Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Warok

10 Juni 2023   15:26 Diperbarui: 5 Januari 2024   22:06 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cerpen WAROK (foto diolah dari canva/dokumen pribadi)

Cerpen: Warok 

Warok baru tiba sebagai pendatang di Jakarta. Tarji membawanya dari kampung karena kasihan. Warok hidupnya luntang lantung, tinggal di dusun miskin di Lereng Merapi Sebelah Barat Daya. Warok adalah teman Tarji dari kecil. Tarji lalu cawe cawe pada nasib Warok. Tarji tak tega melihat hidup Warok yang serba cekak, nganggur, dan seret rejeki di desa.

"Ikutlah aku di Jakarta. Siapa tahu nasibmu berubah, setidaknya bisa udad udud dari duit hasil keringatmu sendiri, tidak dari hasil memanen kolam ikan tetangga", ujar Tarji.

"Itu juga tidak baik, jadi omongan orang sedesa. Walaupun mereka tidak menuduhmu secara langsung, tapi dari lirikan orang-orang di desa, kita sudah bisa membaca dan merasa", begitu ujar Tarji lagi, menasehati Warok yang suka nyolong, nguras kolam tetangga malam-malam hanya untuk beli rokok, untuk udad udud.

Warok tidak tersinggung pada ucapan Tarji. Sebab memang begitulah faktanya. Hidupnya serba pas pasan, membuat Warok dikenal sebagai tukang nyolong, atau berprofesi maling di desa.

Memang bukan barang  berharga yang diembat oleh Warok di malam hari. Warok biasa nyolong pisang, pepaya, singkong, pete di kebun milik tetangga. Terkadang dia menguras kolam lele, kolam nila. Dan warok entah bagaimana caranya, dia selalu sukses dalam hal tehnik colong  menyolong itu.

"Biar saja. Kasihan dia tak punya keterampilan dan pekerjaan tetap", ujar orang-orang desa yang sebagian besar sebenarnya tahu akan ulah Warok yang demikian itu. Warok hidup dari apa saja yang bisa dia embat di malam hari, hidupnya mirip kalong, codot atau kampret.

Lalu sejak itu Tarji membawa Warok ke Jakarta. "Semoga kalian sukses", begitu doa orang-orang di desa, sambil melambaikan tangan ke arah Warok dan Tarji yang mulai berangkat naik bis ke Ibukota.

Maka Tarji dan Warok tinggal di gang kampung rawa yang kumuh di Jakarta Barat. Di bulan pertama Warok kerja serabutan ikut Kirjo, tetangga Tarji. Sementara Tarji sendiri jadi petugas cleaning service di KRL. Dia berangkat pagi pulang petang. Itu mengapa Tarji jarang ketemu Warok di kontrakannya. Terkadang Warok tidak pulang beberapa hari. Mungkin Warok ada pekerjaan lembur bersama Kirjo, begitu pikir Tarji.

Seminggu pergi tak pulang ke kontrakan, akhirnya Warok nongol juga. Penampilannya kini sudah berubah. Warok sudah mirip orang kota, perlente, pakaiannya necis rapih. Warok tidak tampak lagi seperti Wong Ndeso yang dekil. 

Tarji senang sebab mungkin saja Warok sudah mendapat penghasilan yang lumayan dan mapan. Begitu pikir Tarji.

Tarji tidak bertanya kemana saja selama ini Warok pergi, karena itu masalah pribadi. Tarji juga menduga bahwa Warok sudah mulai dapat duit berkat kerja serabutan bersama Kirjo, atau mungkin dengan orang lain. Syukurlah, Warok sudah bisa merintis hidup mandiri di kota besar, begitu pikir Tarji dalam hati.

Malam itu, Warok ternyata pulang ke kontrakan untuk berpamitan. Tentu saja Tarji kaget. Warok bilang ada seorang kaya di Pluit yang memintanya untuk menjaga rumahnya. Tarji tak bisa  mencegah Warok, sebab tekad Warok sudah bulat untuk bekerja ikut orang kaya di Pluit itu. Tarji dan Warok akhirnya berpisah.

Warok pergi dengan membawa tas pakaian yang belum lama dia bawa dari desa. Tarji berdoa dalam hati, semoga Warok sukses. "Datanglah kemari, kalau ada apa-apa pintu terbuka", kata Tarji melepas kepergian Warok.

Enam bulan berlalu. Tarji tak pernah mendengar kabar tentang Warok. Mereka juga tak saling berkabar. Tarji sendiri terlalu sibuk setiap hari bekerja jadi petugas cleaning service di KRL. Sampai pada suatu malam Minggu, secara tak sengaja Tarji bertemu Warok di sebuah Mal besar di kawasan Thamrin.

Tarji takjub. Penampilan Warok kini benar-benar telah berubah, membuat Tarji pangling. Warok memang perlente, sepatunya mengkilat, bercelana jin dan berjaket kulit, dengan logat bicaranya with ciyus lu guwe lu guwe. Luar biasa! 

Warok telah memetamorfosa, meresolusi diri sebagai sosok anak muda gedongan metropolitan! Tak henti Tarji selalu berdecak kagum dan takjub pada Warok.

Selain takjub, hati Tarji sekaligus senang melihat Warok tampak semakin makmur. Setidaknya itu yang terlihat di penampilan Warok. Tetapi sayang waktu itu mereka tak bisa berbincang lama, sebab Warok katanya ada janji ketemuan dengan orang penting, urusan proyek di tempat lain.

Tarji tak bisa mencegah, walau sebenarnya dia masih ingin berbincang lama dengan Warok, kawan kecilnya itu. Di Mal itu mereka akhirnya berpisah.

"Datanglah kekontrakanku, pintu selalu terbuka. Sama seperti kemarin kemarin", ujar Tarji melepas kepergian Warok. Lalu Tarji pulang, sambil menggenggam rasa senang, membayangkan hidup Warok yang telah sukses.

Akan tetapi, sesampai di rumah, Tarji terkejut karena kontrakannya tampak didatangi oleh beberapa orang, termasuk Pak RT. Ada masalah apa? Tanya Tarji pada mereka. Pak RT menjelaskan bahwa beberapa warga pemilik warung di Kampung Rawa merasa resah, merasa tertipu dan minta tanggungjawab Tarji.

"Tanggungjawab apa? Kok saya? Masalahnya apa?", tanya Tarji bingung.

Lalu beberapa pemilik warung itu bilang bahwa orang yang dulu tinggal bersama Tarji telah berhutang sejumlah uang cukup besar ke beberapa pemilik warung dan konon akan mengembalikan segera berikut bunganya atas nama Tarji.

Tetapi hingga beberapa bulan atau hingga kini, hutang itu belum dilunasi serupiah pun. Dan kini mereka datang bersama Pak RT untuk menagih hutang.

Tarji jadi tahu bahwa orang berhutang itu adalah Warok, kawan kecilnya dari desa. Pak RT menjelaskan bahwa beberapa orang pemilik warung itu merasa dirugikan, dan datang mau menagih hutang.

"Sudahlah, selesaikan saja. Bayar saja hutangnya, daripada terjadi kenapa napa", begitu saran Pak RT.

Mendadak Tarji menepuk jidat! Benarkah Warok telah berhutang kepada orang-orang ini dan dirinya dijadikan sebagai jaminan atas hutang yang ternyata mencapai belasan juta itu? Tarji lemas.

Mengapa Warok bisa setega itu pada dirinya? Tak ada jawaban pasti.
"Warok kamu sungguh kalong, codot atau kampret", desis Tarji lirih. 

Tarji mendadak lunglai. Tiba-tiba kepala Tarji terasa pusing. Pandangan Tarji mengabur, penuh kunang-kunang. Lalu gelap segelap gelapnya. Tarji pingsan.

SELESAI

D Wibhyanto - penulis adalah pencinta sastra, tinggal di Jakarta 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun