Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah "Ojo Jajan", Anak Mbeling di Stasiun Willem I Ambarawa

3 Agustus 2023   07:30 Diperbarui: 3 Agustus 2023   08:30 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokomotif tipe B25 menjadi salah satu koleksi favorit Museum Kereta Api Ambarawa (foto:dokumen pribadi) 

Kisah   "Ojo Jajan", Anak Mbeling di Stasiun Kereta Willem I Ambarawa

AMBARAWA, - tahun 1975, Stasiun Kereta Api Willem I, Ambarawa.

Ini adalah kisah nyata masa kecilku di Stasiun Willem I Ambarawa. Kisah pengalaman masa kecil ini, sangat mengesan, penuh warna di memori ingatanku.

"Jeess..jeesss jesss.Ojo jajan, ojo jajan, ojo jajan, ojo jajann..Radwe duwitt..Duittt duitttt!" (jees jess jess. Jangan jajan, jangan jajan, gak punya duwit, duwit, duwit),  begitu aku sering menirukan bunyi lokomotif tua yang baru saja memasuki Stasiun Wilem I. Itu adalah lokomotif uap tipe B25 yang datang bersama beberapa rangkaian gerbong penumpang dan barang dari Stasiun Kedungjati, Grobogan, Jawa Tengah. 

Lokomotif uap itu baru saja tiba dari perjalanan jauh dari rute panjang, yakni dari stasiun Kedungjati ke Ambarawa. Oiya, hampir lupa, di tahun 1975 nun kala itu, stasiun tua Willem I Ambarawa masih beroperasi sebagai moda angkutan kereta di wilayah penghubung antara Semarang, Kedungjati, Ambarawa, Magelang dan Yogyakarta.

Sehingga aneka ragam hiruk pikuk suasana stasiun, para penumpang, pedagang asongan, termasuk para kuli panggul, membaur dengan suara  lokomotif yang mendengus keras. Suaranya "josss, josss" begitu bunyinya, saat masinis melepas asap putih tebal dari sisi kiri kanan badan kereta.

Terkadang kereta api uap yang baru tiba itu melepaskan bunyi peluitnya yang kencang: "Tuwitttt! Tuuwiitttt! Tuwittt! Kuuwok kwokk!", dilanjutkan bunyi suara "Jossss..".seperti suara ban kempis. Lalu aku menimpali: "duiiittt..duittt!" begitu kataku, nun di kala itu. Beberapa orang tua sekitarku tersenyum, aku acuh saja.

Aku sering berlarian kecil "nyeker"tanpa alas kaki, menjelajah di dalam areal stasiun yang  luas itu. Membayangkan diri jadi pilot pesawat tempur. Itu kunamai permainan "montor mabur". Sesekali aku nyopir "montor  mabur", ngepot di sela kerumunan orang orang yang mengantre tiket, atau di sela para kuli buruh panggul. 

Hampir saja aku menyenggol dagangan pedagan asongan, tapi untung saja "montor maburku" mampu aku rem dengan sempurna. Mantab, kapten! Ujarku pada diriku sendiri. Hihihi.

Adakalanya aku balapan, lari mengikuti gerakan bayangan melambat lokomotif uap Tipe B25 yang baru saja tiba di Stasiun Willem I Ambarawa. Ketika kereta itu berhenti, aku menanti bunyi peluitnya yang kencang, dan aku sangat senang begitu suara itu datang. 

Melengking bunyinya memenuhi ruang udara stasiun, bergema hingga ke Banyubiru, Ngrengas, Bawen, atau bahkan dekat Bandungan dan seluruh wilayah Ambarawa.Betapa keren menewen bunyi lengkingan peluit kereta itu. Menurutku, ketika itu.

Suara peluit kereta tua itu memang selalu khas bagiku: "Duwittt..duwitt..duwiiitt.! ojo jajan..ojo jajan, ojo jajan!". Dan itulah suara yang sering kutirukan dari lokomotif uap B25 saat itu. Hihihi..

Kereta Api Tua yang Mendengus

Aku kerap mengamati bahwa asap putih mengepul dari sisi kiri-kanan kereta tua B25 berbobot 882 ton itu, sambil mengeluarkan bunyi mendengus keras seperti ban kempis atau suara tekanan rem angin dari truk tronton. Lokomotif uap ini berisi 8.250 liter air dan uap air, berbahan bakar kayu jati, dan mengangkut penumpang serta barang dengan empat gerbong yang kini benar-benar kulihat telah berhenti.

Lokomotif buatan Maschinenfabriek Esslingen Jerman tahun 1902 itu baru saja menempuh perjalanan sejauh 37 kilometer dari Stasiun Kedungjati, Grobogan hingga Ambarawa. Jadwal kedatangan dan keberangkatan di rute stasiun ini dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore hari.

Ketika kereta berhenti, para penumpang, terutama para pedagang, berhamburan keluar membawa barang dagangan seperti daun jati, arang kayu, dan kayu jati yang telah dipotong kecil-kecil dan diikat tali. Beberapa kuli panggul langsung bergegas ke gerbong untuk menurunkan semua barang dagangan dan mengosongkan isinya.

Barang barang dagangan itu kemudian diangkut oleh delman, andong atau dokar yang sudah ngetem, siap berjajar menunggu muatan di pelataran depan stasiun. Kala itu tahun 1975, angkutan penumpang umum utama di kota Ambarawa adalah andong atau kereta kuda.

Stasiun Willem I yang dibangun oleh Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) kala itu termasuk stasiun yang sibuk. Pelataran halaman parkirnya selalu dipenuhi barisan andong yang ngetem mencari penumpang. (seperti kebiasaan taksi ngetem di zaman sekarang).

Menurutku kala itu, suasana paling ramai mirip pasar akan terasa di jam menjelang kereta tiba atau menjelang keberangkatan kereta Tipe B25 di Stasiun itu.

Lokomotif Uap yang Langka 

Lokokomotif uap Tipe B25 ini termasuk jenis lokomotif uap yang langka. Di Indonesia konon lokomotif ini hanya tersedia 5 unit. Nah, 3 unit lokomotif uap buatan Jerman ini dipakai untuk operasional di stasiun Willem I Ambarawa, di nun kala itu.

Menurut cerita, lokomotif uap Tipe B25 ini dahulu sering dipakai untuk mengangkut pasukan KNIL Belanda untuk ditempatkan di tangsi militer Benteng Pendem Willem I yang tidak jauh lokasinya dari stasiun itu. Benteng terbesar di Jawa ini dibangun di Desa Bejalen, dekat Rawapening Ambarawa pada tahun 1835 dan selesai pada tahun 1848.

KNIL adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau angkatan perang kolonial Hindia Belanda. Mereka bermarkas antara lain di Benteng Pendem Willem I, dan tangsi militer Banyubiru, Ambarawa.

Stasiun Willem I Ambarawa sendiri berfungsi sebagai pusat transportasi militer di Jawa Tengah, sehingga pasukan Belanda dari tangsi militer Magelang atau Semarang dapat dengan mudah diangkut ke Benteng Willem I Ambarawa melalui kereta.

Jalur rel kereta api pada masa itu telah terhubung antara Magelang-Secang-Pingit-Bedono-Jambu-Ngampin-Ambarawa.

Uniknya jalur kereta rute Stasiun Willem I Ambarawa ke Magelang ini, terdapat jalur rel bergerigi yang berfungsi memudahkan Lokomotif B25 menanjak atau menuruni bukit terjal. Posisi rel bergerigi itu terletak di Kecamatan Jambu dan Desa Bedono hingga Pingit. Dan jalur rel bergerigi ini konon satu satunya jalur rel bergerigi terpanjang yang ada di pulau Jawa.

Suasana Stasiun yang Ramai         

Di masa itu, Stasiun Willem I masih aktif beroperasi, melayani rute Ambarawa-Kedungjati, pergi pulang setiap hari. Di jam jam tertentu, di siang hari, para calon penumpang membeli karcis di peron loket. Seingatku bentuk karcisnya berwarna hijau tebal seukuran kartu domino, yang jika distempel atau dilobangi, menimbulkan bunyi khas "dag dog dag dog dag dog", seperti bunyi stempel di kantor pos pusat zaman dulu.

Bunyi stempel karcis penumpang itu membaur bersama riuhnya kesibukan penumpang di areal dalam stasiun yang bermotif bangunan arsitektur Eropa klasik dengan atap tinggi agak mengerucut  berbentuk limasan khas rumah Jawa.

Begitulah denyut kehidupan di dalam areal stasiun Willem I, yang berlangsung setiap hari, terutama pagi siang dan sore hari, saat menjelang keberangkatan kereta, juga waktu kedatangan.

Kawasan Stasiun Willem I 

Stasiiun Willem I Ambarawa dibangun oleh perusahaan jawatan kereta api swasta Belanda, Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) dan diresmikan pada tanggal 21 Mei 1873. Stasiun ini dibangun di masa pemerintahan Raja Willem III negeri Belanda, dan diberi nama Stasiun Willem I, untuk mengenang kebesaran raja itu bagi pemerintah Hindia Belanda.  

Stasiun Willem I, menempati areal kawasan seluas 127.500 meter persegi, terdiri dari areal Depo kereta, bangunan utama stasiun, taman luas dan halaman gerbang stasiun yang asri ditumbuhi pepohonan palem berukuran besar, tumbuh di sepanjang jalur kiri kanan jalan masuk gerbang utama stasiun.

Stasiun Willem I, selain bersebelahan dengan kawasan rumah warga di Kampung Temenggungan Desa Panjang Kidul, juga berada di tepi hamparan sawah yang luas milik warga. Dari stasiun kita bisa melihat pemandangan alam sawah itu yang mempesona, menghampar hingga lembah Gunung Telomoyo.

"Loko loko tua sehitam jelaga. Angin Lembah sejuk menerpa wajah, padam nostalgia kala anak anak bermain di dalamnya", begitulah bunyi syair tanteku, penyair Rita Oetoro yang kapan itu kubaca di Kumpulan puisinya, Dia mendeskripsikan lokomotif tua dan suasana tempat Stasiun Willem I ini. 

Menghabiskan Waktu di Stasiun

Sebagai anak seusia SD, hampir setiap hari aku datang bermain di area stasiun dan suka mengamati gerakan setiap kereta uap yang berlalu lalang di stasiun tua ini. Kebetulan rumah tinggalku berada tepat di jalan Temenggungan VI, Desa Panjang Kidul, samping stasiun Willem I Ambarawa, sehingga aku dengan mudah menjangkau Stasiun ini.

Ketika kereta akan kembali ke Depo lokomotif, sesekali masinisnya yang baik hati, Pak Sugiono teman ayahku, mengajakku untuk ikut pulang langsir ke Depo, tempat parkir kereta api. Tentu aku senang sekali berada di sampingnya, mendengarkan bunyi peluit yang nyaring itu dan mengamati secara langsung pengoperasian lokomotif uap Tipe B25 yang eksotik.

Aku melihat masinis, Pak Sugiono bekerja gesit memasukkan bahan bakar kayu jati ke tungku pembakaran, dan mengatur tekanan suhu uap di tungku air kereta. Dan kereta api yang kutumpangi itu pun berjalan melambat ke arah Depo. Jarak Stasiun ke Depo sekitar 100 Meter.

Tetapi bagiku yang anak kecil, pengalaman naik kereta tua bersama masinis di ruang masinis B25 adalah luar biasa. Saat itulah aku merasa berada di surga, bahagianya luar biasa!

Momen Berharga di Stasiun Willem I Ambarawa

Bunyi peluit kereta itu sekali lagi melengking memecah kesunyian kota, terdengar hingga Banyubiru di lereng Gunung Telomoyo, merambat ke sepanjang danau Rawapening, dan terdengar sesayup lengkingan itu sampai di ujung  kota Ambarawa.

"Duitttt!! Duiittttt! Duiittt!!", begitulah aku menirukan bunyi peluit lokomotif itu. Hihihi..

Begitulah salah satu momen yang kuingat di masa itu, sekitar tahun 1975 di Ambarawa. Aku hampir setiap hari, sehabis pulang sekolah di SD Kalipawon, menyudahi waktu dengan bermain di kawasan stasiun ini. 

Maklumlah, seperti kukatakan tadi di atas, bahwa rumah tinggal orangtuaku bertetangga lokasinya dengan kawasan stasiun. Kami tinggal di kampung Temenggungan VI, satu wilayah yang sama dengan kawasan stasiun tua ini, yakni berada di Desa Panjang Kidul, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tak heran. Aku sering dijuluki "Cah Stasiun" (anak stasiun) oleh kawan kawanku, terutama mereka  yang tinggal di Kerep,  Ngampin, Nggamblok, Kupang dan sekitarnya, di kota kecil Ambarawa. Sebab mereka tahu bahwa  hari hariku di masa kecil itu, lebih banyak kuhabiskan dengan bermain bersama sesama "Cah Stasiun" lainnya, di kawasan stasiun peninggalan kumpeni Belanda itu.

Bermain apa saja? Ya apa saja yang membuatku riang, berkeringat, dekil dan penuh  petualangan. Seperti misalnya, bermain layangan, Sepedaan, Gobak Sodor, Engklek, Benthik, Setin atau nekeran, Umbul, dan sebagainya. (mungkin pembaca bertanya tanya, itu nama permainan apaan sih kok namanya aneh aneh, aeng aeng gitu..hihihi).

Sesekali aku bermain petak umpet bersama beberapa kawan kecil di sela-sela gerbong kereta, memanjat belakang lokomotif yang memuat tumpukan kayu jati itu, dan lari kejar kejaran di dalam rangkaian gerbong yang lagi parkir di Depo Stasiun Willem I.  

Dan tentu saja, permainan favoritku yang wajib kulakukan, terutama jika tak bisa kutemui pak Sugiono masinis yang baik hati itu, adalah diam-diam nyengklak, mendompleng di lokomotif yang bergerak langsir ke  arah Depo, yang jaraknya tak seberapa jauh dari Stasiun.

Tetapi bagiku, menjadi penumpang gelap lokomotif tua B25 buatan Jerman itu, adalah kemewahan yang luar biasa. Kenangan itu tak mudah kulupakan. Pendeknya mantab surantab!

Di waktu lain, asyik juga balapan bersama  teman teman,  berjalan meniti di atas satu rel sambil menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh. Atau balapan menghitung berapa jumlah balok kayu penyangga rel dalam jarak lumayan jauh. Permainan yang murah dan sangat mengasyikkan.

Momen lain yang sebenarnya berbahaya tetapi tak kalah seru adalah memanjat tiang besi penyangga atap kanopi Stasiun Willem I. Tinggi setiap tiang besi itu mungkin 10 meter. Dimana setelah sampai di atas kami berlama lama bergelantungan kaki di sana, mirip kera kera duduk di dedahan pohon, menikmati angin berhembus kencang. 

Terkadang saya dan kawan kawan "Cah Stasiun" ditegur oleh pegawai Stasiun. Dan kami pun bergegas turun, sambil cengengesan. Dasar anak mbeling! Mungkin begitu pikir pegawai Stasiun itu.

Tetapi setelah itu, di bagian lain di pojok stasiun diam diam kami memanjat tiang lainnya yang jauh dari pengawasan pegawai stasiun. Tentu hal itu kami lakukan dengan senyap, diam diam. Sebagai anak-anak, mungkin saya memang termasuk "anak mbeling" nun di waktu itu. Tapi acara panjat tiang Stasiun Willem I Ambarawa itu memang bagiku sungguh mengasyikkan, menguji nyali dan keberanian.

Berubah Fungsi Menjadi Museum

Dan begitulah, tanpa terasa waktu cepat berlalu. Masa kanak kanak yang menyenangkan di Stasiun Willem I itu pun tergantikan oleh suasana lain, ketika aku harus pindah ke kota lain untuk melanjutkan sekolahku.

Tetapi aku tetap mengikuti pertumbuhan kotaku Ambarawa. Termasuk aku juga tahu, bahwa Stasiun Willem I Ambarawa yang berdiri sejak tahun 1873 itu akhirnya dihentikan operasionalnya oleh pemerintah. Dan pada tahun 1976, Stasiun ini beralih fungsi menjadi Museum Kereta Api Ambarawa.

Taman bermainku di masa lalu itu, sejak waktu itu hingga saat sekarang menjadi sebuah museum kereta api dengan koleksi lokomotif uap kuno yang lengkap dan satu-satunya di Indonesia. Salah satu koleksi yang hingga kini tersimpan, dan menjadi salah satu ikon  melegenda di museum kereta api ini adalah koleksi Lokomotif Uap Tipe B25, yakni kereta api uap yang aku ceritakan di kisahku ini sedari awal tadi. Keren kann..yaiyalah kerenn pakde!

Jika kita ingin mengunjungii Museum Kereta Api Ambarawa, sekarang dikenakan tarif masuk sebesar 10 ribu rupiah per orang. Di museum itu, lokomotif uap Tipe B25 itu kini tersimpan aman. Di tempat itu pula semua momen kenangan masa kecilku yang penuh drama ini turut tersimpan dengan nyaman.

Menyudahi tulisan ini, secara khusus aku ucapkan terimakasih pada Stasiun Willem I Ambarawa yang telah menjadi arena terindah bagi masa kecilku.

Bye bye..kelak kita berjumpa lagi, begitu batinku setiap kali aku melewati kawasan Stasiun yang  kini telah menjadi museum ini.

Sesayup aku mendengar lagi suara nyanyian masa kecil itu: "Ojo jajan ojoo jajan ojo jajannn. Radwe dwittt radwe dwittt..duwittt duwitt!.Sulittt". Nyang artinya: "jangan jajan, jangan jajan, tak punya duit, tak punya duit, duitt, duitt! Suliittt! " . Begitulah kura kura kisahku ini. hihihi..

SEKIAN 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun