Soal Pilihan Ganda: Untung Rugi, Bijaksana Dipakai di Bangku SMA
MenyoalSemasa di SMA, para guru kami di SMA Kolese Seminari Menengah Mertoyudan di Magelang, memakai berbagai model soal ujian, antara lain soal pilihan ganda, soal esai, soal praktikum, dan soal campuran. Khusus soal pilihan ganda, jarang atau malahan tidak dipakai sama sekali untuk menguji kami, terutama untuk pelajaran tertentu, seperti Bahasa Latin, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah Nasional dan Dunia, Cantus atau Seni Suara, termasuk Seni Teater.Â
Tentu para guru kami memiliki alasan tertentu mengapa soal pilihan ganda ini tidak digunakan untuk ujian di sekolah kami.
Contohnya, Mas Sutanto Mendut-- budayawan dan presiden Komunitas Lima Gunung itu--, adalah guru seni drama dan teater di sekolah kami, kala itu. Mas Tanto (demikian kami memanggil guru kami), tak pernah memakai soal pilihan ganda dalam menguji kami para siswanya. Dia menguji memakai metode praktik pentas drama pendek di atas panggung yang sarananya tersedia di sekolah kami.
Untuk pelajaran Bahasa Indonesia, soal pilihan ganda sesekali dipakai guru kami, Pak Gunawan bidang sastra, dan Pak Sunaryo bidang diksi dan gramatika. Soal pilihan ganda dicampur model soal esai dan karya tulis siswa. Khusus Bahasa Latin, Pak Willy Setiarjo guru Bahasa latin kami, sangat jarang sekali atau nyaris tak pernah memakai soal pilihan ganda untuk menguji kami para siswanya. Â
Untuk menguji siswa dalam memahami Sastra Indonesia misalnya, Pak Gunawan menugasi kami untuk membuat karya tulis (seperti skripsi) analisis konten sebuah karya sastra dari perspektif analisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Dan itu tantangan tersendiri bagi kami para siswa SMA ini untuk menyelesaikan tugas itu dengan sempurna, nun di kala itu.
Uniknya, Pak Sunaryo guru Bahasa Indonesia bidang diksi dan gramatika Indonesia, menguji kami hampir setahun penuh tak memakai soal pilihan ganda, khususnya bagi kami siswa yang duduk di kelas 3 SMA atau kelas 12. Pelajaran selalu diisi teori dan praktik ujian terus-menerus, membahas satu hal soal esai dari suatu kasus kalimat tertentu. Pertanyaannya selalu: "tentukan struktur mana DM-MD, SPOK, mana induk kalimat dan anak kalimat dari sebuah kalimat berikut ini".
Siswa diminta maju satu-satu untuk dikoreksi hasil esainya. Jika dinyatakan lulus, siswa mendapat poin nilai tertentu. Jika siswa gagal dan salah menjawab esai, dia boleh mengulang sampai dinyatakan benar dan lulus. Bayangkan, bagaimana ruang kelas menjadi aktif karena kami disibukkan oleh model pembelajaran dan ujian semacam itu. Seru dan penuh tantangan.
Oiya, apakah kami bisa saling mencontek untuk urusan soal esai semacam ini? Eits, jangan salah. Hal itu bisa mudah dilakukan, tetapi tak ada siswa yang mau mengambil risiko. Kami para siswa seminari tahu bahwa aturan utama bersekolah di SMA khusus cowok ini adalah "Dilarang Mencontek" atau "mengorupsi ilmu dari kawan lain", untuk semua jenis mata pelajaran apa pun yang diajarkan oleh para guru kami. Itu larangan keras! Jika siswa ketahuan sekali saja mencontek, dia langsung di-DO, dikeluarkan dari sekolah! Maka kami para siswa seminari sangat memegang teguh prinsip itu jika masih terus ingin bersekolah di SMA pendidikan calon pastur atau santri Katolik ini.
Ilustrasi pendek di atas untuk menggambarkan bahwa soal pilihan ganda bukan menjadi model dominan yang dipraktikkan oleh guru untuk menguji siswa di SMA, setidaknya itu yang terjadi di SMA kami ini. Penulis tidak memiliki pemahaman lebih luas apakah di SMA lain model soal pilihan ganda lebih dominan atau tidak dipakai untuk metode menguji siswa.
Pertanyaannya, apakah model soal pilihan ganda masih relevan bagi siswa setingkat SMA dibanding model soal lainnya? Apa untung-ruginya memakai soal pilihan ganda bagi siswa dan guru? Bagaimana sekolah setingkat SMA bijaksana memakai soal pilihan ganda untuk memajukan kualitas pendidikan di sekolah? Ulasan pendek ini membahas atau menyoal soal itu.