Mengapa mereka mau melakukan itu? itulah bentuk solidaritas anak Aceh terhadap keadilan HAM yang belum di dapatkan, padahal mengenenai HAM itu, jelas tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka/GAM. Khususnya, tercantum dalam poin (2.2.) “Sebuah Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh”; (2.3.) “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh KKR Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi”.
Bukan hanya saya dan rakyat Aceh yang lain yang menutut Haknya, tetapi beban kami ini juga dirasakan oleh Amnesty International. Amnesty International dalam rilis terbarunya untuk memperingati 8 tahun MoU Helsinki 15 Agustus 2005, telah menyerukan bahwa, “Tiada Perdamaian Tanpa Keadilan (No Peace without Justice).”
Dikatakan oleh Isabelle Arradon, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International “Delapan tahun setelah konflik Aceh berakhir, warisan kekerasan masih menjadi bagian dari realitas harian ribuan orang di wilayah tersebut. Sementara para korban dan keluarga mereka menyambut baik situasi keamanan yang lebih baik, mereka tidak bisa memahami mengapa tuntutan mereka akan kebenaran, keadilan, dan reparasi masih diabaikan.”
Bagi saya pribadi, seruan/perkataan dari Amnesty International tersebut adalah tamparan keras bagi pemerintah pusat juga pemerintah Aceh sendiri. Bagaimana tidak? 8 tahun MoU Helsinki ini terlaksana, namun belum juga mampu menyelesaikan permasalahan yang sangat pelik tersebut. Mengapa kasus ini seakan-akan tak memperoleh kejelasan dan penyelesaian dari kedua belah pihak? Walau hanya terjadi di dalam negeri tapi kasus ini masih terus diperbincangkan oleh Amnesty Interntional yang berpusat di London. Sesungguhnya, Ini memalukan bagi kedaulatan NKRI di mata dunia internasional.
Banyaknya korban semasa konflik dahulu juga tak kalah pentingnya dari kesejahteraan tadi. Hendaknya persoalan ini diusut sampai ke akar-akarnya oleh pemerintah pusat dan pemerintah Aceh yang seharusnya tak hanya diam dan dapat bergerak cepat untuk mengusut dan menyelesaikan hal memprihatikan tersebut.
Hingga saat ini, memang pembicaraan mengenai Lambang dan Bendera Aceh masih terus diusahakan agar mendapati satu kata sepakat. Adalah benar jika dikatakan, Bendera dan Lambang itu akan menunjukkan kekhasan Serambi Mekkah, tetapi ini bukan yang sebenarnya diinginkan oleh seluruh masyarakat Aceh. Alangkah lebih baik jika hak masyarakat Aceh dipenuhi terlebih dahulu, baik soal kesejahteraan maupun keadilan HAM. Hal-hal demikian yang seharusnya menjadi fokus/prioritas utama yang patut diperbincangkan oleh pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Sewindu MoU telah sama-sama kita lewati dalam damai, tapi ternyata masih banyak rakyat Aceh yang menjerit di sana. Atas tuntutan masyarakat Aceh itu sendiri serta tamparan Amnesty International itu, masihkah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh menutup mata akan Kesejahteraan dan Keadilan HAM di Aceh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H