Angin Berubah Arah #25
Suasana berubah ngelangut di tempat itu. Untuk beberapa saat tak ada yang berbicara.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang, Bapa? Apakah lebih baik kita tetap menyerahkan urusan ini kepada kakang Baruklinting?", tanya Guntur Geni yang duduk di pojok ruangan itu dan sejak tadi menyimak pembicaraan pertemuan itu.
Ki Ageng Wanabaya terdiam. Dia menarik napas dalam.
"Baruklinting, terlibat", jawab Ki Ageng Wanabaya singkat. Wajahnya menegang. Nada suaranya terasa masgul.
Semua orang yang hadir dalam ruangan itu mendadak keheranan. Mereka tidak memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Ki Ageng Wanabaya itu. Mereka tidak tahu mengapa Ki Ageng Wanabaya berubah murung sejak berkesimpulan demikian itu: Baruklinting terlibat! Terlibat apa?Â
"Baruklinting berada dibalik semua ini", imbuhnya lagi. Raut wajahnya bertambah murung.
Ki Ageng Wanabaya kemudian diliputi rasa sedih dan kecewa. Dia tidak habis pikir mengapa hal itu dilakukan oleh putra yang dikasihinya itu. Perasaannya benar-benar terpukul dan kecewa. Pikirannya menerawang ke sosok Baruklinting, putra yang dikasihinya itu.
"Mengapa kau lakukan itu, anakku. Tak cukupkah kebaikan Mangir yang kulimpahkan kepadamu, hingga kau tega menjalani semuanya itu?", desisnya.
"Telah kuberikan segalanya kepadamu, anakku. Bahkan jika tahta itu sekalipun yang kau minta, akan kuberikan dengan sukarela. Mengapa kau memilih jalan perang untuk mendapatkannya? Mengapa kau mengorbankan banyak nyawa, orang-orang tak berdosa? kau tega melakukan itu padaku, bapamu sendiri". Ki Ageng Wanabaya kecewa, berkata-kata pada dirinya sendiri. Perasaan hatinya telah terpukul begitu hebat.
Dia sebenarnya akan rela melepaskan kekuasaan Mangir ke tangan Baruklinting dengan sukarela, jika mengetahui dari awal bahwa Baruklinting menginginkan tahta, atau ingin menjadi pemimpin tertinggi Mangir menggantikan dirinya.
"Aku ikhlas memberikan semuanya, bahkan ikhlas kuberikan tahta itu jika kau memintanya sendiri padaku. Mengapa tak kau lakukan itu sedari dulu, anakku. Mengapa?". Nada suara orang tua itu bergetar hebat. Dia menangis tanpa air mata. Hatinya pilu.