Kisah Penyair Paruh Waktu
Pada pintu pagar kayu itu terpahat kalimat: "Penyair Paruh Waktu".
Tak banyak orang di desa tahu, apa persis pekerjaan anak muda itu. Tetapi semua orang memanggilnya begitu, Penyair paruh waktu, lelaki penyendiri.
"Aku bukan follower, aku bukan bagian dari pasien kebudayaan, seperti kalian kira", katanya kepada pagi. Lalu pagi yang masih menggigil dingin, menyapa di tepi jendela, saat dia menikmati sawah luas, di samping rumahnya.Â
Burung burung pipit, kuntul dan bangau, beranjak terbang mencari makanan di pematang sawah itu, mereka menyapa si Penyair itu: "selamat pagi, puisi".Â
Dia tersenyum sambil menyeruput kopi. "Pagi yang pekat dan hangat", sapanya kepada burung burung sawah itu, seperti sedang membaca puisi, sambil mengunyah pisang goreng.Â
Agak beranjak siang, Penyair paruh waktu tampak membajak sawah, berbaris bersama para petani, menanam padi, mencengkerama apasaja, tanpa jeda titik koma, dalam barisan yang sempurna.Â
Dia turut berkubang di sawah, menaruh asa dan sejumput doa di setiap bibit padi mungil, sambil bertekad merawat sawah, meminta kepada Tuhan, untuk bisa memanen segala yang ditanam kelak menjadi rupa bahagia atau seonggok puisi tentang cinta.Â
Penyair paruh waktu, terdengar menembang syair tua, Dandanggula, ilir ilir atau Sigramilir, merdu suaranya, merayap, hinggap di deaunan pucuk pohon kelapa, melambai lalu terbang ke arah lembah dan bukit bukit di sisi selatan, menghibur semua petani yang melebur di sawah, tak peduli tersengat matahari.
Di tengah hari yang meninggi, Penyair paruh waktu pulang meladang, memikul sekeranjang puisi, yang dia ikat seperti sayuran segar. Sebagian tumpukan puisi itu, sebagian dia kirim ke kota, untuk para penyuka sastra, diksi dan puisi, agar dikunyah dan dinikmati sebagai menu makan siang.Â
Hari ini, baru saja dia memanen sekumpulan kisah dari ladang basah, dia taruh di seonggok diksi yang indah, tentang rindu yang membeku, gadis berpayung merah jambu, berjalan di pematang sawah. Romantis melambai kata katanya, Penyair paruh waktu itu.
Siapa tak tergoda pada karya puisinya yang mempesona? Angin dan hujan pun terkadang berhenti mengelindan, tatkala di sesayup mereka mendengar Penyair paruh waktu itu mendaras bait bait puisinya, bagai nyanyian mantera dahsyat dari surga.Â
Puisi puisi itu lalu terbang pergi satu satu, hinggap, memberkati kehidupan di belakang rumah tepi sawah itu.Â
Di saat merayap senja, ada kalanya Penyair paruh waktu duduk asyik meronce dan menyulam kata, menjadi semacam taplak meja, memakai pena di tangannya.Â
Tak ada kekasih hati yang menghampiri, sebab dia telah berpulang, bersemayam bersama tenteram dan keabadian. Penulis paruh waktu sudah terbiasa begitu, menyulam kata bersama senja,Â
"Sendirian atau bersama kita sama asyiknya, bukan? Apa yang perlu kalian cemaskan", ujarnya kepada sekawanan kupu kupu malam yang terbang melintasi lingkaran lampu, yang menyala di beranda halaman rumah kalbu.Â
Penyair paruh waktu bersenandung, seperti kumbang mendengung di kelopak bunga yang merona mekar, mengudar semua rahsa, yang tumbuh semerbak di sepetak ruang taman kalbunya.Â
Sesekali peluhnya jatuh, akibat mimpi yang terik, dan imajinasinya meruang gersang, namun dengan sabar dia memunguti setiap kata yang tersisa, merawat, menjeda dan menyulamnya kembali menjadi sebentuk puisi cinta.
Di menjelang malam Penyair paruh waktu telah sempurna menyulam kata, menjadi sebentuk motif selimut, dia menyudahi hari, tidur nyenyak hingga pagi, terlelap bersama selimut puisi yang dia gali dari dalam rahsa sanubarinya sendiri.Â
Angin malam berhembus, dingin termangu
di pinggir pagar kayu bertuliskan "Penyair paruh waktu", itu.
Sawangan, Magelang, 14 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H