Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting - Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #14)

21 April 2023   09:02 Diperbarui: 22 April 2023   09:53 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wisik Gua Langse (#14)

Gua Langse, Pesisir Laut Selatan

Semburat langit senja mengikuti arah matahari yang bergerak lambat menjemput malam. Sinar kekuningan membias di ujung garis cakrawala menyentuh permukaan gelombang air Laut Selatan. Barisan ombak bergulung-gulung, sebagian airnya melandai, datang mengerisik bunyinya ketika menyentuh bibir pantai. Sesekali ombak yang besar menerjang tebing karang lautan sebelah Barat, di bawah suatu tempat Gua Langse namanya. Gua itu tepat menghadap arah Laut Selatan, berada di tebing perbukitan kapur Gunungkidul, sebelah Timur pantai Parangtritis. 

Bunyi deburan ombak Laut Selatan terdengar hingga ke dinding dan relung relung gua yang terdiri dari bebatuan kapur. Bebatuan runcing-runcing bentuknya menyelimuti langit-langit gua itu, basah oleh air yang menetes jatuh satu satu, menyentuh lantai gua yang putih pucat.

Dikisahkan bahwa Gua Langse itu sudah ada sejak beratus tahun lalu, berada di kawasan dusun Gabug, Desa Giricahyo, Purwosari, wilayah Gunungkidul. Nama Langse sendiri berarti kain putih penutup atau kain kafan. Nama ini diberikan karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, gua ini dulunya tertutup kain kafan. Selain itu, Langse dapat diartikan berdasarkan pengucapannya yang berarti petilasane atau petilasannya orang-orang besar. Konon menurut tutur para sepuh, Gua Langse adalah tempat para orang besar, termasuk para raja Jawa bertapa atau berjiarah memohon petunjuk suatu wangsit Wahyu Kedaton. Pada dasarnya, Wahyu Kedaton atau sering disebut Wahyu Keprabon adalah restu gaib dari para leluhur dan alam semesta. Restu kepercayaan itu semacam amanat yang diberikan kepada orang pinilih untuk memimpin suatu kerajaan atau negeri.

Gua Langse sulit dicapai karena sebagian besar jalan menuju gua berupa tebing terjal, licin dan jalannya sempit. Pejiarah Gua Langse harus menaiki dan menuruni sepuluh anak tangga yang ada, terbuat dari kayu dan akar-akar pepohonan yang menjulur di kaki-kaki bukit itu. Sebagian akar-akar itu telah rapuh dan menyentuh bibir pantai. Maka hanya orang-orang dalam kewaspadaan dan kehati-hatian yang tinggi mampu mencapai Gua Langse. Tak jarang dikabarkan bahwa barang siapa kurang hati-hati atau terlalu semberono datang ke gua itu, orang itu akan terpeleset dan jatuh mati sia sia di dasar jurang tepi Laut Selatan. 

Gua Langse oleh masyarakat dusun Gabug Gunungkidul juga dipercaya sebagai tempat yang wingit, angker. Sebab konon gua itu dijaga oleh bangsa Jin dipimpin Nyi Blorong siluman ular Laut Selatan. Maka tak sembarang orang akan mampu mencapai Gua Langse, kecuali orang yang sungguh memiliki niat dan tekad bulat dalam hatinya untuk meraih suatu Wisik di situ.

Di pelataran mulut Gua Langse, pepohonan besar dan tinggi menjulang ke langit, rindang daunnya mengeluarkan sulur-sulur seperti bentuk rambut gimbal, menjuntai hingga menyentuh lantai gua. Kerisik bunyi angin laut yang bertiup di sela dedaunan rindang pohon tua itu, disela kicau suara burung tekukur yang hinggap di salah satu cabang pohon yang besar. Sedangkan di bagian dalam gua itu keadaannya gelap. Sebab tak ada celah bagi cahaya matahari memasuki melalui langit-langit gua itu. Namun di bagian lantai menjorok di dalam gua, justru itulah tempat orang bersemadi mencari suatu wangsit Wahyu Kedaton di tempat itu. Konon raja-raja Jawa pernah bersamadi, bersila di lantai menjorok di dalam gua itu. Mereka tidak bertapa di mulut gua. Sebab pelataran di mulut gua biasa dipakai oleh orang-orang bertapa untuk meminta suatu harta kekayaan duniawi dari alam gaib, bukan meminta derajat pangkat seorang pemimpin. 

Baruklinting duduk bersila sendirian di bawah batu besar di dalam Gua Langse itu. Dia telah memantapkan tekadnya untuk maneges di Gua Langse seperti saran Ki Gringsing dari Menoreh. Dia telah berada di tempat itu dalam beberapa waktu lamanya. Tangannya bersedekap, mata terpejam dan wajahnya menghadap langsung Laut Selatan. Hanya bunyi debur ombak terdengar di dalam gua itu. 

Di atas cakrawala di antara langit senja yang berwarna jingga kekuningan, sekonyong-konyong tampak seberkas cahaya bintang terang tak berkedip-kedip. Bintang itu seperti bertengger memancarkan sinarnya tak bergerak, tinggi di atas Laut Selatan sebelah Barat. Bintang itu tampak terlihat dari kejauhan dari tempat Baruklinting duduk bersila. Konon bintang itu disebut Lintang Panjer Sore. 

Itulah bintang kejora yang memancarkan sinarnya di langit sebelah Barat di waktu senja menjelang malam tiba. Kemunculan Lintang Panjer Sore itu oleh para spiritualis Jawa dianggap pertanda akan datangnya suatu wisik gaib. Hanya orang yang waskita yang memahami pertanda alam semacam itu. Keadaan itu sungguh di luar nalar, namun banyak orang meyakini hal itu sebagai kenyataan. Dalam pada itu Baruklinting menyambut kemunculan Lintang Panjer Sore itu. Dia berharap Lintang Panjer Sore memberinya wisik gaib tentang hasratnya untuk menjadi penguasa tunggal di Mangir. 

Di Gua Langse pesisir Laut Selatan, sejeda kemudian Baruklinting dalam semadinya mendengar suatu wisik Lintang Panjer Sore. Bintang kejora yang bercahaya terang itu berkata:

"Wahai Baruklinting. Kau akan menjadi penguasa, setara raja-raja Jawa yang pilih tanding; raja-raja yang memiliki kekayaan yang melimpah; dan disegani oleh musuh-musuh karena begitu jaya. Akan tetapi kekuasaan itu tidak akan langgeng. Kelak jika ada pertanda alam dimana gerhana bulan dan matahari sering terjadi, gelombang lautan sering meninggi, dan bumi sering terjadi gempa dahsyat dan gunung-gunung meletus sehingga hujan abu dan batu terjadi dimana-mana. Itulah pertanda kejayaan itu mulai pudar. Tata hidup bernegara menjadi rusak, terpecah berkeping-keping, menjadi potongan-potongan kecil". 

Setelah mengatakan hal demikian, Lintang Panjer Sore itu pun hilang musnah, berpendar sebagai cahaya yang menyilaukan mata di alam batin Baruklinting yang sedang bertapa itu. 

Baruklinting terbangun dari semadinya. Angin pantai Laut Selatan menerpa wajahnya. Helai-helai rambutnya yang tergerai di antara ikat kepalanya berkibar-kibar tertiup oleh angin. Dia belum bergeser dari tempat duduknya bersila di dalam Gua Langse. Cahaya senja hanya jatuh sampai di mulut gua saja, sedikit menerobos sela-sela sulur pepohonan rindang yang menjuntai hingga menyentuh lantai. 

Sejenak Baruklinting terkesiap. Jika apa yang dikatakan wisik lintang itu benar, maka sesungguhnya dia memiliki restu peluang untuk menjadi penguasa tunggal di Mangir, mengganti kedudukan bapanya sendiri, Ki Ageng Wanabaya! 

Namun Baruklinting kemudian termangu, setelah mendengar Lintang Panjer Sore itu juga mengatakan suatu pesan, bahwa "Itulah pertanda kejayaan itu mulai pudar. Tata hidup bernegara menjadi rusak, terpecah bekeping-keping, menjadi potongan-potongan kecil". 

Baruklinting belum memahami makna Sanepo, pesan tersembunyi dari kata-kata bintang kejora itu. Maka dalam pada itu Baruklinting menetapkan diri untuk melanjutkan tapa bratanya. Dalam benaknya melintas sekilas tentang sosok tua yang pernah ditemuinya di Sepakung, Telomoyo kala itu. Dia adalah Ki Ismaya! 

Baruklinting teringat kepada pesan orang tua itu kepadanya kala itu. "Kelak jika sudah pada waktunya, jika kamu memerlukan kehadiranku ucapkanlah namaku sebanyak tiga kali dan gedruk bumi tiga kali. Aku akan datang", pungkasnya kemudian. Baruklinting menyimak ucapan orang tua itu.

Maka dalam suatu sikap Manekung, manembah kang linangkung, menundukkan diri dalam sikap doa yang khusuk, Baruklinting memanggil Ki Ismaya untuk datang. 

"Ki Ismaya, Ki Ismaya, Ki Ismaya bapaku. Datanglah", ucapnya lembut disertai telapak kaki kirinya menapak tiga kali ke tanah. 

Dalam pada itu tak begitu lama sesudah ucapannya itu, tiba-tiba angin bertiup kencang di sekitar Gua Langse. Dedaun kering beterbangan tertiup oleh angin, melayang dan jatuh di sekitar Baruklinting. Sebuah pusaran angin kecil bertiup membentuk sekumpulan kabut beberapa depa jaraknya dari tempat Baruklinting bersila. Dari balik kabut itu lalu tampak sesosok lelaki tua berdiri. Dia berpakaian serba putih dengan ikat kepala mirip sosok seorang resi atau pertapa di jaman dahulu kala. Itu adalah sosok gaib Ki Ismaya. 

"Sungkem, salam saya kagem panjenengan, bapaku. Ki Ismaya", ujar Baruklinting kepada sosok gaib itu. 

"Pangestuku untukmu, angger putraku Baruklinting. Setelah sekian lama tak bertemu, aku pun telah meninggalkan badan wadagku. Sebagai jasad ruh kini aku menemuimu, ngger. Ada perlu apa engkau memanggilku", kata Ki Ismaya. 

"Beribu maaf saya telah mengusik ketenteraman panjenengan Bapa yang telah hidup di alam gesang langgeng", kata Baruklinting. Dia menyadari bahwa sosok Ki Ismaya di depannya adalah ruh suci dari pertapa itu. Jasad wadagnya telah meninggal di lereng Telomoyo seperti yang telah dikatakan orang tua itu. Baruklinting menyembah. 

"Tak mengapa, ngger. Katakanlah apa yang bisa kubantu untukmu". 

Lalu Baruklinting mengutarakan maksudnya untuk memahami makna pesan Lintang Panjer Sore, sekaligus meminta petunjuk dan restu untuk kelak meraih kursi kekuasaan penuh di Mangir. 

"Ketahuilah, ngger. Apa yang dikatakan oleh bintang kejora itu adalah Sanepo, suatu pesan tersembunyi. Maknanya bahwa akan terwujud apa yang kau inginkan menjadi orang nomor satu di bumi perdikan Mangir, tetapi itu hanya sebentar", ujar sosok gaib Ki Ismaya itu. 

"Tetapi ada makna yang lebih luas lagi, menurutku soal kehadiranmu di Gua Langse ini". 

"Makna yang lebih luas?", tanya Baruklinting. Dahinya mengkerut.

"Ya. Ketahuilah Gua Langse adalah tempat kakekmu memperoleh wangsit, pertanda dari Yang Ilahi, untuk membuka kawasan perdikan baru di daerah Wanabaya, bernama Mangir tempatmu sekarang tinggal. Secara turun temurun, sejak dahulu kala, Gua Langse menjadi sumber berkah bagi para pejabat dan calon raja di Jawa untuk Maneges, memantabkan hati atas restu dari Yang Ilahi untuk menjalankan amanah sebagai pemimpin kawasan, keraton atau negara. Sehingga langkahmu hadir di tempat ini adalah tepat. Sebab setelah dari tempat ini, kamu kuharap semakin mantab dalam bertindak mewujudkan apa yang kamu cita-citakan. Kehadiranmu juga berarti melanjutkan suatu tradisi para leluhurmu untuk senantiasa eling atau ingat pada kehendak Ilahi, bahwa segala kekuasaan di dunia sifatnya hanya sementara. Tidak ada kekuasaan yang langgeng. Demikian menurutku, Baruklinting". Ki Ismaya menjelaskan. Baruklinting menyimak baik-baik ucapan orang tua itu. 

"Lalu apa yang seharusnya saya lakukan selanjutnya, Bapa?", tanya Baruklinting. 

"Tak ada jawaban yang pasti, kecuali dirimu mematut pada keyakinanmu sendiri, ngger", jawab Ki Ismaya. "Pilihlah satu pusaka pamungkas di Mangir yang kelak kau pakai sebagai payung gaib dan mendampingimu selama di Mangir. Aku merestui apa yang menjadi keyakinanmu itu". 

"Dan kini waktunya aku berpamit. Rahayu, rahayu, rahayu", ujar lelaki tua itu kemudian. 

Sosok gaib Ki Ismaya itu pun dalam kedipan mata lalu lenyap, diiringi hembusan angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering di sekitar pohon-pohon besar di Gua Langse. 

Baruklinting terkesiap. Sebab belum sempat dia mengucapkan terimakasih, sosok gaib Ki Ismaya telah pergi meninggalkan dirinya. Tetapi jauh di dalam lubuk hati Baruklinting kemudian berterimakasih atas kehadiran dan semua pitutur yang disampaikan oleh sosok gaib Ki Ismaya. 

Matahari mulai lingsir di garis cakrawala Laut Selatan ufuk sebelah Barat. Langit semburat kelabu. Senja seperti benar-benar telah siap menjemput malam. Burung-burung beterbangan pulang ke sarang di pepohonan besar. Gemuruh ombak masih tampak saling bekejar-kejaran di kejauhan. Sebagian air laut silih berganti melandai datang di bibir pantai. Mengerisik bunyi buih ombak bercampur pasir silih berganti ketika tepian air melandai itu benar-benar terserap pasir di tepi pantai. 

Baruklinting beranjak dari tempatnya bersila, meninggalkan tempat itu segera. Angin Laut Selatan berhembus datang dan pergi di Gua Langse. Suasana sunyi berjalan melandai, hanya suara debur ombak yang terdengar. Seperti tak pernah terjadi apa-apa di tempat itu. 

*** 

(BERSAMBUNG  ke Episode #15 )

(Sebelumnya, di Episode #13 ) 

( Di SINI: Daftar Pemakaian Istilah Bahasa Jawa di Cerbunng ) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun