Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Odong-odong

22 Juni 2018   05:21 Diperbarui: 22 Juni 2018   05:49 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berapa kali aku yakinkah istri. Untuk kali ini saja, saya pinjam tabungannya. Berulang kali aku jelaskan, akadnya adalah pinjam bukan minta. Tapi hasilnya tetap nihil. Meski dengan sikap sungguh-sungguh. Ia masih tidak bergeming memberikan izin. Kalau tidak benar-benar kepepet dan mendesak sebenarnya saya tidak akan melakukannya. Ini ada peluang dan kesempatan yang kita tidak tahu kapan akan berulang kembali. Mumpung masih sepi. Belum ada yang punya usaha seperti rencana saya. Menurutku ini moment yang tepat untuk bertindak. 

Sebenarnya sebagai lelaki aku juga masih punya martabat, tidak langsung merendahkan diriku di depan wanita, eh istriku, untuk meminta uang. Memang seharusnya lelaki tidak demikian. Aku tahu betul, bagaimana menjadi lelaki yang sejati, tidak bergantung dengan perempuan. Mandiri. Selama ini saya tidak pernah meminta uang kepada istri,  kecuali sedang kepepet. 

Seperti saat ini. Biasanya akan tetap aku usahakan semampuku, seperti halnya  untuk makan dan hidup sehari-hari saja, tak  masalah. Tetapi ini lain, harga setinggi itu, tak bisa kuperoleh dalam sekejap. Meski transaksi ini aku anggap sebagai bisnis. Nanti hasilnya kita bagi fifti-fifti. Atau berapa porsenlah untuk pemilik modal dan aku sebagai pelaksana. Tentu saja kalau benar-benar rugi, aku bersedia menanggung semuanya. Enak kan? Sekali lagi ini pinjam bukan minta. Masak sih masih berat memberikannya?

Aku tahu harta warisanmu yang ditabungan itu, memang bukan untuk yang lain. Itu untuk kuliah Si Ade. Anak semata wayang kami. Tapi menurutku itu kan masih lama, tiga tahun lagi. Menurut perhitungan bisnisku, aku bisa mengembalikan,  sementara odong-odong itu pasti sudah balik modal. Daripada di taruh di bank tidak ada gunanya, hanya memberikan keuntungan bagi bankir. Jika kamu ngerti apa itu inflasi, mungkin kamu akan rugi. Karena nilai uang itu terus tergerus tiap tahun meskipun sedikit. Mau? Ngerti!?

Saya sudah hitung peluang pasar. Di desa ini sekolah berjibun, anak kecil banyak. Saya bisa langsung kerjasama sama dengan pemilik rumah yang dekat sekolah itu. Hitung-hiung, menurutku itu adalah bisnis yang menggiurkan. Lihatlah mereka yang sukses dengan odong-odong, tinggal duduk nggayer, mereka langsung dapat uang, apalagi kalau ketiban rizki, pas momennya tepat, ada bazar, ada kegiatan akhir tahun sekolah atau kegiatan semacam arak-arakan. Hemm. bisa panen banyak. Melebihi orang yang punya sawah, bisa panen berkali-kali dalam setahun.

Asal kau tahu saja, anak kalau sudah demen dengan odong-odong. Ampun, setengah mati pun ia akan tetap minta naik ketera mainan itu, tidak peduli ibunya bilang : "sudah..  sudah.." ia tetap minta naik terus. Tidak  mau turun, ia mau berapa kali putaran, sampai hatinya merasa puas. Kamu tahu anak kecil kapan ia puas? ha... ha.. sebenarnya ia tak pernah puas. Itu... di saat itulah kamu bisa dapat pemasukan banyak. Sang ibu rela merogoh kocek yang besar hanya untuk menyenangkan sang anak. Betul nggak? Aku tertawa

Sudah aku tunjukkan brosurnya, gambarnya odong-odong yang rencana aku beli. Lihatlah bentuknya, moncong dan ekornya menggemaskan sekali untuk ukuran anak-anak. Pasti! saya yakin anak-anak banyak yang suka. Warnanya warna-warni, ada goresan merah di tengah-tengahnya itu menandakan keberanian dan kepercayaan diri bagi siapa saya yang menumpangnya. Gambar tokoh film kartu itu pasti akan menggoda mereka. Rodanya, mesinnya semuanya produk terbaru. Belum ada odong-odong di desa ini seperti itu. Ia benar-benar sangat memikat hatiku. Seakan-akan aku dengan odong-odong yang digambar itu sudah ada ikatan batin, ia ingin aku pakai untuk tampil ketika ada acara.

Kamu tahu sendiri, aku bukan orang baru untuk menjalankan odong-odong. Sudah lima tahun aku menjadi babu. Eh bukan terlalu kasar. Menjadi penjaga odong-odong Pak Samin, yang tiap minggu ia bisa menerima uang sejuta lebih,  setoran dari saya. Meski dia orangnya baik, suka memuji aku sebagai anak buah teladan. Karena katanya aku orangnya jujur dan disiplin, dan tidak pernah ngutang. Benar-benar cocok dan memenuhi syarat menjadi pekerja odong-odong. Aku ingin seperti dia, menjadi majikan.

Gimana, kamu setuju uang itu aku pinjam? Masak sama suami sendiri tidak percaya. Kalau kamu diam saja berarti saya anggap setuju. Ayo. Ayo diambil uang yang di bank itu. Lekas. Aku ingin segera membelinya. Ayo jangan diam saja, sini aku antar ke bank. Ayo naik, aku bonceng. Eh ehe. mana motorku. Jangan-jangan diambil orang. Di sini banyak sekali maling. Motor di depan rumah bisa dimaling. Maling jaman now, memang tak kenal waktu, kalau dulu maling selalu malam, ini di siang bolong tanpa menunggu rumah kosong. Nyata-nyata ada pemilik rumah tetap saja diambil. Mana, di mana motorku? Itu kalau digadaikan bisa beli odong-odong lho. Berlari-lari mencari motornya dan teriak-teriak di depan penonton. "Woi.. siapa yang tahu motorku?"

Lho lho. Apa itu rame-rame. Banyak ibu-ibu, anak-anak juga.  Mereka senang sekali. Mendekat keramaian.

Oh kamu. Supri, rupanya kamu sudah punya odong-odong baru. Bagus-bagus sekali. Ini odong-odong yang ada digambar. Dari mana kamu dapatkan uang untuk beli? Temannya lalu mendekatkan mulut di telinganya. "Menggadaikan motor." 

"Motor," aku terkejut. "Kamu kan tidak punya motor?"

Supri mengangguk dan telunjuknya menunjuk ke arahku.

"Maksudnya apa? kamu menggadaikan motorku." Ia menggangguk seakan tidak bersalah.

"Kamu malingnya? Kurang ajar" aku langsung berteriak di dalam keramaian itu.

"Maling..! Maling..! Maling..!" Semua orang panik.

Kemudian dua orang petugas satpam sekolah datang, langsung menggeretku pergi pulang ke rumah. Aku tak kuasa melawannya.

Sampai di rumah. Salah satu petugas itu pesan kepada istriku : "Bapak perlu istirahat!"

Istriku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah tahu kejadiannya, ia senang karena tabungannya masih utuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun