Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kenangan Terindah, Memori Lokomotif Uap B25 di Ambarawa

15 April 2023   17:59 Diperbarui: 8 Mei 2023   05:40 1811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stasiun Kereta Api Willem I, Ambarawa, tahun 1975-an (Memori Kereta Api)

Ini kisah nyata di masa kecilku di Stasiun Willem I Ambarawa bersama lokomotif uap tipe B25.

Aku berlarian kecil, mengikuti gerakan melambat lokomotif uap tipe B25 yang baru saja memasuki stasiun Willem I Ambarawa. Kereta api itu lalu mengeluarkan bunyi peluitnya yang kencang, memantulkan suaranya ke sepanjang bentang atap kanopi baja yang melengkung mencapai 21,75 meter persegi dari stasiun peninggalan Kumpeni itu.

Gema suara peluit kereta uap itu melengking, terdengar jauh suaranya sampai Banyubiru, Ngrengas, Bawen atau dekat Bandungan dan tentu saja seluruh wilayah Ambarawa. Suaranya sangat khas bagiku. Duwittt..duwitt..duwiiitt.! ojo jajan..ojo jajan, ojo jajan! begitu aku menirukan suara lokomotif uap B25, pada waktu itu. Hehehe.

Asap putih mengepul dari sisi kiri kanan kereta tua dengan bobot mencapai 882ton itu, sambil mengeluarkan bunyi mendengus keras seperti ban kempis, atau seperti suara tekanan rem angin yang dilepas dari sebuah truk tronton. Lokomotif uap berisi 8.250 liter air dan uap air, berbahan bakar kayu jati yang mengangkut penumpang barang dengan empat gerbong itu kini benar-benar berhenti.

Lokomotif buatan Maschinenfabriek Esslingen Jerman tahun 1902 itu baru tiba, menempuh jarak 37kilometer rute stasiun Kedungjati -- Ambarawa. Jadwal kedatangan dan keberangkatan di rute stasiun itu dua kali sehari, pagi dan sore hari.

Aku melihat, para penumpang berhamburan keluar, begitu kereta itu tak lagi bergerak. Mereka kebanyakan para pedagang yang membawa barang dagangan dari Kedungjati, Bringin dan Tuntang Salatiga untuk dijual di pasar Lanang, Nggamblok atau ke Pasar Projo Ambarawa.

Barang dagangan mereka kebanyakan daun jati, arang kayu dan kayu jati yang telah dipotong kecil-kecil dan diikat tali. Beberapa kuli panggul segera menyerbu gerbong untuk menurunkan semua barang dagangan itu, dan mengosongkan isinya.

Stasiun Willem I yang dibangun oleh Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) itu kini benar-benar ramai oleh kedatangan para penumpang yang baru tiba bersama lokomotif uap tipe B25 itu. Tipe lokomotif B35 di Indonesia hanya ada 5 unit, pada waktu itu. Tiga di antaranya beroperasi di stasiun Ambarawa ini.

Menurut literasi, konon lokomotif uap tipe B25 yang baru tiba dari Kedungjati itu, di jaman Belanda, sering membawa serombongan pasukan KNIL Belanda untuk ditempatkan di tangsi militer Benteng Pendem Willem I yang jaraknya tak begitu jauh dari stasiun itu.

Komplek benteng terbesar di Jawa itu dibangun di dekat Rawapening Ambarawa pada 1835 dan selesai di tahun 1848. Adapun KNIL adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands(ch)-Indisch Leger, disingkat KNIL) atau angkatan perang kolonial Hindia Belanda.

Memang fungsi stasiun Willem I Ambarawa yang diresmikan Belanda pada 21 Mei 1873 itu adalah sebagai sarana transportasi militer di Jawa Tengah. Artinya, kekuatan pasukan dari tangsi militer Magelang atau Semarang bisa dengan mudah diangkut kereta ke tangsi militer Benteng Willem I Ambarawa.

Dan sesekali lokomotif uap tipe B25 dipakai Belanda untuk mengangkut pasukan dari tangsi militer mereka yang berpusat di Magelang. Artinya, pada waktu itu jalur rel kereta api telah terhubung antara Magelang-Secang-Pingit-Bedono-jambu-Ngampin-Ambarawa. Luar biasa bukan? Tetapi sayang, jalur kereta api dengan rel khusus bergerigi itu, terutama rel antara Jambu dan stasiun 

Bedono, sekarang tidak difungsikan lagi. Jalur rel Bedono ke Magelang sekarang tinggal kenangan. Hilang ditelan oleh kemajuan jaman.

Kadangkala, dalam alam imajinasiku waktu itu, para KNIL penumpang kereta api uap Tipe B25 itu kelihatan kusut karena lelah menempuh perjalanan jauh dari pusat tangsi militer Belanda di Semarang, lalu menuju ke stasiun Kedungjati, transit stasiun Tempuran, di Bringin, Gogodalem, lalu Tuntang, dan terakhir tiba di stasiun Ambarawa.

Aku bisa menceritakan ini dengan lugas, sebab setidaknya aku pernah mengikuti perjalanan kereta uap B25 ini dari Stasiun Willem I Ambarawa ke stasiun Kedungjati. Tidak bersama tentara KNIL tetapi berada dalam gerbong bersama para bakul dan pedagang daun jati, dan penumpang lainnya.

Perjalanan itu terasa jauh dan lama. Tetapi menyenangkan karena sepanjang jalur yang dilalui oleh kereta uap tipe B25 ini melalui daerah tepi Rawapening yang eksotis, juga hutan karet di Bringin yang menawan. Gunung Telomoyo dan Merbabu tampak di kejauhan. Setidaknya menurut pengamatanku waktu itu, sungguh elok pemandangan alamnya.

Hampir setiap hari aku yang masih anak SD datang, bermain di dalam areal stasiun, dan aku suka mengamati gerakan setiap kereta uap yang berlalu lalang di stasiun tua itu. Aku bisa mudah menjangkau stasiun, karena rumah tinggal orangtuaku tepat di jalan Temenggungan VI, Desa Panjang Kidul, posisinya di samping jalan dekat stasiun Willem I Ambarawa.

"Yanto, arep muleh ora leee! (Yanto, mau pulang tidak nak)", teriak lelaki yang ternyata itu masinis lokomotif uap B25. Aku kenal baik dengan masinis dan beberapa pegawai stasiun ini, di kala itu. Sebab pada umumnya kami bertetangga tinggal di satu desa Panjang, di satu dusun yang sama di dusun Temenggungan, dimana satu kompleks dan masih dalam kawasan stasiun.

"Aku ikut pulang, pakde!", jawabku. Lalu aku berlari riang ke tempat ruang masinis kereta uap B25. Dia Pak Sugiono telah menungguku di situ. Lelaki setengah baya dengan seragam biru dongker itu lalu memberi tempat duduk di sampingnya. Sebuah tuas ditarik ke bawah, peluit kereta uap itu pun berbunyi nyaring suaranya. Beberapa panel ditekan dan ditariknya. Tungku api masih menyala membara di dalam ruang masinis itu. Aku tahu bahwa suhu tungku untuk menggerakkan roda kereta itu adalah suhu tungku mencapai puncak pemanasan yaitu 235 derajat celcius. Panel jarum pendeteksi suhu ada di ruang itu, di depannya.

Lokomotif uap B25 bersama gerbongnya yang telah kosong, lalu bergerak perlahan pulang ke kandangnya di sebuah depo lokomotif, jaraknya 100an meter dari stasiun Willem I. Inilah momen yang selalu kunantikan di kala itu, yaitu pulang ke Depo naik lokomotif tua berusia seratus tahun lebih itu bersama masinis yang kukenal, pakde Sugiono.

Aku tak pernah merasa bosan naik di kursi besi samping masinis kereta api kuno ini walau cuma sebentar. Tidak terlalu sering, tetapi sesekali di hari lain, Pakde Sugiono yang masinis selalu menawariku untuk ikut pulang langsir ke Depo, tempat perhentian akhir kereta uap itu. Di atas lokomotif tua B25 bersama pakde yang sekedar melangsir kereta ke kandangnya, saat itu aku yang masih SD merasa berada di surga, bahagianya luar biasa! Bisa dibayangkan, kan?

Itulah sepenggal kisah masa kecilku penuh kesan bersama kereta uap tipe B25 di stasiun Willem I Ambarawa. Stasiun tempat bermainku di masa kecil itu, kini telah menjadi museum kereta api dengan koleksi lokomotif uap kuno terlengkap dan satu-satunya di Indonesia. 

Jika kita hendak berkunjung ke museum kereta api itu, tidak lagi gratis seperti di masaa kecilku. Setiap pengunjung ditarif karcis masuk 10 ribu per orang. Di tempat itu, lokomotif uap Tipe B25 yang kukisahkan ini, kini menjadi bagian dari koleksi museum itu. Seru kan? jangan lupa beri tanggapanmu atas kisahku ini di kolom komentar ya kak? 

*** 

#Kereta api transportasi sejuta kenangan, #Memori Kereta Api

Baca juga: Seru! Jelajah "Arung Jeram Sungai Ayung"Ubud Bali

Baca juga: Seru! healing "Menggiring Angin" di Pantai Cemoro Sewu, Yogya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun