Ketika berangkat ke pasar. Tak disangka, Asikh berpapasan dengan sang mantan. Dia sengaja tidak menyapa, tidak senyum dan membuang muka. Setelah melirik dari kejauhan, ternyata sang mantan pun demikian. Ha ini membuatnya semakin yakin, sekarang rasa itu tak pernah ada.
"Rasakan! Aku sekarang sudah bisa melupakannya. Mengingat pun tidak. Apalagi menyebut-nyebut namanya. Segala kenangan tentang dia, sudah aku musnahkan. Hancur. Aksesoris, foto, surat-surat dan batu akik darinya, aku bakar. Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk menghapus memori dalam otakku. Andaikan  otakku seperti flashdisk atau hardisk atau apalah, pastinya sudah aku format. Kalau tidak bisa, aku kepruk dengan palu. Bukankah ini sudah namanya totalitas?" Tanya Asikh kepada Bram, temannya. "Total untuk melupakan. Menurutmu apakah aku sudah menjadi laki-laki?"
Bram terkekeh. Tak menanggapi.
"Kalau sebutan jantan itu untuk laki-laki yang punya harga diri. Bukankah aku sekarang sudah menaikkan harkat, derajat, dan martabat sebagai lelaki di depan wanita? Sekarang sudah tidak zamannya lagi, untuk ngembek kepada perempuan. Ini menyalahi kodrat. Laki-laki itu harus mandiri, kuat dan  unggul. Tidak boleh cengeng dan mengemis. Maksudku mengemis cinta. Kalau sudah begini, masihkah ada yang masih mempertanyakan lagi.?"
Sambil menaikkan suaranya, Asikh melanjutkan. Kali ini persis orang yang sedang berpidato di atas podium.
"Aku muak didekte. Diawasi terus menerus. Harus ini, harus itu. Tidak boleh itu-ini. Memangnya situ siapa, bukan bos, bukan manjikan, bukan pula orang tua ku sendiri. Enak saja mengatur. Jelek jelek gini, aku juga dilahirkan. Selama ini ayahku tidak pernah mengatur dan memerintah perintah. Dia bebaskan aku untuk melakukan apapun, yang penting tidak menyalahi adat. Kini aku sudah bebas, bisa lepas dari belenggu cinta, yang menyiksa."Â
Bram, mencoba mendengarkan lebih serius. Memberi kesempatan Asikh, untuk memuntahkan grundelan yang selama ini menjadi kanker dalam dada.Â
Bagai lahar muntah, yang telah terpendam sekian lama. Tak ada ruang untuk muncrat. Kini semuanya dikeluarkan. Asikh melanjutkan keluhannya.
"Kalau disebut cinta, mengapa aku tertekan. Kata orang, cinta itu menentramkan. Tapi yang aku rasakan, benar-benar jauh dari kenyataan. Bagai panggang jauh dari api. Menurutku aku sudah tepat membuat keputusan seperti ini. Putus, itulah jalan keluarnya. Lelaki sejati, memang harus berani memutuskan, harus berani mengatakan tidak. Ini bukan angkuh. Tapi pernyataan sikap untuk jujur. Saya rasa semua orang bisa memahami. Gimana menurutmu Bram?" Asikh mengakhiri curhatannya.
Brama belum menjawaba apa-apa. Tiba-tiba terdengar dering nada telpon. Asikh mengangkatnya.
"Hallo.. hallo.. ini siapa?" tak ada suara jawaban.