"Bagaimana tidak, engkau berbekal cinta untuk menghadapku? mengambilku, meminta dan menyerahkan segalanya untukmu. Bukankah semuanya butuh restu?" jawabku, setelah menahan lama untuk mendengarkan keluhannya. Kini aku beranikan diri  mengutarakan. Menjelaskan. Mendudukkkan persoalan. Mencari jalan keluar. Menegakkan akal sehat.
"Kamu yakin semuanya bisa selesai dengan cinta?" Aku menegaskannya sekali lagi. Lalu sengaja aku lanjutkan. Entah dia mendengarkan atau tidak, itu tidak penting. Memang saat ini mata sedang menangis, bukankah telinga masih tetap dapat mendengarkannya, bantahku dalam hati.
"Sudah berulang kali aku katakan bahwa semuanya butuh restu. Kita tidak bisa hidup berdua tanpa restu. Meski cinta. Meski sayang. Semuanya tidak berarti. Menikah bukan untuk sehari dua hari, menikah untuk tahunan, seumur hidup dan sebagai teman hidup lagi. Menikah menghubungkan dua keluarga.Â
Meningkah tidak hanya untuk dua insan. Menikah untuk kita, keluarga, dan masyarakat. Aku menginginkan keluarga yang kuat, sehat, lahir batin. Punya koneksi yang baik dengan masyarakat sekitar, keluarga, atau tentangga.Â
Menikah untuk menjadi bagian dari masyarakat. Dunia bukan hanya untuk kita berdua saja, dunia itu bersinggungan kepentingan. Saling membutuhkan. Tak bisa sendiri, mandiri dan berdiri di kaki sendiri. Kita mahkluk sosial, masih butuh bantuan orang lain.
Bukankah kita lahir, karena ada orang lain, yaitu orang tua kita. Bukankah kehadiran kita, pun karena ada restu, restu dari kakek, nenek. Lihatlah keluarga yang tumbuh tanpa  restu, apakah mereka bisa menjamin hidupnya sendiri? apakah memang bisa sehat terus menerus, tidak pernah sakit? di saat sakitlah kita butuh orang lain untuk merawat, menjaga, melakukan banyak hal yang kita tidak bisa lakukan saat sakit.Â
Apakah keluarga yang tanpa restu bisa menjamin hidupnya kaya terus menerus? punya uang terus? apakah kita dalam hidup ini pasti tidak hutang. Disaat kita hutanglah kita butuh orang lain.
Kau tahu sendiri, apa yang dikatakan oleh orang-orang yang kaya. Hidup tanpa hutang adalah mati. Statis, tidak bisa bergerak, tak punya energi positif, tidak memiliki daya gerak, yang menjadikan orang terus bekerja. Tanpa henti. Lihatlah, kata mereka. Orang yang tidak punya akan selalu hidup malas-malasan.Â
Karena mereka tidak punya tuntutan untuk cicilan. Itu namanya tidak berkembang. Asal menerima kehendak takdir saja. Kere. orang miskin selalu punya alasan untuk membenarkan tindakannya. Tindakan tetap miskin. Terus terang saya tidak ingin, seperti itu. Kita butuh orang lain. Kita butuh orang lain untuk saling berbagi.
Mari kita akhiri. Hal-hal yang tidak masuk. Bukankah cinta itu butuh akal sehat?
Aku tidak percaya kalau cinta itu buta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H