadi) 

Mengapa begitu? Sebab pentas wayang kulit ini memang sekadar khusus ditujukan untuk mengenalkan seni wayang kulit kepada pengunjung galeri atau turis yang datang ke tempat ini, termasuk saya.

Saya kebetulan menemani tiga tamu saya dari Singapore yang sangat ingin mengenal seni budaya wayang kulit di Yogyakarta, di kala itu. Dan mereka saya ajak berkunjung ke galeri seni khusus wayang ini.

Selain menonton langsung pentas wayang kulit, pengelola galeri mengajak kami untuk berkeliling di area galeri, melihat ratusan koleksi karakter wayang kulit dan wayang golek.

Uniknya, selain itu kami juga diajak melihat langsung beberapa pengrajin wayang yang tengah praktik menatah dan menyungging wayang kulit di samping galeri ini.

Pengelola galeri menjelaskan bahwa proses menatah adalah mengukir, mencungkil, memotong detail sebuah karakter wayang yang terbuat dari bahan dasar kulit kerbau atau sapi.

Proses ini perlu dilakukan secara teliti, njelimet, dan hati-hati oleh seniman ukir atau pengrajin khusus, sehingga nantinya menampilkan karakter wayang sesuai pola yang dikehendaki.

Sedangkan menyungging, adalah proses mewarnai karakter wayang setelah selesai ditatah. Melukis dan mewarnai wayang ini memerlukan ketelitian, hati-hati, dan tidak boleh keliru. Misalnya, tokoh Bima dan Gatotkaca warna sungging dominan hitam.

Tokoh satria pandawa umumnya warna sungging kulit tubuh mereka dominan kuning gading. Adapun wajah para raksasa atau para Buto yang cuwawakan dan berangasan itu, umumnya dominan warna tubuh dan wajahnya merah. Dan sebagainya.

Begitulah setiap karakter wayang dibuat dan dikerjakan secara manual, teliti dan hati hati, ditatah dan disungging oleh beberapa pengrajin khusus yang ahli dan sudah terampil di galeri ini.

Oiya, galeri seni khusus wayang kulit yang penulis kunjungi ini berlokasi di jalan Patehan, kawasan keraton Yogyakarta.

Galeri ini khusus menyediakan souvenir wayang kulit yang bisa dibeli oleh para turis. Galeri juga  memberi edukasi dasar tentang wayang bagi pengunjung, menampilkan praktik membuat wayang kulit oleh para pengrajin. Galeri juga mementaskan pertunjukan beberapa adegan singkat cerita wayang kulit, setiap hari.

Sesuai judul artikel ini, hal yang paling menarik di galeri ini bagi saya, dan mungkin menjadi kenangan tak terlupakan bagi siapa pun yang sempat singgah di galeri Wayang Kulit ini, adalah pengalaman menonton pentas wayang yang diracik sederhana, unik, kreatif, tetapi sangat mengesan bagi pengunjung. Nah, mari saya ajak melihat apa keunikan pertunjukan yang mengesankan ini.

penonton melihat pentas dari balik layar atau Kelir wayang kulit (foto: wibhyanto/dokumen pribadi) 
penonton melihat pentas dari balik layar atau Kelir wayang kulit (foto: wibhyanto/dokumen pribadi) 

Persiapan Pertunjukan: Memakai Peralatan Sederhana dan Unik

Seperti kita tahu, umumnya seperangkat gamelan yang dipakai mengiringi pentas wayang kulit, terdiri dari: Kendang, Kempul, Kenong, Gambang, Siter, Suling, Gong, Kepyak, Cempala dan kotak wayang.

Namun seperangkat gamelan fisik yang dipakai dalam pertunjukan di galeri ini sangat sederhana. Tidak selengkap gamelan yang dipakai umumnya dalam pertunjukan wayang kulit. Kok bisa begitu?

Inilah uniknya. Seperangkat gamelan sederhana dan minimalis ini, hanya terdiri dari: kendang, kepyak atau lempengan besi yang dipukul bunyinya cring cring cring, dan Cempala, pemukul kayu yang dipakai untuk memukul kotak wayang dan berbunyi dog dro dog dog dog.

Sehingga ketiga perangkat sederhana ini, jika dicoba ditabuh, dipukul, disatukan bunyinya kira kira begini: "blang tak tak tung tung tak blang, cring cring cring, dog dro dog dog!" atau variasi campuran tempo bunyi bunyian ketiga alat musik itu.

Tetapi tak hanya itu. Seperangkat audio sistem tampak terhubung ke laptop berisi sekumpulan audio bunyi gamelan wayang seutuhnya. Rekaman audio musik suara gamelan ini melengkapi tiga perangkat fisik gamelan tadi.  

Sehingga bisa dibayangkan, bahwa ketika audio musik gamelan di laptop dibunyikan dan dipadu bersama bunyi kendang, kepyak dan cempala, maka yang terdengar adalah bunyi bunyian seperangkat gamelan seolah komplit, "hidup" dan menggelegar bunyinya, terdengar di pengeras suara yang dirancang khusus di areal panggung pertunjukan.

Artinya, sebuah perpaduan teknologi digital, dan perangkat musik tradisional, bisa disatukan menjadi pertunjukan musik gamelan yang harmonis. Kreatif, dan luar biasa bukan?

pertunjukan hanya dikemas dalam durasi waktu yang pendek (foto: wibhaynto/dokumen pribadi) 
pertunjukan hanya dikemas dalam durasi waktu yang pendek (foto: wibhaynto/dokumen pribadi) 

Layar Kelir Pertunjukan

Oiya, panggung mini juga disiapkan khusus untuk pertunjukan wayang ini. Yaitu berupa layar Kelir putih yang disorot Blencong atau spot lampu ke arah layar. Selain itu, barisan wayang kulit ditancapkan berjajar rapi di sisi kiri dan kanan layar, seperti layaknya komposisi Kelir pada pertunjukan wayang kulit pada umumnya.

Semua karakter wayang tampak berdiri menancap pada pelepah batang pohon pisang, atau orang Jawa menamainya dengan "Gedebog Pisang", yang dibentangkan membujur di bagian depan layar pertunjukan.

Barisan wayang Protagonis atau berkarakter satria yang baik ditaruh berjajar di sisi kiri layar. Sedangkan barisan wayang Antagonis atau berkarakter buruk ditaruh berjajar di sisi kanan layar.

Kedua barisan wayang ini dipisahkan oleh ruang layar di bagian tengah untuk pentas ki dalang memainkan wayang selama pertunjukan. Kedua sisi kiri dan kanan ruang layar untuk ki dalang ini disekat dengan pembatas berupa karakter yang disebut Gunungan Wayang.  

Crew yang Minimalis, Tiga Orang

Adapun crew yang terlibat dalam pertunjukan wayang kulit yang dikemas sederhana ini, juga minimalis. Yaitu hanya tiga orang. Terdiri dari: ki dalang yang memainkan wayang, memukul kepyak dan Cempala; lalu pengendang yang menabuh kendang dengan lincah menyesuaikan alunan musik gamelan.

Serta seorang audioman yang mengatur take in dan take out musik yang musti dibunyikan melalui laptop, sesuai kebutuhan atau alur cerita wayang, atau sesuai skenario yang diminta oleh ki dalang. Unik bukan? 

Dengan demikian, pertunjukan kreatif wayang kulit ini tidak memerlukan Wiyogo (penabuh gamelan) seperti penabuh gong, kempul, kenong, gender, siter dan lainnya, termasuk tidak memerlukan kehadiran pesinden wayang kulit.

Sebab posisi Wiyogo itu telah terwakili oleh suara gamelan dan nyanyian sinden yang telah direkam dan diracik dengan baik di perangkat audio system yang khusus disiapkan dan dipakai selama dalam pertunjukan ini oleh audioman. 

Skenario Sederhana, Berdurasi Pendek

Lakon pertunjukan pun disiapkan oleh dalang dan crew, dalam skenario sederhana sebelum pentas, yakni berupa sepenggal kisah dalam rangkaian cerita pertunjukan wayang, dan berdurasi pendek.

Misalnya, sepenggal kisah goro-goro, kisah bambangan cakil, kisah budalan perang boto rubuh, kisah perang dalam Anoman Obong, kisah Ramayana dan sebagainya. Durasi pertunjukan, sekitar 15-20 menit.

Artinya, pertunjukan ini memang sebuah pentas mini, bertujuan khusus untuk edukasi, hiburan dan pengenalan budaya wayang dalam durasi waktu pentas yang terbatas. Sebab sekali lagi, pentas wayang kulit ini memang dikhususkan bagi turis lokal dan asing, termasuk bagi tiga turis Singapore yang saya ajak menonton wayang di galeri ini.

Berbeda dengan pentas wayang kulit pada umumnya yang tampil dalam durasi panjang, bahkan semalam suntuk.

Menurut penulis, meski hanya sepenggal kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang kulit di galeri ini, dan berdurasi pendek, namun nuansa pentas yang megah, dan atmosfir pertunjukan yang menawan, sangat kami rasakan di tempat ini.

Sebab ki dalang, pengendang dan audioman, adalah tim kreatif yang ternyata mereka sudah profesional mengelola pertunjukan wayang kulit ini. Ki Dalang memainkan setiap karakter wayang dengan luwes, bercerita dan memainkan watak setiap tokoh dengan sempurna.

Misalnya, ketika tokoh Arjuna berkelahi melawan Buto Cakil, sabetan wayang atau gerakan adegan itu begitu indah dan halus dimainkan oleh tangan terampil ki dalang yang profesional. Pengendang pun sangat terampil memainkan kendang mengiringi setiap adegan, sambil menyesuaikan tempo musik gamelan yang disetel oleh audioman melalui laptopnya.

Sedangkan audioman membunyikan dan mematikan suara musik gamelan, menyesuaikan alur cerita dalang dan sesuai skenario pertunjukan yang telah dirancang sebelum pentas.

Pertunjukan Mengasyikkan

Pentas wayang kali ini berisi sepenggal kisah Ramayana, tentang pertempuran singkat para pasukan kera pimpinan Sugriwa melawan tentara raksasa dari Alengka. Ketika pertunjukan wayang ini dimulai, audio gamelan dibunyikan, kendang mulai ditabuh dan ki dalang mulai suluk dan bercerita, saat itu pula penulis yang gemar menonton wayang kulit, merasa takjub.

Kami para penonton sangat antusias mengikuti setiap detail alur cerita Ramayana ini, dan seperti hanyut dalam alunan musik gamelan yang mengiringi selama pertunjukan.

Sesekali kami bertepuk tangan dan tertawa ketika merespons gerakan para monyet berjumpalitan digerakkan tangan ki dalang di kelir pertunjukan.

Penulis dan penonton yang hadir di ruang galeri itu, seperti disuguhi suatu pertunjukan wayang kulit yang mewah, megah, "pentas yang hidup" dan keren. "Ini pentas yang mengasyikkan. Sungguh luar biasa", ujar seorang turis yang hadir menonton pertunjukan ini.

Hingga akhirnya seperti tak terasa, pertunjukan menjelang berakhir ketika "ada-ada" atau pertanda ki dalang menyudahi pertunjukan kisah Ramayana ini dengan ending perang kecil. Yakni perang antara bala tentara kera dari Pancawati melawan pasukan raksasa dari Alengka. Suluk ki dalang terdengar demikian:

Sigra cancut gumregut / ngembat watang ngrabasa musuh / tangkep jaja kantaran bahu sayekti / lena-lena prapteng lampus/ sirna madyaning palugon//

Bersegera singsingkan celana dan bergeraklah / membawa tombak menerjang musuh / beradu dada bertabrakan bahu sebenarnya / yang tak waspada akan menemui kematian / hilang di tengah medan perang// (Begitulah kira kira terjemahan bebas saya).

Dan kami para penonton wayang kulit itu pun bertepuk tangan, ketika perang itu pun usai. Dimana ki dalang memberi suatu pesan, bahwa kebaikan akan selalu menang terhadap suatu kejahatan. Lalu pertunjukan itu pun usai.

Kenangan menonton wayang kulit yang dikemas sederhana, unik, kreatif dan menarik di sebuah Galeri Wayang di jalan Patehan, Yogyakarta ini, sungguh berkesan dan tak mudah untuk saya lupakan. 

SELESAI -- penulis: D Wibhyanto, pencinta wayang kulit, tinggal di Jakarta.

#indonesianheritage #hariwayangnasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun