Pembatasan waktu dimaksudkan agar dalam waktu pembelajaran terbatas di kelas, guru bisa menampilkan beberapa lakon cerita sekaligus, dengan tim crew siswa yang berbeda.
Alur cerita bisa ditulis sebagai konsep lebih dulu, seperti bentuk naskah drama, memakai tidak harus Bahasa Jawa, melainkan bisa saja Bahasa Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Bali, Bahasa Inggris, atau Bahasa Indonesia. Pilihan bahasa ini penting, sekaligus bertujuan melatih keterampilan seni berbahasa siswa.
Nah, teks naskah inilah yang menjadi rundown bagi crew yang terlibat. Terutama pegangan bagi dalang wayang kulit kreasi siswa ini.
Setting Panggung
Panggung pertunjukan wayang di galeri yang saya tonton ini simple dan tidak ribet. Sebuah layar putih, dibentang pada dua cagak atau tiang, di depannya diberi gedebog atau batang pisang.
Beberapa tokoh wayang kulit lalu ditancapkan secara rapih berjajar, baik di sisi kiri layar atau di kanan layar. Bagian tengah layar adalah arena ruang kosong untuk dalang memainkan pertunjukan.
Karena wayang sebenarnya sebuah pertunjukan yang menampilkan bayang bayang, maka disiapkan Blencong atau lampu penerang untuk menyorot ke arah layar pertunjukan. Blencong bisa berupa lampu spot sederhana yang diletakkan di belakang posisi dalang.
Nantinya posisi arah cahaya lampu ini harus mampu memperlihatkan bayang bayang wayang, ketika penonton melihatnya dari balik layar.
Di tempat dalang, ditaruh kotak dan kepyak (beberapa lempeng besi), yang memungkinkan dalang membunyikan suara kotak tok tok tok tokk, dan bunyi kepyak cringg cringg cringg cringg, pada saat mendalang.
Seperangkat Gamelan Sederhana
Uniknya wayang minimalis ini, hanya memerlukan satu buah kendang saja, hanya itu. Tidak perlu alat musik lain, seperti kenong, kimpul, gong, bonang, siter, suling, dan lainnya.