"Itu kan bisa diatur. Segalanya ada aturan tidak harus di semua tempat menjadi milik publik. Kita sendiri, bisa atau tidak membatasi. Sekarang Abang pikir. Pengusaha, itu kalau sudah mapan baru bisa bercerita, lihatlah tetangga-tetangga kita, itu si Adi, anaknya Bu Sari. Kuliyah tinggi-tinggi, pasca sarjana, sudah habis biaya banyak, pulang mau jualan bakso. Ketika ditanya, ia ingin mulai dari nol. Semua keluarganya pusing tujuh keliling, sudah banyak sawah yang dijual untuk biaya kuliyah, pulang ke rumah, jualan bakso. Hemm. Jangan asal ngomong pengusaha-pengusaha, tapi ujung-ujungnya susah. Yang sukses itukan baru segelintir dibandingkan dengan yang bangkrut," bantah Sang istri, seperti tidak terima dengan pendapat suaminya. Untuk mempertegas pendapatnya, ia lalu menyambung lagi.
"Kita mestinya bangga, jika salah satu keluarga kita, anak kita, ada yang menjadi pegawai pemerintah. Itu artinya disamping meningkatkan kesejahteraan keluarga, juga bisa menjunjung martabat silsilah keluarga kita. Kita harus berani memutus, tradisi dari nenek moyang sampai sekarang tetap menjadi buruh tani."
Akhirnya suami agak mereda, melihat istri barunya naik emosi. Dengan maksud mengambil jalan tengah. Ia mulai berpendapat. "Bagaimana kalau dua, yang pertama jadi PNS, yang kedua jadi pengusaha."
"Tidak, saya mau satu, satu sukses lebih baik dari pada banyak berantakan."
"Dua," sang suami mengulang kembali.
"Satu" jawab istri.
"Dua."
"Satu."
.... berulang-ulangÂ
Perdebatan seputar satu dua, dua satu itu terus berlanjut tanpa ujung. Diantara keduanya tidak ada yang mau mengalah. Suasana hati mereka kacau. Untuk sementara pertempuran ditunda. Akhirnya sepasang pengantin itu tidur beradu punggung.
Esok pagi. Mereka sepakat untuk mandi besar, hanya untuk meyakinkan kepada mertua bahwa pertempuran telah usai. Melihat mereka keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, Ibu mertua tersenyum, menganggap menantunya telah melaksanakan hajatnya dengan baik. "Mudah-mudahan langsung jadi," bisiknya.