Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malam 1 Suro: Pesona Tradisi Unik dan Makna Simbolik di Balik Hari Istimewa Jawa

18 Juli 2023   13:05 Diperbarui: 20 Juli 2023   08:55 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Warga berjalan kaki dalam keheningan mengelilingi kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, saat mengikuti tradisi Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng, Selasa (4/11/2013) dini hari. Tradisi yang dilangsungkan setiap pergantian tahun baru hijriah ini dilakukan sebagai sarana perenungan dan instropeksi warga atas berbagai hal yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya. (Foto: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO) 

Malam 1 Suro (1957) jatuh pada hari Rabu malam 19 Juli 2023. Sebagian kalangan masyarakat di Jawa menganggap Malam 1 Suro adalah hari istimewa.

Karena inilah malam keberkahan, saat tepat tahun baru Jawa, atau bertepatan dengan malam pertama "Sasi Suro" (bulan Sura) pergantian tahun baru dalam penanggalan Jawa. Malam 1 Suro jatuh pada sehari sebelum tanggal 1 Muharam, tahun baru Islam 1445 H, atau Rabu 19 Juli 2023.

"Ini jatuhnya 1 Suro di Kamis Pahing. Kenapa kami mulainya di Rabu malam, berdasarkan perhitungan Jawa pergantian hari sudah ikut hari berikutnya," kata Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KP Dani Nur Adiningrat. Seperti dikutip dari detik.com (Sumber)

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang memiliki latar belakang Jawa, Malam 1 Suro bukan sekadar malam pergantian tahun, tetapi juga momen yang penuh dengan kepercayaan, ritual, dan tradisi yang unik dan penuh pesona.

Keunikan Malam 1 Suro 

Malam 1 Suro memiliki beberapa keunikan yang membedakannya dari malam pergantian tahun atau perayaan lainnya. Berikut adalah beberapa keunikan Malam 1 Suro:

Kaitan dengan tradisi dan kepercayaan Jawa: Malam 1 Suro sangat erat kaitannya dengan tradisi dan kepercayaan Jawa. 

Di dalamnya terdapat pengaruh dari animisme, tradisi Hindu-Buddha, serta unsur-unsur kepercayaan budaya lokal, yang populer disebut "Tradisi Kejawen". Hal ini memberikan Malam 1 Suro kekhasan budaya yang membedakannya dari malam pergantian tahun dalam budaya lain.

Makna spiritual dan keberkahan: Malam 1 Suro dianggap sebagai waktu yang penuh dengan kekuatan spiritual dan energi gaib yang kuat. 

Banyak orang Jawa (terutama di zaman dahulu) memandangnya sebagai momen yang sakral untuk memohon berkah, keselamatan, dan perlindungan kepada leluhur serta yang Maha Kuasa. Keunikan ini memberikan dimensi spiritual yang mendalam dalam perayaan Malam 1 Suro.

Tradisi sedekah bumi: Salah satu keunikan Malam 1 Suro adalah tradisi "sedekah bumi" atau "ruwatan bumi". Masyarakat Jawa membawa sesajen dan meletakkannya di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti rumah, pekarangan, atau tempat-tempat suci. 

Tujuan dari "sedekah bumi" adalah untuk memohon berkah serta melindungi rumah dan keluarga dari roh jahat. Tradisi ini memperlihatkan keterhubungan manusia dengan alam dan leluhur.

Pertunjukan wayang kulit 1 Suro: Malam 1 Suro sering diwarnai dengan pertunjukan wayang kulit khusus yang dikenal sebagai "wayang kulit 1 Suro". 

Pertunjukan ini tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga mengandung pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang penting. "Wayang kulit 1 Suro" dipercaya menjadi simbol keterlibatan manusia dengan dunia spiritual gaib dan warisan budaya yang kuat.

Pada praktiknya, menurut penulis, Malam 1 Suro tidak hanya menghormati leluhur dan menjaga hubungan spiritual, tetapi juga memperkaya warisan budaya Indonesia yang kaya.

Malam 1 Suro adalah Hari istimewa 

Malam 1 Suro memiliki makna istimewa dalam budaya Jawa. Dalam tradisi Jawa, Malam 1 Suro dianggap sebagai momen yang sakral dan memiliki kekuatan spiritual gaib yang kuat. Menurut catatan penulis, beberapa alasan mengapa Malam 1 Suro dianggap sebagai hari istimewa dalam budaya Jawa, antara lain:

Hubungan dengan leluhur: Malam 1 Suro juga dianggap sebagai momen untuk menghormati leluhur. Masyarakat Jawa meyakini bahwa leluhur memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan mereka dan dapat memberikan berkah serta perlindungan. 

Pada Malam 1 Suro, ritual dan doa-doa khusus dilakukan untuk memohon restu, keselamatan, dan berkah dari para leluhur.

Keseimbangan alam dan manusia: Malam 1 Suro juga melibatkan aspek keharmonisan antara manusia dan alam. Melalui tradisi "sedekah bumi"misalnya, masyarakat Jawa menyadari pentingnya menjaga keseimbangan ekologi dan menghormati lingkungan sekitar. 

Tradisi ini, sesajen dan persembahan diberikan sebagai ungkapan rasa syukur kepada alam dan sebagai bentuk komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Kedalaman spiritual: Malam 1 Suro merupakan momen yang memperdalam dimensi spiritual dalam kehidupan masyarakat Jawa. 

Melalui praktik seperti mandi suci, dzikir, dan pertunjukan wayang kulit, masyarakat Jawa berusaha meningkatkan kualitas spiritual dan mengintensifkan hubungan dengan yang Maha Kuasa serta dunia supranatural.

Malam 1 Suro menjadi waktu yang tepat untuk merenung, memohon maaf, dan memperbaiki diri untuk memulai tahun yang baru dengan baik.

Warisan budaya yang berharga: Malam 1 Suro juga merupakan bagian dari warisan budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Jawa. Tradisi dan praktik yang dijalankan pada malam ini telah diwariskan secara turun temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Jawa. 

Hingga sekarang, sebagaian masyarakat Jawa "meng-Uri Uri" (merawat tradisi) Malam 1 Suro dengan baik, terutama terasa di kalangan masyarakat desa di Jawa.

Masyarakat Jawa menjaga dan merayakan Malam 1 Suro sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur serta untuk menjaga keberlanjutan kekayaan budaya mereka.

Dalam budaya Jawa, Malam 1 Suro menjadi hari istimewa yang mengandung nilai-nilai spiritual, kehormatan terhadap leluhur, keseimbangan alam, dan kekayaan budaya.

Perayaan ini memainkan peran penting dalam memperkuat identitas budaya Jawa dan mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai luhur para sepuh yang diyakini dan dijunjung tinggi.

Praktik Tradisi Malam 1 Suro 

Beberapa keyakinan dan praktik yang dilakukan pada malam ini terkait dengan upacara penghormatan kepada leluhur, perlindungan dari roh jahat, dan memohon berkah serta keselamatan di tahun yang baru.

Salah satu tradisi yang umum dilakukan pada Malam 1 Suro adalah "sedekah bumi" atau "ruwatan bumi." Pada malam tersebut, masyarakat membawa sesajen berupa nasi, lauk-pauk, dan buah-buahan yang diletakkan di atas tampah atau anyaman daun kelapa.

Sesajen ini kemudian ditempatkan di sudut-sudut rumah, pekarangan, atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Tujuannya adalah untuk memohon restu leluhur serta melindungi rumah dan keluarga dari roh jahat yang berkeliaran.

Selain itu, Malam 1 Suro juga sering dianggap sebagai waktu yang cocok untuk melakukan ritual mandi suci atau "mendem," yang merupakan mandi dengan air bunga atau air yang telah diberkati oleh seorang pemuka agama.

Mandi suci ini diyakini dapat membersihkan diri dari energi negatif dan membawa keberuntungan di tahun baru. Beberapa orang bahkan melakukan mandi di sungai atau sumber air yang dianggap keramat atau wingit.

Selama Malam 1 Suro, masyarakat juga menggelar pertunjukan wayang kulit yang dikenal sebagai "wayang kulit 1 Suro." Pertunjukan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengusir roh jahat yang berkeliaran di malam tersebut.

"Wayang kulit 1 Suro" biasanya dipentaskan di halaman rumah atau tempat-tempat terbuka lainnya, dan dihadiri oleh masyarakat setempat. Pertunjukan ini tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga memiliki nilai-nilai moral dan pesan-pesan kehidupan yang dapat diambil.

Menurut catatan penulis, meskipun tradisi dan makna di balik Malam 1 Suro sangat beragam, satu hal yang menjadi tema umum adalah harapan akan keberuntungan, keselamatan, dan perlindungan di tahun yang baru.

Malam yang misterius ini mengajarkan kita untuk menghormati leluhur, menjaga keharmonisan dengan alam dan lingkungan sekitar, serta mengingatkan pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi dan kepercayaan yang dijalankan pada malam tersebut memperkaya warisan budaya kita dan mengingatkan kita akan hubungan kita dengan masa lalu, alam, dan spiritualitas.

Dirayakan di Pusat Kebudayaan Jawa

Akan halnya ritual "sedekah bumi" atau "ruwatan bumi" dalam 1 Suro merupakan praktik yang umum dilakukan di berbagai daerah di Jawa. Berikut adalah beberapa contoh daerah di Jawa yang biasa menjalankan ritual "sedekah bumi":

Yogyakarta: Sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, Yogyakarta memiliki tradisi "sedekah bumi" yang kuat. Masyarakat di Yogyakarta, terutama yang memiliki latar belakang Jawa, sering melakukan ritual "sedekah bumi" pada Malam 1 Suro dengan membawa sesajen ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti Keraton Yogyakarta, Pura, atau tempat-tempat suci lainnya.

Surakarta (Solo): Kota Surakarta, juga dikenal sebagai Solo, juga memiliki tradisi "sedekah bumi"yang cukup kental. Di sini, masyarakat menjalankan ritual "sedekah bumi" dengan meletakkan sesajen di sudut-sudut rumah atau pekarangan mereka. Pada malam itu, mereka berdoa dan memohon berkah serta keselamatan kepada leluhur.

Jawa Timur: Di berbagai wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, dan Probolinggo, tradisi "sedekah bumi" juga masih dijalankan dengan antusias. 

Masyarakat membawa sesajen berupa nasi, lauk-pauk, dan buah-buahan yang diletakkan di atas tampah atau anyaman daun kelapa. Sesajen ini kemudian ditempatkan di sudut-sudut rumah atau di tempat-tempat yang dianggap keramat.

Banyuwangi: Daerah Banyuwangi di ujung timur Jawa juga memiliki tradisi "sedekah bumi" yang unik. Masyarakat di sini melakukan ritual "sedekah bumi" dengan meletakkan sesajen di tengah sawah atau kebun mereka. Selain itu, di Banyuwangi juga dikenal dengan tradisi "labuhan" di Pantai Boom, di mana masyarakat melemparkan sesajen ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Jawa Tengah: Di Jawa Tengah, tradisi "sedekah bumi" juga sangat kental. Di kota-kota seperti Semarang, Magelang, dan Pati, masyarakat melakukan ritual "sedekah bumi" dengan membawa sesajen ke tempat-tempat yang dianggap keramat atau wingit. Beberapa masyarakat di daerah ini juga melakukan prosesi mandi suci di sungai atau sumber air yang dianggap keramat.

Pada praktiknya, tradisi "sedekah bumi" dapat bervariasi di setiap daerah, dengan praktik dan tata cara yang sedikit berbeda. Namun, tujuannya tetap sama, yaitu untuk memohon berkah, keselamatan, dan perlindungan kepada leluhur serta menjaga keharmonisan dengan alam dan lingkungan sekitar.

Wewaler atau Larangan di Malam 1 Suro

Dalam Malam 1 Suro, terdapat beberapa wewaler atau larangan yang penting diperhatikan. Wewaler ini berkaitan dengan kepercayaan dan tradisi lokal yang ada di masyarakat Jawa.

Meskipun setiap daerah atau keluarga dapat memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya, berikut adalah beberapa larangan umum yang sering diperhatikan:

Larangan bepergian malam hari: Dalam tradisi Jawa, Malam 1 Suro dianggap sebagai malam yang penuh dengan kekuatan supranatural dan energi gaib yang kuat. 

Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menghindari bepergian di malam tersebut, terutama menjelang tengah malam, agar terhindar dari kemungkinan bertemu dengan roh jahat atau hal-hal yang tidak diinginkan.

Larangan memotong atau membelah sesuatu: Malam 1 Suro dianggap sebagai malam yang sakral, sehingga ada larangan untuk memotong atau membelah sesuatu, seperti pohon, bambu, atau benda-benda lainnya. Hal ini diyakini dapat mengganggu energi dan membawa keberuntungan yang buruk.

Larangan melakukan pekerjaan berat: Dalam Malam 1 Suro, banyak masyarakat yang menghindari melakukan pekerjaan berat atau aktivitas yang membutuhkan tenaga yang besar. Hal ini dikaitkan dengan upaya menjaga keselamatan dan menghormati suasana malam yang sakral.

Larangan mendengarkan musik keras atau melihat pertunjukan yang meriah: Malam 1 Suro merupakan waktu yang dianggap sebagai "momen refleksi dan keheningan". 

Oleh karena itu, ada larangan untuk mendengarkan musik keras, mengadakan pesta, atau melihat pertunjukan yang meriah. Hal ini dimaksudkan agar dapat fokus pada kegiatan spiritual dan memperkuat ikatan dengan leluhur.

Larangan makan makanan yang berbahan dasar daging: Beberapa keluarga di Jawa meyakini bahwa pada Malam 1 Suro, roh jahat atau setan berkeliaran dan mencari makanan, terutama yang berbahan dasar daging. Oleh karena itu, ada larangan untuk makan makanan yang berbahan dasar daging pada malam tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa larangan-larangan tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada keyakinan dan tradisi masing-masing keluarga atau daerah di Jawa.

Makna dan Pesan Simbolik

Banyak larangan yang terkait dengan Malam 1 Suro memiliki makna dan pesan simbolik yang mendalam. Berikut adalah beberapa makna atau pesan simbolik yang dapat dikaitkan dengan larangan-larangan tersebut:

Memupuk rasa kewaspadaan: Larangan bepergian malam hari dan menghindari aktivitas yang berisiko pada Malam 1 Suro mengajarkan kita untuk menjadi lebih waspada terhadap potensi bahaya dan gangguan yang mungkin terjadi. Hal ini mencerminkan pentingnya menjaga keselamatan diri dan orang-orang di sekitar kita.

Menghormati dunia supranatural: Larangan memotong atau membelah sesuatu pada Malam 1 Suro memiliki makna menghormati dunia supranatural dan roh-roh yang mungkin hadir di malam tersebut. Tindakan ini juga mencerminkan rasa hormat terhadap alam dan lingkungan sekitar.

Meningkatkan kualitas spiritual: Larangan melakukan pekerjaan berat dan menghindari kegiatan yang mengganggu ketenangan malam mengajarkan kita untuk fokus pada aktivitas spiritual dan refleksi diri. Dalam Malam 1 Suro, dianggap penting untuk menguatkan ikatan dengan leluhur dan menjalankan ritual-ritual yang membawa kebaikan dan berkah.

Memupuk keheningan dan introspeksi: Larangan mendengarkan musik keras, mengadakan pesta, atau melihat pertunjukan yang meriah mencerminkan pentingnya menciptakan suasana keheningan dan ketenangan dalam diri. Melalui keheningan, kita dapat mengarahkan perhatian pada refleksi diri, introspeksi, serta memperkuat hubungan spiritual kita.

Menumbuhkan sikap rendah hati: Larangan makan makanan berbahan dasar daging pada Malam 1 Suro bisa diartikan sebagai tindakan untuk menumbuhkan sikap rendah hati dan menghormati makhluk hidup lainnya. Dalam beberapa keyakinan, makanan berbahan dasar daging dianggap sebagai pilihan yang lebih mewah dan mendorong kita untuk lebih sederhana serta menjaga keseimbangan alam.

Makna dan pesan simbolik dari larangan-larangan tersebut mengajarkan kita untuk menghargai keberadaan alam semesta, merenungkan nilai-nilai spiritual, serta menjaga keseimbangan antara dunia material dan dunia supranatural.

Dengan mematuhi larangan-larangan ini, kita diharapkan dapat mencapai kedamaian batin dan mendapatkan berkah serta perlindungan dari yang Maha Kuasa.

Begitulah sedikit ulasan tentang Malam 1 Suro, pesona tradisi dan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Setidaknya itu menurut pandangan penulis yang orang Jawa. Melalui pengamalan tradisi ini, generasi muda diharapkan dapat meneruskan dan menjaga keberlanjutan kekayaan budaya ini, sambil tetap menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan yang ada.

Selamat merayakan Malam 1 Suro 1957, bagi yang merayakan. Namaste, Rahayu sagung dumadi, semoga  setiap mahkluk berbahagia!

Selesai

* penulis adalah pencinta tradisi budaya Jawa dan Nusantara.

ilustrasi pertunjukan wayang kulit Malam 1 Suro (foto wibhyanto/dokumen pribadi)
ilustrasi pertunjukan wayang kulit Malam 1 Suro (foto wibhyanto/dokumen pribadi)
Ilustrasi sesajian dan makan bersama dalam keluarga jawa(foto wibhyanto/ dokumen pribadi)
Ilustrasi sesajian dan makan bersama dalam keluarga jawa(foto wibhyanto/ dokumen pribadi)
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun