Akhirnya kami tiba di Nusa Penida, seperti saya kisahkan di awal tulisan ini. Rencananya kami shooting selama 3 hari 2 malam di pulau ini. Peralatan shoting dan perlengkapan pribadi kami berlima lumayan banyak, sementara tidak ada angkot di Nusa Penida.Â
Sementara perjalanan masih harus kami lakukan ke lokasi tujuan shooting ini, yaitu di tempat tengah pulau ini, sebuah desa terpencil. Bagaimana menuju ke lokasi shooting itu? Â
Sebagai PD atau pimpinan tim lapangan crew ini, saya akhirnya memutuskan menyewa angkutan milik warga setempat. Maka kami pun diangkut menuju lokasi, jarak tempuhnya sekitar 30 menit perjalanan dari pantai ke arah tengah pulau ini.
Pemandangan sekitar lebih banyak kebun warga yang kering, hutan kecil dan beberapa perkampungan warga yang sederhana. Kebetulan saat itu musim kemarau. Semua tampak gersang, kering dan kuning kecokelatan. Debu debu beterbangan. Panas nian kemarau ini!Â
Menginap di Homestay
Kami tiba di desa tujuan kami (namanya tidak saya sebutkan). Kami mampir dulu ke kecamatan dan diterima sangat baik oleh pak camat dan dinas terkait, sebab demikianlah prosedurnya, sesuai perijinan bahwa kami harus permisi dulu ke pemda setempatt, atau "pihak yang punya kawasan".
Sebagai basecamp kegiatan, kami memperoleh rumah Bali yang bersih dan eksotis di tempat itu, sesuai "arahan dari pusat" untuk menetap di rumah yang ternyata homestay milik warga.
Hari Pertama: Mengecek Lokasi
Didampingi aparat desa setempat, kami dibolehkan jalan jalan, mengambil gambar awal seperlunya, memperbaiki skrip sesuai kondisi lapangan, dan menyiapkan segalanya untuk shooting pada besok sehari penuh di desa ini. Termasuk berbincang dengan beberapa warga setempat.
Oiya, film semi dokomenter ini tentang kehidupan warga desa yang memakai biogas dari kotoran sapi, untuk kegiatan memasak sehari hari.Â
Film ini dimaksudkan untuk film edukasi dan hiburan, sekaligus promosi bagi desa desa lain di Indonesia, agar warga memanfaatkan biogas dari kotoran sapi.
Secara umum akhirnya saya tahu, bahwa tempat ini termasuk desa tertinggal. Sarana dan prasarana umum sangat minim, termasuk bangunan sekolah terbatas hingga SD dan SMP, belum ada sekolah SMA, nun di kala itu.
Sebagian besar warga hidup dari berkebun dan beternak sapi Bali dan sapi Madura, yang warna tubuh sapi sapi itu seperti cokelat Van Hoten. Tubuh mereka kurus, tinggal di kandang kandang sederhana.