Mohon tunggu...
Aqsa AhmadFatkha
Aqsa AhmadFatkha Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya disini cuma mengumpulkan tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Neraca Pembayaran sebagai Indikator Kemampuan Ekonomi Nasional dalam Mendukung Transaksi Internasional

10 Juli 2024   22:49 Diperbarui: 10 Juli 2024   23:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Tabel 2 menunjukkan hasil regresi yang dikoreksi dengan metode GLS. Variabel XER, XPDB, XINF, XINF dan XNFA merupakan variabel baru yang dibuat dari variabel sebelumnya setelah dilakukan konversi GLS. Setelah dilakukan perbaikan dengan menghilangkan variabel LJUB dan metode GLS, diharapkan tidak akan muncul masalah autokorelasi, multikolinearitas dan standar klasik lainnya. Koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sekarang lebih rendah dari koefisien determinasi (R2) yang telah ditentukan sebelumnya. Sebelum R adalah 0,955, setelah koreksi R adalah 0,873. R 0,873 berarti variabel neraca pembayaran Indonesia dapat dijelaskan oleh perubahan nilai tukar, PDB, suku bunga dan inflasi sebesar 87,3 persen. Sisanya sebesar 12,7% dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Untuk mendapatkan estimasi jangka pendek digunakan Error Correction Model (ECM). Karena analisis ini menggunakan data time.

            series, maka terlebih dahulu harus dilakukan uji stasioneritas data untuk memastikan bahwa data time series stasioner. Model kointegrasi menunjukkan bahwa model berada dalam ekuilibrium dalam jangka panjang.

            Uji kointegrasi terlihat bahwa ada hubungan jangka panjang antara variabel, tetapi mungkin ada ketidakseimbangan dalam jangka pendek. Oleh karena itu, ECT (Error Correction Term) digunakan untuk menghilangkan ketidakseimbangan ini. Regresi menggunakan ECM antara variabel dependen dan variabel independen ditunjukkan pada tabel berikut:

Sumber: E-Views 6.0

Dari tabel 3 terlihat model ECM yang dibentuk. Model ini diasumsikan tidak mengalami sprurious regresion karena semua variabel stasioner pada tingkat first difference. Selanjutnya melihat apakah ECT yang dihasilkan valid atau tidak. ECT dari model ECM dikatakan valid apabila nilai koefisien bernilai negatif dan signifikan (Widarjono,2013). Dari tabel 7 terlihat bahwa nilai ECT adalah -0,328 dan memiliki probabilitas 0,010 yang berarti ECT adalah valid karena bernilai negatif dan signifikan dalam tingkat signifikansi 5%. Koefisien ECT sebesar -0,328 berarti bahwa speed of adjustment atau kecepatan dari penyesuaian dari ketidakseimbangan jangka pendek dalam model ECM adalah sebesar 32,8 %. Dapat diartikan juga bahwa dalam satu periode (kuartalan), ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan dapat dikoreksi sebesar 32,8.

  • Analisis Model Jangka Panjang

Pada tabel 2. Uji F dilakukan untuk melihat pengaruh secara keseluruhan semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Hasil uji F menunjukkan nilai F sebesar 79,87 lebih besar dari nilai F tabel sebesar 2,82 pada tingkat signifikansi 5% serta derajat bebas 4 untuk numerator dan 46 untuk denominator. Hal ini berarti bahwa variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat inflasi secara bersama- sama berpengaruh signifikan terhadap variabel neraca pembayaran Indonesia. Hasil uji t menunjukkan bahwa dari empat variabel bebas hanya dua variabel, yaitu nilai tukar dan PDB yang secara individual signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran. Sedangkan variabel suku bunga dan tingkat inflasi secara individu tidak signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran.

  • Analisis Model Jangka Pendek

Hasil uji t menunjukkan dari empat variabel bebas hanya dua variabel, yaitu nilai tukar dan PDB yang secara individual signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran. Sedangkan variabel suku bunga dan tingkat inflasi secara individu tidak signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran.Nilai t-hitung dari variabel nilai tukar sebesar 2,235 lebih besar dari t-tabel (1,684) pada tingkat signifikansi =5% dan df=47. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang variabel nilai tukar secara individual berpengaruh signifikan dan positif terhadap variabel neraca pembayaran. Sedangkan koefisien dari nilai tukar sebesar 0,442 menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan 1% dari nilai tukar sedang variabel yang lain tetap, maka rata-rata nilai devisa akan meningkat sebesar 0,442%. Nilai t-hitung dari PDB sebesar 12,16 lebih besar dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi =5% yang berarti bahwa variabel PDB berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka panjang. Sedangkan koefisien dari PDB sebesar 2,164 menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan 1% dari PDB akan meningkatkan nilai neraca pembayaran sebesar 2,164% dengan asumsi bahwa variabel lain tetap.

PEMBAHASAN

Dalam hasil yang disajikan di atas, dapat diamati bahwa nilai tukar memiliki dampak positif yang signifikan terhadap neraca pembayaran, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa jika nilai tukar meningkat (mengalami devaluasi), akan meningkatkan neraca pembayaran. Temuan ini konsisten dengan teori Keynesian yang mengemukakan bahwa devaluasi dapat memperbaiki neraca pembayaran. Jika neraca pembayaran dapat diperbaiki melalui devaluasi, ini menunjukkan bahwa kondisi Marshal-Lerner masih berlaku di Indonesia. Dalam kondisi Marshal-Lerner, devaluasi dapat memperbaiki neraca pembayaran jika elastisitas permintaan impor domestik dan asing lebih dari satu. Namun, sebaliknya akan terjadi (neraca pembayaran memburuk) jika gabungan elastisitas permintaan impor domestik dan asing kurang dari satu. Ini berarti bahwa di Indonesia, ekspor dan impor sangat responsif terhadap perubahan harga, sehingga setiap perubahan harga akibat devaluasi akan meningkatkan permintaan ekspor dan mengurangi impor. Temuan ini juga sejalan dengan pendekatan absorpsi, yang menyatakan bahwa penurunan konsumsi impor akan mengurangi penggunaan devisa, sementara ekspor akan meningkatkan devisa dan memperbaiki neraca pembayaran.

Menurut pendekatan monetaris, peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) akan menyebabkan permintaan uang meningkat. Jika permintaan uang dalam jangka pendek masih tercukupi oleh jumlah uang yang tersedia di negara tersebut, maka ini tidak akan berdampak pada neraca pembayaran. Namun, jika permintaan uang berlanjut dalam jangka panjang, akan terjadi kekurangan pasokan uang yang akan mendorong impor modal ke Indonesia. Impor modal ini akan meningkatkan saldo cadangan devisa yang pada gilirannya akan memperbaiki neraca pembayaran. Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong peningkatan PDB perlu dilakukan. Meskipun dalam jangka pendek tidak berdampak pada neraca pembayaran, namun dalam jangka panjang dapat membantu memperbaiki neraca pembayaran.

Menurut Vera (2005), Thomas Mun menyatakan bahwa Neraca Perdagangan dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijakan perdagangan internasional seperti tarif, kuota, subsidi, dan pajak. Instrumen kebijakan-kebijakan ini akan mempengaruhi biaya dan akhirnya berdampak pada harga barang impor dan ekspor. Jika tarif impor dinaikkan, harga impor akan relatif lebih mahal daripada harga ekspor. Ini akan mendorong konsumen domestik untuk lebih memilih barang domestik atau tidak membeli barang impor. Di sisi lain, orang luar negeri cenderung membeli barang dari negara tersebut. Akibatnya, impor menurun dan ekspor meningkat, yang pada akhirnya dapat menghasilkan surplus dalam neraca perdagangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun