"Bagaimana aku bisa berikan itu kepadamu, bertemu dengan bapaku saja belum, apalagi memberikan sesuatu tempat yang aku sendiri belum tahu di mana keberadaan tempat itu. Itu sesuatu yang mustahil kupenuhi permintaan itu", kata Baruklinting kemudian. Dia mengerlingkan matanya.Â
   "Aku sabar menunggu. Tetapi jika sesuatu tempat itu benar-benar kelak kau ikut menempati, aku ingin permintaanku ini sebagai janji yang kelak harus kau lunasi", jawab Pulanggeni.Â
   "Baiklah jika demikian maumu. Aku pegang itu sebagai janji yang harus kulunasi", kata Baruklinting. "Sekarang tunjukkan di mana arah menuju tempat pertapaan bapaku". Maka ruh Pulanggeni bergegas berdiri, sementara badan wadagnya masih duduk bersila. Dia masih berada dalam daya kekuatan ilmu Ngrogo Sukmo. Tangannya menunjuk arah ke tebing Gunung Merapi yang terlihat dari tempatnya berdiri. Dia mengatakan tempat itu secara terperinci. Baruklinting menyimak baik baik apa yang dikatakan oleh Pulanggeni.Â
   "Aku paham tentang tempat yang kau tunjukkan itu. Sekarang biarlah aku pergi ke tempat bapaku itu", kata Baruklinting.Â
   "Pergilah sebelum petang tiba di tebing Merapi sebelah sana itu", pungkas Pulanggeni.Â
    Maka sejeda kemudian, kedua orang itu menyudahi ajian Ngrogo Sukmo. Kedua sukma mereka masuk kembali ke raga masing-masing. Dalam beberapa gerakan, Baruklinting telah tampak kembali berada duduk di bonggol pelepah kelapa di sampingnya. Tangannya bersedekap dan wajahnya memandang ke depan arah Gunung Merapi. Lalu dia terbang bersama pelepah pohon kelapa itu, melesat tinggi meninggalkan Oro-Oro Ombo, tempat Pulanggeni berdiri dan tempat orang-orang Nogo Kemuning bersembunyi di balik gerumbul semak-semak kawasan tempat itu. Â
    Angin berhembus keras secara tiba-tiba, dan bunyi kemerosak pelepah kelapa itu terseret di tanah, sesaat sebelum lepas landas dari permukaan bumi. Debu tanah mengepul di Oro-Oro Ombo melepas kepergian Baruklinting ke angkasa.
   "Hmmm. Ajian Blarak Sineret Bayu. Sungguh mengedab-edabi, menakjubkan", desis Pulanggeni. Dia memandang Baruklinting yang sesaat kemudian tampak hilang tertutup awan yang berarak di lereng Gunung Merapi. Semua anak buahnya yang dikenal sebagai Pasukan Bayangan Hitam itu tampak muncul dari gerumbul semak-semak tempat mereka bersembunyi. Mereka mendekat ke arah pemimpinnya itu.
   "Kita telah melempar kail suatu umpan. Biarlah dia menemui bapanya. Kelak kita ambil hasilnya di Mangir", ujar Pulanggeni kepada anak buahnya. Mereka tidak mengerti apa yang telah dikatakan Pulanggeni, tetapi semua anak buah yang kini berkumpul mengelilinginya itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah telah paham.Â
   "Kita perlakukan anak muda itu biarlah seolah dia menang. Kita lepaskan dia, sebab kita justru menang tanpo ngasorake, menang tanpa merendahkan. Njupuk tanpo ndumuk, mengambil tanpa menyentuh. Ngerti ora kowe kabeh!", pungkas Pulanggeni ke anak buahnya semua.
   "Sendiko, mangertos!", ujar anak buahnya itu hampir serempak berbarengan.Â