Secara refleks kedua orang dari Mangir itu memasang kuda-kuda. Ki Suta menyadari bahwa mereka berdua dalam posisi bahaya, terkepung oleh keadaan. Gerakan kelompok orang yang mengitarinya itu semakin cepat, menyebabkan debu dan abu beterbangan ke angkasa.Â
"Biarlah aku keluar dari kepungan ini, dimas. Kita serang mereka dari dua sisi yang berbeda". Ki Nala berbisik kepada adiknya.Â
"Baiklah, kakang", ujar Ki Suta singkat.Â
Sejeda kemudian Ki Nala merundukkan tubuhnya sedikit ke tanah. Lalu dalam satu gerakan, telapak kakinya telah menjejak bumi, sehingga tubuhnya tiba-tiba melenting ke udara. Tubuh itu telah keluar dari kepungan orang-orang berpakaian serba hitam itu, lalu mendarat dengan ringan di luar lingkaran kepungan itu.Â
Namun di saat hampir bersamaan, Ki Suta tiba-tiba berteriak mengaduh. Beberapa sabetan senjata tajam tak bisa dia hindari. Senjata yang keluar dari kepungan orang-orang yang berputar cepat mengelilinginya itu mengenai lengan dan perutnya. Darah menetes di bagian yang terluka itu. Ki Nala yang melihat adiknya terluka, segera masuk menerobos, membuyarkan lingkaran manusia itu. Dia menyentuh tubuh adiknya dan melompatinya. Sejeda kemudian, tubuh Ki Suta yang terluka itu anehnya mendadak telah bugar kembali. Darah berhenti menetes, bahkan tempat bagian yang terluka itu tak ada bekasnya lagi.Â
Di kesempatan berikutnya, justru Ki Nala kali ini tak mampu menghindari sabetan golok kembar dari kedua sisi tubuhnya. Golok itu mengenai sisi punggung dan pinggangnya. Ki Nala terhuyung sejenak lalu tumbang ke tanah. Akan tetapi belum sempat tubuh Ki Nala benar-benar menyentuh bumi, Ki Suta menarik tangannya dan melompati tubuh terluka itu. Mendadak dalam suatu kedipan mata, luka di tubuh Ki Nala telah pulih. Tak ada darah yang tampak mengucur keluar, bahkan luka sabetan golok kembar itu tak ada lagi bekasnya.Â
Para musuhnya yang semula berangasan ingin menghabisi kedua orang dari Mangir itu, tampak mengendurkan gerakan serangan mereka. Mereka tampak saling membelalak, tidak percaya bahwa kedua orang itu begitu digdaya, tak mudah dibinasakan.Â
"Edan! Ilmu apa gerangan yang dipakai oleh dua orang cecunguk Mataram ini?", teriak seorang di antara mereka.Â
"Kalo tidak salah, itu ajian Brajamusti-Brajadenta, kakang", sergah orang lainnya. Ajian Brajamusti-Brajadenta adalah suatu ajian kuno, dimana ajian itu hanya bisa dikuasai oleh sepasang orang kakak beradik. Keampuhan ajian ini adalah dua orang kakak beradik pemilik ajian itu tak bisa mati. Jika salah satu dari kedua orang itu terluka, maka segera pulih lukanya itu jika tersentuh oleh tubuh saudaranya yang lain.Â
"Kami bukan orang Mataram. Siapa jati diri kalian, sebutkan! Jangan sampai kalian tumbang lepas sukma dari raga kalian tanpa identitas yang jelas", pungkas Ki Nala.Â
"Sombong sekali orang ini. Majulah. Kurajang tubuh kalian berdua menjadi bentuk serpihan sak-walang-walang!", kata seorang bercadar hitam di antara mereka.Â