Yatim berasal dari kata al-fardhu yang artinya adalah sendirian dan segala sesuatu yang ditinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya. Yatim menurut syariah ialah tidak jauh berbeda dengan makna secara bahasa, yaitu orang yang ditinggal wafat oleh ayahnya dengan kondisi belum baligh. Pengasuhan anak yatim merupakan tanggung jawab yang sangat mulia yang diamanahkan dalam Surat An-Nisa ayat 6. Ayat ini mengajarkan pentingnya perlakuan adil dan penuh kasih sayang terhadap anak-anak yang kehilangan orang tua mereka. Dalam Islam, mengasuh anak yatim bukanlah sekedar amal kebaikan, tetapi juga suatu kewajiban yang harus dipenuhi dengan amanah.
    Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk menjaga harta anak yatim dengan penuh kehati-hatian dan kejujuran. Ini berarti tidak hanya memberikan mereka kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan pendidikan, tetapi juga memberikan perlindungan dan cinta kasih yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang baik.
Lafadz Surah An-Nisa ayat 6
Artinya: "Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas."
    Berikut adalah makna atau pesan utama dari surat An-Nisa ayat 6:
1. Â Anak yatim perlu diuji hingga mencapai usia yang cukup dewasa untuk menikah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa mereka memiliki kemampuan dan kecerdasan dalam mengelola harta mereka sendiri. Langkah ini penting agar harta yang dimiliki anak yatim tidak disalahgunakan dan dapat dikelola dengan bijak ketika sudah dewasa.
2. Â Apabila anak yatim terbukti mampu mengelola harta, maka harta tersebut harus diserahkan kepada mereka. Hal ini menandakan kepercayaan dan penghormatan terhadap hak milik anak yatim serta mengakui bahwa mereka telah siap untung bertanggung jawab atas harta mereka sendiri.
3. Â Pengasuh dilarang menggunakan harta anak yatim melebihi batas yang wajar. Mereka juga tidak boleh terbur-buru menghabiskan harta tersebut sebelum anak yatim mencapai usia dewasa. Hal ini bermaksud sebagai pengingat agar pengasuh menjaga kejujuran dalam mengelola harta anak yatim, serta memastikan harta tersebut tetap terjaga hingga anak yatim siap mengelolanya sendiri.
4. Â Apabila pengasuh mampu secara finansial, mereka harus menahan diri dari mengambil harta anak yatim. Namun, jika pengasuh tidak mampu secara finansial, maka mereka diperbolehkan mengambil secukupnya dari harta anak yatim untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan cara yang baik dan wajar. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan keadilan dalam Islam, yang memahami kondisi ekonomi yang beragam.