Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jika Pejabat Negara Anti Kritik, Itu Pertanda...

7 Juni 2023   07:49 Diperbarui: 8 Juni 2023   05:50 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Pejabat Negara Anti Kritik, itu Pertanda .... 

Kasus siswi SMP dipolisikan karena kritik Pemkot Jambi berakhir damai, pada Selasa 6 Juni 2023 kemarin, diberitakan News.Detik.com. Polda Jambi melakukan mediasi kasus siswi SMP di Jambi berinisial SFA dipolisikan karena mengkritik Pemkot Jambi. SFA dan Pemkot Jambi akhirnya sepakat menyelesaikan kasus itu secara damai. (Sumber) Kasus serupa, warga masyarakat mengkritik pejabat pemerintah/pejabat negara sudah terjadi sebelumnya, dan sempat viral di media sosial, yakni kritik seorang warga kepada pemkot Lampung beberapa waktu lalu.

Ulasan ini menjawab gejala sosial mengapa pejabat negara sepertinya cenderung alergi menerima kritik dari warga masyarakat. Apa langkah bijaksana sebaiknya dilakukan pejabat negara ketika menerima kritik masyarakat?

Siapa Pejabat Negara dan Tugasnya Melayani Siapa 

Pejabat penyelenggara negara atau Pejabat Negara adalah individu yang memiliki posisi atau jabatan dalam pemerintahan suatu negara dan bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dalam menjalankan pemerintahan. 

Tugas utama pejabat penyelenggara negara adalah melayani masyarakat dan kepentingan umum. Mereka bertanggung jawab untuk menjalankan kebijakan publik, melaksanakan undang-undang, mempertahankan keamanan dan ketertiban, serta menyelenggarakan pelayanan publik. Beberapa pejabat negara itu, di antaranya termasuk:

Presiden: Pejabat tertinggi dalam sistem pemerintahan suatu negara. Tugas Presiden meliputi kepemimpinan, pembuatan kebijakan, dan pengambilan keputusan strategis dalam menjalankan pemerintahan.

Menteri: Menteri adalah pejabat yang bertanggung jawab atas suatu departemen atau kementerian dalam pemerintahan. Tugas mereka termasuk pengelolaan dan pengembangan kebijakan di bidang yang relevan dengan departemen yang mereka pimpin.

Bupati/Wali Kota: Pejabat eksekutif dalam tingkat pemerintahan daerah. Tugas mereka meliputi pengelolaan pemerintahan daerah, pengambilan kebijakan, pengelolaan anggaran, dan penyelenggaraan pelayanan publik di wilayah yang mereka pimpin.

Anggota Parlemen: Anggota parlemen merupakan perwakilan rakyat yang dipilih oleh masyarakat untuk mewakili kepentingan mereka dalam proses pembuatan keputusan dan legislasi. Tugas mereka meliputi penyusunan undang-undang, pengawasan pemerintah, dan menjalankan fungsi representatif.

Hakim: Hakim adalah pejabat dalam sistem peradilan yang bertugas untuk memutuskan kasus-kasus hukum berdasarkan undang-undang dan prinsip keadilan. Tugas mereka adalah untuk memastikan penerapan hukum secara adil dan objektif.

Polisi: Pejabat kepolisian bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi hak-hak warga negara. Tugas mereka termasuk penyelidikan kejahatan, patroli, penegakan hukum, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Tugas pejabat penyelenggara negara adalah melayani semua warga negara dan kepentingan umum. Mereka bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas, memastikan keadilan, dan menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan integritas, transparansi, dan akuntabilitas.

Jika Pejabat Negara Anti Kritik, itu pertanda apa? 

Jika pejabat negara menunjukkan sikap yang anti-kritik, menurut penulis itu dapat menjadi pertanda beberapa hal yang mungkin:

Ketidaktransparanan: Pejabat negara yang anti-kritik mungkin ingin menyembunyikan tindakan atau keputusan yang kontroversial atau meragukan. Mereka mungkin tidak ingin menghadapi pertanyaan atau kritik yang dapat mengungkapkan kekurangan atau kesalahan dalam kebijakan atau tindakan mereka.

Ketidakdemokratisan: Sikap anti-kritik dari pejabat negara bisa menunjukkan ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk menerima pendapat yang berbeda atau kritik yang membangun. Hal ini dapat merusak prinsip dasar demokrasi, yaitu kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.

Ketidakadilan: Jika pejabat negara secara sistematis menindas atau menghukum orang-orang yang mengkritik mereka, itu bisa menunjukkan adanya ketidakadilan dalam sistem. Hal ini dapat mencerminkan perlakuan yang tidak adil terhadap hak-hak asasi manusia, seperti kebebasan berbicara dan hak untuk menyampaikan pendapat.

Kekuasaan yang berlebihan: Sikap anti-kritik juga dapat menunjukkan adanya kecenderungan pejabat negara untuk mempertahankan kekuasaan mereka tanpa adanya akuntabilitas atau pengawasan yang memadai. Ini bisa menjadi tanda otoritarianisme atau diktatorisme di mana pejabat negara mencoba untuk menekan oposisi dan membatasi kebebasan sipil.

Namun, penting untuk diingat bahwa interpretasi dari sikap anti-kritik ini dapat bervariasi tergantung pada konteks dan bukti yang ada.

Berkaca dari Beberapa Tokoh Dunia yang Anti Terhadap Kritikan Rakyat

Berikut ada beberapa contoh tokoh dunia yang telah ditunjukkan memiliki sikap yang anti-kritik:

Kim Jong-un (Korea Utara): Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara, telah terkenal karena menjalankan rezim otoriter di negaranya. Kritik terhadap pemerintahannya jarang diterima atau diizinkan, dan ada kontrol media yang ketat di Korea Utara. Orang-orang yang mengkritik atau mengungkapkan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah dapat menghadapi tindakan represif, termasuk penangkapan dan hukuman.

Recep Tayyip Erdogan (Turki): Erdogan, presiden Turki, telah dikritik karena sikapnya yang tegas terhadap kritik. Dia telah melakukan penindasan terhadap jurnalis, aktivis, dan lawan politiknya. Selama kepemimpinannya, banyak kasus penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang yang dianggap mengancam pemerintahannya atau mengkritik kebijakannya.

Vladimir Putin (Rusia): Putin, presiden Rusia, telah dikritik karena mengendalikan media dan melarang kritik yang berlebihan terhadap pemerintahannya. Beberapa jurnalis yang telah mengkritik pemerintah atau mengungkapkan pandangan yang berbeda telah menghadapi tindakan represif seperti penahanan, penganiayaan, dan pembunuhan.

Xi Jinping (Tiongkok): Xi Jinping, presiden Tiongkok, telah mengkonsolidasikan kekuatan secara signifikan selama masa kepemimpinannya. Pemerintah Tiongkok memiliki kendali yang ketat terhadap media dan internet, dan kritik terhadap partai komunis atau pemerintah sering kali ditekan. Orang-orang yang mengkritik pemerintah atau menyuarakan pendapat yang berbeda dapat menghadapi penindasan, penahanan, atau penganiayaan.

Penting untuk dicatat bahwa ini hanya beberapa contoh, dan ada banyak tokoh dunia lainnya yang juga dapat menunjukkan sikap yang anti-kritik. Penekanan pada kritik dapat bervariasi dalam tingkat dan metode di berbagai negara.

Dampaknya pada Demokrasi

Di negara demokrasi Indonesia dan di era reformasi seperti sekarang, pembungkaman atas kritik pada penyelenggara negara, adalah sesuatu yang ganjil dan seharusnya tidak dilakukan atau sebaiknya dihindari sepanjang masih bisa dimusyawarahkan. Mengapa? 

Sebab sikap pejabat negara yang anti-kritik dapat memiliki dampak yang signifikan, baik bagi masyarakat maupun bagi sistem pemerintahan, termasuk demokrasi. Beberapa dampak yang bisa  terjadi adalah:

Pembatasan kebebasan berpendapat: Sikap anti-kritik dari pejabat negara dapat menghasilkan pembatasan yang signifikan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat menjadi takut untuk menyampaikan kritik atau pendapat yang berbeda, menghambat keberagaman pendapat, dan menghambat pertukaran ide yang sehat.

Kurangnya akuntabilitas: Ketika pejabat negara menolak atau menindas kritik, mereka dapat menghindari akuntabilitas terhadap tindakan atau keputusan mereka. Akuntabilitas adalah prinsip penting dalam pemerintahan yang baik dan demokrasi, yang memastikan bahwa pejabat publik bertanggung jawab atas tindakan mereka kepada rakyat yang mereka layani. Tanpa kritik yang membangun, risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dapat meningkat.

Kurangnya inovasi dan perbaikan: Kritik yang konstruktif dapat membantu pejabat negara untuk memperbaiki kebijakan, tindakan, atau program mereka. Ketika sikap anti-kritik prevale, pejabat negara mungkin enggan menerima masukan konstruktif atau mencari perbaikan, yang pada gilirannya dapat menghambat inovasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Pembungkaman oposisi: Sikap anti-kritik dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam oposisi dan menghambat demokrasi. Pejabat negara yang tidak menerima kritik mungkin menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan dan mengintimidasi lawan politik, aktivis, dan jurnalis yang mencoba mengkritik atau mengungkap kekurangan pemerintah.

Menurunnya kepercayaan publik: Ketika pejabat negara menunjukkan sikap yang anti-kritik, hal itu dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat mungkin merasa bahwa pemerintah tidak mendengarkan suara mereka, tidak transparan, atau tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Ini dapat menghasilkan ketidakpuasan yang meningkat dan potensi konflik sosial.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, penting bagi pejabat negara untuk menerima kritik yang membangun dan terlibat dalam dialog yang konstruktif dengan masyarakat. Kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat adalah nilai-nilai penting yang harus dijaga dan dihormati untuk memastikan pemerintahan yang baik dan keterlibatan publik yang efektif.

Apakah Demokrasi Anti Kritik? 

Tidak, demokrasi sejati seharusnya tidak anti-kritik. Sebaliknya, kritik adalah bagian integral dari demokrasi yang sehat dan berfungsi sebagai mekanisme penting untuk memperbaiki kebijakan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak untuk menyuarakan pendapat mereka, termasuk kritik terhadap pemerintah dan pejabat negara.

Demokrasi yang baik didasarkan pada prinsip akuntabilitas dan transparansi. Pejabat negara harus bertanggung jawab kepada rakyat yang mereka layani, dan kritik yang konstruktif dapat membantu mengungkap kelemahan atau kekurangan dalam kebijakan atau tindakan pemerintah. Kritik yang membangun dapat merangsang perdebatan yang sehat, membuka ruang bagi solusi yang lebih baik, dan mendorong pemimpin untuk bertindak sesuai kepentingan publik.

Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat dilindungi sebagai hak asasi manusia. Ini memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan kritik, mengajukan pertanyaan, dan menyampaikan pandangan mereka tanpa takut represi atau pembalasan dari pemerintah. Partisipasi aktif dan kritis dari warga negara adalah landasan penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Namun, penting juga untuk menjaga keseimbangan dalam kritik. Kritik yang dibangun dengan argumen dan bukti yang kuat dapat membantu memperbaiki kebijakan, sementara kritik yang tidak beralasan atau berdasarkan informasi yang salah dapat merusak dialog yang produktif. Oleh karena itu, kritik yang membangun dan diarahkan pada perbaikan adalah inti dari demokrasi yang sehat.

Kebebasan Berekspresi dilindungi oleh Negara

Di banyak negara, kebebasan berekspresi, berbicara, dan mengeluarkan pendapat dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan ini seringkali termasuk dalam konstitusi atau undang-undang hak asasi manusia. Namun, perincian dan jangkauan perlindungan tersebut dapat bervariasi di setiap negara. Berikut adalah beberapa contoh instrumen hukum yang umumnya melindungi kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat:

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (UDHR): UDHR adalah dokumen internasional yang menyatakan hak-hak dasar yang harus dilindungi untuk semua orang. Pasal 19 UDHR menegaskan hak atas kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan untuk menyampaikan pendapat tanpa hambatan.

Konstitusi Nasional: Banyak konstitusi negara, seperti Konstitusi Amerika Serikat dengan Amendemen Pertama atau Konstitusi Prancis dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, melindungi kebebasan berbicara, berekspresi, dan mengeluarkan pendapat. Konstitusi negara biasanya memberikan dasar hukum untuk hak-hak ini dan menetapkan batasan-batasan yang dapat dikenakan atasnya.

Hukum Kebebasan Pers: Beberapa negara memiliki undang-undang khusus yang melindungi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi melalui media. Undang-undang semacam ini memberikan jaminan untuk kebebasan wartawan dan media dalam melaporkan berita dan menyampaikan pendapat mereka tanpa campur tangan yang tidak semestinya.

Konvensi Internasional: Selain UDHR, ada juga konvensi internasional lainnya yang melindungi kebebasan berekspresi, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diadopsi oleh PBB. ICCPR menjamin hak kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan secara bebas.

Penting untuk dicatat bahwa kebebasan berekspresi sering kali tidak bersifat mutlak dan dapat dibatasi dalam beberapa situasi tertentu, seperti untuk melindungi kepentingan keamanan nasional, mencegah fitnah atau pencemaran nama baik, atau melindungi hak-hak orang lain. Batasan-batasan ini harus sesuai dengan prinsip-propinsi hukum internasional dan proporsional dalam hubungannya dengan tujuan yang dikejar.

Bagaimana di Indonesia? 

Ya, di Indonesia, kebebasan berekspresi, berbicara, dan mengeluarkan pendapat juga dilindungi oleh undang-undang. Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), memberikan jaminan terhadap hak-hak tersebut. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Selain UUD 1945, ada beberapa undang-undang yang melindungi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat di Indonesia, antara lain:

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Undang-undang ini menegaskan dan melindungi hak asasi manusia termasuk kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum: Undang-undang ini mengatur tentang hak dan kewajiban dalam menyampaikan pendapat di muka umum serta melindungi kebebasan berekspresi dalam konteks publik.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers: Undang-undang ini melindungi kebebasan pers dan memberikan dasar hukum bagi kegiatan jurnalistik dan media di Indonesia.

Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kebebasan berekspresi dilindungi oleh undang-undang, ada batasan-batasan yang diberlakukan untuk menjaga kepentingan umum dan hak-hak orang lain. Beberapa contoh batasan tersebut termasuk penghinaan, pencemaran nama baik, penyebaran kebencian, atau penghasutan kekerasan. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memiliki ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan media sosial dan internet.

Penting untuk memahami bahwa kebebasan berekspresi harus digunakan dengan tanggung jawab dan menghormati hak-hak orang lain. Jika ada dugaan pelanggaran atau penyalahgunaan kebebasan berekspresi, ada proses hukum yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya.

Bertindak Bijaksana

Sikap yang bijaksana dari pejabat negara terhadap kritikan mencerminkan kepemimpinan yang terbuka, transparan, dan responsif. Berikut adalah beberapa sikap yang dapat diadopsi oleh pejabat negara untuk menanggapi kritik dengan bijaksana:

Dengarkan dengan penuh perhatian: Dengarkan kritik dengan sungguh-sungguh dan berikan perhatian penuh terhadap pandangan dan masalah yang diajukan. Pejabat negara seharusnya mampu mendengarkan secara aktif, memahami keprihatinan yang diungkapkan, dan menghargai sudut pandang yang berbeda.

Jaga sikap terbuka: Hindari sikap defensif atau menolak kritik secara langsung. Pejabat negara seharusnya memiliki sikap terbuka terhadap kritik dan mampu menerima bahwa mereka juga bisa melakukan kesalahan atau memiliki kekurangan.

Terima kritik dengan rendah hati: Jika kritik itu beralasan dan berdasar, pejabat negara seharusnya mampu menerima tanggung jawab dan mengakui kesalahan atau kekurangan yang diungkapkan. Menunjukkan kesediaan untuk mengoreksi dan memperbaiki diri akan membangun kepercayaan publik dan memperkuat integritas sebagai pemimpin.

Evaluasi kritik secara objektif: Selidiki kritik dengan objektif dan pertimbangkan apakah ada kebenaran atau validitas dalam kritik yang diberikan. Tinjau apakah kritik tersebut didasarkan pada fakta yang valid atau hanya berdasarkan persepsi atau opini subjektif.

Berikan penjelasan dan klarifikasi: Jika ada ketidakjelasan atau kekurangan informasi dalam kritik, pejabat negara seharusnya mampu memberikan penjelasan dan klarifikasi yang memadai. Ini membantu mengatasi kesalahpahaman dan memperbaiki komunikasi antara pejabat negara dan publik.

Berkomunikasi secara terbuka: Jalinlah komunikasi terbuka dengan publik dan sampaikan secara jelas bagaimana pejabat negara merespons kritik yang diterima. Sampaikan langkah-langkah yang diambil untuk menangani masalah yang dikritik dan jelaskan proses yang terlibat dalam membuat keputusan atau kebijakan.

Perbaiki dan bertindak: Menggunakan kritik sebagai landasan untuk perbaikan dan tindakan adalah sikap yang bijaksana. Pejabat negara harus menunjukkan kesediaan untuk mengubah kebijakan atau tindakan yang tidak efektif, dan berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja mereka.

Sikap yang bijaksana terhadap kritik oleh pejabat negara adalah penting dalam membangun kepercayaan publik, memperkuat akuntabilitas, dan mempromosikan pemerintahan yang responsif. Dengan menerima dan menanggapi kritik dengan sikap yang terbuka, pejabat negara dapat memperkuat demokrasi dan membangun hubungan yang lebih.

Sebaiknya kita semua, terutama para pejabat negara, senantiasa ingat pada pesan moral dan kritik sosial yang pernah disampaikan penyair Wiji Thukul yang menentang rezim otoriter orde baru. Di antaranya: (dikutip dari SUMBER)

""Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam."

"Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu."

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!"

Selesai *Penulis adalah mantan mahasiswa Fisipol UGM 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun