Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cicak

24 Juni 2018   13:41 Diperbarui: 24 Juni 2018   13:52 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya hal yang sepele. Tapi kenapa hal itu sangat menganggu. Seharian saya memikirkan dari mana datangnya bau kecut itu. Yang tiba-tiba saja ada dipipiku. Setelah bangun tidur, saya merasa ada yang basah dari pipiku. Saya usap, kemudian saya dekatkan ke hidung. Aduh buyung. Baunya amit-amit.

Pandangan saya langsung tertuju kepada seekor cicak yang ada di dinding. Saya lihat ekornya goyang-goyang. Ia berada di balik jam dinding, dengan kepala sedikit menyembul ke atas. Sialan, ternyata cicak yang sama seperti kemarin. Ketika aku baca buku di dalam kamar, tahinya jatuh menempel di halaman buku yang baru saya beli. 

Merasa bersikap kurang aja denganku. Saya labrak berkali-kali, saya lempar pakai pegangan sapu lantai, saya ayunkan berkali-kali. Tetap saja posisi cicak itu lebih tinggi dari apa yang saya gapai. Alhasil, cicak itu selamat. Ia tenang-tenang saja. Bahkan seperti mengejek apa yang saya lakukan. Sementara di atas tempat tidur berantakan semua, debu dan bekas sarang laba-laba berjatuhan. Kondisi kamar terlihat kotor. Istri saya marah. Aktifitas itu segera saya hentikan.

Cicak yang aneh, warnanya tidak sepeti cicak pada umumnya. Kulitnya putih kemudian ada bentol-bentol hitamnya. Ekornya panjang dan kepalanya besar. Pernah juga saya lihat, ia mampu menangkap nyamuk dua sekaligus. Jalannya cepat sekali. Dan kalau lagi senang ia bernyanyi, cek, cek, cek...!

Saya tanyakan kepada anakku, Beni. Apakah ia pernah melihat cicak aneh itu. Menurut Beni, ia sering melihatnya, biasanya muncul mulai jam 8 malam sampai jam 6 pagi. Beni bilang, kalau dia tidak bisa tidur, obatnya lihat mata cicak itu, baru kemudian bisa tidur. Ia anggap sebagai teman pengiring tidur.

Ibuku mendengar percakapan kami. Lalu ia mulai nimbrung. 

"Oo.. itu cicak sudah ada sejak kita kontrak rumah ini. Yang ada sekarang ini mungkin anaknya, karena dulu induknya itu juga punya bentol hitam, tapi bukan di perutnya, di kaki dan ekornya. Saya rasa cicak itu sudah beranak pinak seperti kita." kata ibuku sambil lalu. Kemudian melanjutkan aktifitasnya di dapur.

Bagi Ibu mungkin cicak itu bersejarah, bagi anakku mungkin juga cicak adalah obat, obat cepat tidur. Tapi dengan berbagai alasan apapun, aku tetap tidak bisa terima dengan apa yang dilakukannya kepadaku. Sudah dua kali ini aku dikerjai, saya tidak bisa membiarkannya bersikap kurang ajar dan melakukan yang ketiga kalinya kepadaku. Masak, bangun tidur diberi kejutan yang baunya seperti air liur. Hal itu benar-benar menghinaku sebagai tuan rumah. Mestinya ia harus berterima kasih yang sudah memberikan tumpangan menginap,  dan membiarkannya tetap hidup mencari makan di rumah ini. 

Aku bertekad tetap memburunya. Meski ia punya kenangan tersendiri bagi anggota keluarga ini. Bagiku, apalah artinya seekor cicak, mati satu, toh juga masih banyak kawannya lain yang masih hidup. Keberadaannya juga tidak membuat rumah ini menjadi bebas dari nyamuk. Ada seribu ekor cicak pun, tubuh ini tetap menjadi santapan nyamuk. Saya masih harus beli semprot baigon dan raket listrik untuk menghadapi serbuan nyamuk.

Malam itu. Seperti seorang pemburu. Aku siapkan berbagai macam senjata. Sapu, masker, kursi plastik untuk tumpuan, dan yang terakhir adalah bungkus plastik untuk membuang mayatnya. Tepat pukul delapan malam. Persis seperti apa yang dikatakan oleh anakku, cicak itu muncul entah dari mana datangnya. Ia melesat berlari di balik jam dinding. Melihatnya, darahku tersirap, hatiku sudah tidak sabar untuk menghajarnya.

Dengan tumpuan kursi plastik , perlahan-lahan jam dinding itu saya lepas, di situ nongol cicak dengan posisi memandangku. Seakan mau mengatakan sesuatu untuk berunding. Saya tidak menghiraukannya. Dengan gerakan cepat, saya langsung mengayunkan sapu lantai itu tepat di posisinya. Karena saking semangatnya, saya tidak tahu kalau kaki salah satu kursi plastik yang saya injak belum pas posisinya, disebabkan menginjak sandal jinjit istri. Kursi itu kehilangan keseimbangan. Akhirnya. "Brakk...!" Tiba-tiba saya langsung jatuh ke lantai. Pukulanku meleset dan cicak itu berhasil kabur ke pojok atap dinding rumah.

Pinggangku nyeri, kaki kiriku luka kena pojok kayu mesin jahit yang berada di sampingku. Aku tak kuasa berdiri. Mendengar suara kursi jatuh, istri saya cepat-cepat datang membantuku berdiri. "Ada apa toh pak? Kok sampai begini. Ada acara apalagi?" Lalu ia membantuku bangun.

Tidak sempat menjawab dan memperhatikan apa yang dibicarakan oleh istriku. Emosiku munjuk, hatiku cekot-cekot, aku sudah tidak sabar. Dendamku semakin membara. Tanpa menghiraukan sakit di kakiku. Aku langsung memindahkan kursi itu tepat dipojok, dan langsung naik lagi. Kuambil sapu dan.. "Bek bek bek.." suara sapu meninju tembok berkali-kali. Akhirnya cicak itu jatuh dan  gepeng. Aku sangat puas.

Istriku semakin penasaran, ia mendekat dan melihat binatang itu jatuh. Langsung saya instruksikan untuk ambil bungkus plastik untuk membuang binatang kurang ajar ke tempat sampah belakang rumah. Selesai dari belakang , istriku muncul dan berkomentar. "Lha wong seekor cicak saja kok diajar habis-habisan, dibela-belain sampai mengorbankan pinggang dan kaki, seperti musuh besar saja," kata istriku. "Memangnya kenapa to Pak?"

Dengan hati lega, selesai menuntaskan balas dendam. Aku kembali ke tempat tidur. Untuk meluruskan kaki dan memijit pinggang yang sakit. "Tadi pagi, cicak itu telah menjahili aku untuk kedua kalinya, ia memberikan sesuatu kejutan di pipi, disaat bangun tidur, baunya kecut seperti air liur."

Istriku terkejut mendengar alasan saya.

"O. Jadi karena itu. Aku yakin itu bukan cicak yang melakukannya Pak, tapi itu aku. Aku tadi malam bermimpi buruk di kejar-kejar anjing, ketika berhasil bangun. Untuk menghilangkan mimpi itu berulang, bantal itu saya balik, dan saya langsung meludah tiga kali ke sebelah kiri. Saya tidak tahu kalau ludah itu mendarat di pipi Bapak," istriku tersenyum malu.

Aku mau marah, tapi cepat-cepat aku redam, saya tidak ingin bertengkar dengan istri, nanti pada akhirnya semakin menambah banyak masalah. Kali ini, aku sedikit menyesal atas kematian binatang yang tak bersalah itu, tapi penyesalanku bertambah ketika tahu anakku sekarang terus merengek sulit tidur. Dia kembali lagi dari awal, tidak mau tidur kalau tidak naik motor. Sekarang aku dapat tambahan tugas mengajak jalan-jalan pakai motor sebagai pengiring sebelum tidur, biasanya sampai satu jam lebih. Kini aku benar-benar menyesal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun