Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sejumlah Menteri Nyaleg 2024, Apa Masalahnya?

15 Mei 2023   22:50 Diperbarui: 24 Mei 2023   11:35 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah Menteri Nyaleg 2024, Apa Masalahnya? 

Sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju bakal mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Antara lain Menkumham Yasonna Laoly, Menaker Ida Fauziah, Menkominfo Johnny G Plate, Mentan Syahrul Yasin Limpo. Kemudian, Wamenag Zainut Tauhid, Wamenaker Afriansyah Noor, dan Wamenparekraf Angela Tanoesoedibjo. Mengutip Kompas.com (15/5/23).

Bukan Fenomena Baru

Fenomena menteri ikut dalam pemilihan umum legislatif di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sejak era Orde Baru. Namun, pada saat itu, partai politik di Indonesia hanya ada satu, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), dan seluruh menteri berasal dari Golkar sehingga dapat dipastikan bahwa mereka selalu mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.

Setelah era Reformasi dimulai pada tahun 1998, partai-partai politik mulai bermunculan dan menteri pun mulai mencalonkan diri dari partai politik yang berbeda-beda. 

Pada Pemilu 1999, ada beberapa menteri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR.

Pada Pemilu 2004, fenomena menteri ikut dalam pemilihan umum legislatif semakin tampak. Sejumlah menteri pada saat itu, termasuk Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR dari partai politik tertentu.

Fenomena ini terus berlanjut pada pemilihan umum legislatif berikutnya, seperti Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, di mana sejumlah menteri kabinet mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari partai politik tertentu.

Sementara untuk Pileg 2024, Presiden Joko Widodo telah memberi peringatan pada para menterinya, jika kinerjanya terganggu akibat maju sebagai caleg, maka posisinya sangat mungkin diganti. "Selalu saya evaluasi, kalau memang mengganggu, kerjanya terganggu, ya ganti bisa. Itu saja," tutur Jokowi di Istora Senayan, Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu, dikutip dari Kompas.com (15/5/23).

Ada Lima Alasan

Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa pejabat menteri presiden kerap mencalonkan diri sebagai anggota parlemen antara lain:

1. Meningkatkan dukungan politik: Sebagai anggota parlemen, mereka memiliki kesempatan untuk memperluas jaringan dukungan politik dan memperkuat hubungan dengan partai politik dan anggota parlemen lainnya. Ini dapat membantu meningkatkan dukungan politik mereka dan mempertahankan jabatan menteri presiden.

2. Pengawasan dan kontrol: Sebagai anggota parlemen, mereka memiliki kekuatan pengawasan dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah dan tindakan lainnya yang dilakukan oleh pejabat pemerintah lainnya. Ini memberi mereka kendali yang lebih besar atas kinerja pemerintah dan memungkinkan mereka untuk lebih aktif memperjuangkan agenda mereka.

3. Meningkatkan keterampilan legislasi: Sebagai anggota parlemen, mereka dapat memperoleh pengalaman dan keterampilan yang diperlukan untuk merancang dan meloloskan undang-undang dan kebijakan yang efektif. Ini dapat membantu mereka menjadi lebih efektif dalam posisi menteri presiden dan memperkuat kapasitas pemerintah dalam membuat kebijakan.

4. Koneksi dengan masyarakat: Anggota parlemen memiliki kesempatan untuk lebih terhubung dengan masyarakat dan mendengarkan keluhan, masalah, dan aspirasi mereka. Ini dapat membantu pejabat menteri presiden untuk lebih memahami kebutuhan masyarakat dan merancang kebijakan yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.

5. Mempertahankan karir politik: Menjadi anggota parlemen dapat membantu pejabat menteri presiden untuk memperkuat basis dukungan politik mereka dan memperkuat posisi mereka di partai politik. Ini dapat membantu mereka mempertahankan karir politik mereka dalam jangka panjang dan memperluas peluang mereka di masa depan.

Namun, ada juga beberapa kekhawatiran terkait dengan praktik tersebut, seperti konflik kepentingan antara tugas sebagai menteri dan sebagai calon anggota parlemen, serta peningkatan biaya kampanye dan risiko korupsi.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan partai politik untuk mengatur secara ketat tindakan para pejabat publik dalam konteks kampanye politik dan untuk memastikan bahwa mereka tetap bertanggung jawab dan mengutamakan kepentingan publik.

Diperbolehkan oleh Undang Undang

Masalahnya adalah para pejabat Menteri nyaleg 2024 atau melakukan hijrah politik ke legislaltif itu diperbolehkan oleh aturan undang-undang.

Perlu dicatat bahwa menurut UU Pemilu 2017 No17, menteri dan anggota DPR juga tidak harus mengundurkan diri jika ingin mencalonkan diri. 

Pasal 240 ayat 1 huruf k ketetapan tersebut menyatakan bahwa  kepala daerah, wakil kepala daerah, dan aparatur sipil negara diberlakukan aturan untuk mengundurkan diri. Kemudianaturan itu berlaku pula bagi  anggota TNI/Polri serta direksi, komisaris, badan pengawas dan pegawai badan BUMN/BUMD lainnya yang anggarannya bersumber dari perekonomian negara.

Khusus untuk menteri, ketentuan ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 57/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa menteri tidak harus mengundurkan diri untuk mencalonkan diri. 

Menurut MK, jabatan menteri merupakan jabatan politik yang keberadaannya bergantung pada Presiden. Selama Presiden membutuhkan menteri, yang bersangkutan bisa dipertahankan atau sebaliknya.

Pada 2019, Presiden Jokowi pernah memberikan izin kepada menterinya yang ingin jadi caleg. Sepanjang, mereka tetap bekerja maksimal atas tugas yang diberikan. Selain itu, mereka pun diminta untuk cuti ketika kampanye.

Tinjauan Etika Politik

Mengikuti etika politik yang baik, seorang menteri yang sedang menjabat seharusnya fokus pada tugasnya sebagai pejabat negara, yaitu untuk melayani rakyat dan mengurus kepentingan negara. 

Mencalonkan diri sebagai anggota parlemen ketika masih menjabat sebagai menteri bisa menimbulkan konflik kepentingan, karena seorang menteri seharusnya netral dan tidak terikat pada kepentingan partai politik tertentu.

Namun, dalam konteks politik Indonesia, sejak era reformasi, fenomena menteri ikut pemilihan umum legislatif dianggap sah secara hukum dan konstitusional. Meskipun demikian, fenomena ini tetap menuai kritik dari beberapa pihak yang melihat hal tersebut sebagai tindakan yang kurang etis dalam politik.

Oleh karena itu, walaupun legal dan konstitusional, partisipasi menteri dalam pemilihan umum legislatif sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati dan sesuai dengan etika politik yang baik, dengan memastikan bahwa tugas dan kewajiban sebagai menteri tidak terganggu oleh kegiatan politik lainnya.

Kekuasaan pada Kelompok atau Partai Tertentu

Mungkin kita bertanya, mengapa kadangkala kita lihat bahwa kue kekuasaan politis, baik di eksekutif maupun di legislatif dikelola atau "Diperebutkan" oleh orang-orang atau kelompok yang figure orangnya 'itu itu saja"?

Kekuasaan politik di negara demokratis dipengaruhi oleh partisipasi aktif masyarakat dalam pemilihan umum dan proses politik yang berlangsung. Dalam hal ini, masyarakat memiliki hak untuk memilih wakil mereka dalam pemerintahan.

Namun, dalam kenyataannya, terkadang kekuasaan politik cenderung terkonsentrasi pada kelompok tertentu atau partai politik tertentu, dan masyarakat merasa bahwa hanya segelintir orang atau kelompok yang memiliki kendali atas kekuasaan politik.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terkonsentrasinya kekuasaan politik pada kelompok tertentu adalah:

Keterbatasan akses dan sumber daya politik: Terkadang, hanya segelintir orang atau kelompok yang memiliki akses dan sumber daya untuk terlibat dalam politik dan mempengaruhi proses politik. Hal ini dapat membuat kekuasaan politik terkonsentrasi pada mereka yang memiliki akses dan sumber daya tersebut.

Budaya politik: Budaya politik yang ada dalam masyarakat juga dapat mempengaruhi terkonsentrasinya kekuasaan politik pada kelompok tertentu. Jika masyarakat terbiasa dengan praktek-praktek politik yang tidak transparan dan tidak akuntabel, maka kekuasaan politik cenderung terkonsentrasi pada kelompok yang menerapkan praktek-praktek tersebut.

Ketidakmampuan masyarakat dalam memilih pemimpin yang tepat: Jika masyarakat tidak terlatih atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang calon-calon pemimpin dan visi mereka, maka mereka mungkin memilih calon yang hanya menjanjikan kepentingan sempit atau hanya memperkuat kekuasaan kelompok tertentu.

Dalam hal ini, upaya untuk meningkatkan akses dan sumber daya politik, memperbaiki budaya politik, dan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang politik dapat membantu mengatasi masalah terkonsentrasinya kekuasaan politik pada kelompok tertentu. Hal ini dapat menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan mewakili kepentingan seluruh masyarakat.

Solusinya

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi terkonsentrasinya kekuasaan politik pada kelompok tertentu atau "itu-itu saja" adalah:

Meningkatkan akses dan sumber daya politik bagi seluruh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat untuk terlibat dalam politik, termasuk akses ke informasi politik dan kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon pemimpin.

Membangun budaya politik yang lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel. Hal ini dapat dilakukan dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya integritas, akuntabilitas, dan partisipasi dalam politik, serta dengan memberikan akses terbuka kepada masyarakat untuk mengawasi dan memantau kebijakan dan tindakan pemerintah.

Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang calon-calon pemimpin dan visi mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi calon untuk berbicara langsung dengan masyarakat, menggelar debat publik, dan memberikan akses yang lebih terbuka terhadap informasi tentang calon dan visi mereka.

Membuat aturan yang jelas dan transparan tentang proses politik dan pemilihan umum. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat aturan yang jelas dan terbuka tentang pemilihan umum, termasuk tentang batas-batas pendanaan kampanye, persyaratan calon pemimpin, dan proses penghitungan suara yang transparan.

Dengan melakukan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa kekuasaan politik akan lebih tersebar secara merata pada seluruh masyarakat dan bukan hanya pada kelompok tertentu itu lagi. 

Ini akan menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan mewakili kepentingan seluruh masyarakat, serta memperkuat demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.

Baca juga: Tips Kampanye Politik yang Efektif!

Kesimpulan

Partisipasi menteri dalam pemilihan umum legislatif di Indonesia telah menuai sorotan kritik dari beberapa pihak yang melihat hal tersebut sebagai tindakan yang kurang etis dalam politik. Namun, secara hukum dan konstitusional, fenomena ini sah dilakukan.

Secara umum, sistem demokrasi di Indonesia masih mengalami beberapa tantangan dalam menciptakan iklim politik yang sehat dan transparan. Beberapa masalah yang dihadapi antara lain adalah praktek korupsi, politik uang, praktik nepotisme, dan praktik ketergantungan keuangan terhadap donatur atau pihak tertentu.

Partisipasi menteri dalam pemilihan umum legislatif dapat memperburuk situasi ini karena menimbulkan potensi konflik kepentingan dan tumpang tindihnya peran antara eksekutif dan legislatif. Namun, jika partisipasi ini dilakukan dengan etika politik yang baik dan tidak mengganggu tugas dan kewajiban sebagai menteri, maka partisipasi ini dapat diterima.

Dalam konteks ini, upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku menjadi sangat penting untuk menciptakan iklim politik yang sehat di Indonesia. Peningkatan pendidikan politik dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam politik juga dapat membantu mengatasi masalah yang ada. Semoga.

Selesai * Penulis adalah mantan mahasiswa Fisipol UGM.
Sumber image Kompas.com /Kristianto Purnomo
Sumber image Kompas.com /Kristianto Purnomo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun