Direktorat Jenderal Pajak dalam meningkatkan target penerimaan pajak membuat strategi yang salah satunya dengan cara menaikkan tingkat kepatuhan wajib pajak, termasuk mengenai Transfer Pricing. Cara yang digunakan Ditjen Pajak untuk menengahi sengketa transfer pricing antara Wajib Pajak dengan advance pricing agreement (APA) atau penentuan harga transfer di muka.
Transfer pricing merupakan harga jual khusus dan harga beli khusus yang dipakai dalam bentuk transaksi bisnis antar perusahaan afiliasi. Oleh karenanya, transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu cara untuk me rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi pembayaran pajak. Dengan adanya APA Ditjen Pajak melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak untuk menyepakati atau menentukan harga wajar (harga lazim) di muka atas transaksi kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa (perusahaan afiliasi).
Apabila Ditjen Pajak dan Wajib Pajak menyepakati harga atas transaksi hubungan istimewa, maka akan dicantumkan dalam APA, Ditjen Pajak tidak akan melakukan pemeriksaan kewajiban perpajakan terhadap Wajib Pajak. Sayangnya respon Wajib Pajak terhadap APA sangat kecil sekali. Hanya satu Wajib Pajak yang mengikuti APA (Tabloid Kontan). Sebagian besar alas an Wajib Pajak tidak mengikuti APA adalah karena harus melaporkan harga transaksi bisnisnya dengan lengkap, hal ini sangat merepotkan Wajib Pajak karena harus menghitung seluruh komponen biaya.
Transfer pricing dilakukan sangat halus sebagai modus Wajib Pajak (berdasarkan literatur) dan hamper tidak dapat ditelusuri, misalnya transfer pricing claim scheme, cara ini dilakukan dengan cara membuat klausul khusus tentang claim quality yang isinya adalah memperbolehkan pihak pembeli mengklaim penjualan dengan cara memotong pembayaran jika terjadi kualitas barang yang dijual tidak memenuhi standar kualitas yang diinginkan dan transaksi ini dilakukan dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (Perusahaan Afiliasi) yang berada diluar negeri yang tarif pajak nya lebih rendah dari Indonesia.
Cara lain transfer pricing adalah dengan cara bonus scheme, misalnya Perusahaan A yang berdomisili di Indonesia menjual barang kepada perusahaan Z (Perusahaan Afiliasi) yang berada diluar negeri dan tentunya memiliki tarif pajak yang lebih rendah disbanding Indonesia atau di negara tax heaven (bebas pajak).Â
Lalu perusahaan A memberikan bonus berupa barang secara gratis dalam jumlah cukup besar kepada perusahaan Z, dalam hal ini bonus tersebut bisa menjadi pengurang laba bagi perusahaan A yang berdomisili di Indonesia yang secara otomatis akan mengurangi pembayaran pajak. Ini adalah dua contoh dari sekian banyak cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak (berdasarkan kajian literatur) dan cara ini begitu sulit di deteksi oleh fiskus (pemeriksa pajak).
Pemerintah melalui Ditjen Pajak telah membuat Peraturan Perpajakan sehubungan dengan penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010. Dalam PER-43/PJ./2010 diatur bagaimana menentukan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle).Â
Juga beberapa cara atau metode membandingkan antara harga wajar dan harga tidak wajar (transfer pricing) seperti metode perbandingan antara pihak yang independent (comparable uncontrolled price), metode harga penjualan kembali (resale price), metode pembagian laba bersih transaksional (transactional net margin). Namun beberapa metode ini sangat sulit untuk dipakai dalam mendeteksi transfer pricing.
Perlu penanganan yang lebih baik dan serius untuk dapat mengatasi persoalan transfer pricing dengan cara-cara yang lebih efisien dan cerdas, seperti contohnya menciptakan harmonisasi perpajakan internasional, pajak antar negara akan mengalami kesulitan karena tiap negara akan lebih mementingkan negaranya. Juga melakukan kerjasama internasional dalam hal audit perusahaan yang saling berhubungan.
Mengutip dari Stiglitz (1985) sesungguhnya ada tiga prinsip utama penghindaran pajak yaitu, Pertama, menunda pembayaran pajak. Kedua memilih tarif pajak yang lebih rendah dan ketiga merekayasa penghasilan menjadi berbagai jenis penghasilan yang memiliki tarif berbeda-beda. Dikutip dari prinsip ini pastinya pemerintah dapat secara intensif melakukan manuver untuk melakukan pencegahan penghindaran pajak.