Harus diakui, ketidaksadaran selalu merenggut kehendak seseorang dalam menentukan pilihan, yang sering menjerumuskan pada jalur pragmatisme. Namun saya teringat dengan perkataan guru saya Ustad Alfit Sair, "nilai seseorang ditentukan oleh jenis masalah yang dihadapinya". Jika kita hendak menanamkan nilai yang bermakna, maka kita harus bersedia menjawab tantangan yang sulit, lari dari tantangan, hanya memberi efek jera, yang membuat pelakunya merasa aman dan nyaman dalam waktu yang tidak lama, suatu saat hadir dan menghujam kenyamanan. Nasehat ini kerap hadir hadir dalam benak, mengiringi pilihan tidak bijak yang menyesatkan perjalanan, sesekali menjelma sebagai seorang bijak yang mengetuk pintu kesadaran. Karenanya dalam suasana seperti itu, hidup adalah upaya memenuhi panggilan keterpaksaan, dalam bahasa Kant (categorical imperative), yang jauh lebih baik dari kendali taksadar (Unconscious mind), dalam bahasa Freud id (aspek primitif)
Alam bukan hanya merupakan fenomena empiris sederhana. Dibalik penampakan Indrawi, terdapat sisi yang sangat kompleks. Sebagian orang melihat alam sebagai sumber inspirasi yang menarik untuk diselidiki. Jika kita mencoba membuka lembaran sejarah filsafat, sebagian besar kesibukan filsuf bertumpu pada penyelidikan terhadap alam. Ragam pandangan lahir dari upaya para filosof untuk merespons fenomena tersebut. Melalui penyelidikan itu, lahir beragam pandangan yang sangat mendalam.
Mulla Shadra (Filosof Islam and ke 17)  melalui teorinya Hakatul Jauhariyyah/Gerak substansial menekankan soal transformasi diri yang khas. Inti pandangan ini menganggap bahwa perubahan tidak hanya terjadi pada wilayah fisikal (aksiden) saja, namun juga pada aspek non fisikal (substansi). Hal ini dapat diruju pada buku "al-Asfar al-Arba'ah," Mulla Shadra. Berangkat dari teori ini, saya berprinsip bahwa dibalik jejak kaki, harus ada jejak makna yang tertuai, sehingga kegiatan mendaki tidak hanya dimaksudkan untuk menjelajahi alam namun juga menjelajahi diri.
Freidedrich Wilhelmm Nietzscha (seorang filsuf eksistensialisme Jerman abad ke 19) melalui pandangannya Übermenschh bermensch aatau manusia unggul, mnekankan soal pendakian untuk pencapaian kesempurnaan manusia. Ia menganggap gunung sebagai metafora dalam menggambarkan simbol perjalanan menuju puncak kesempurnaan. Perjalanan itu digambarkan dalam karakter Zarathusta. Kisah itu diceritakan dalam bukunya "Thus Spoke Zarathustra". Dibalik perjalanan itu, terdapat begitu banyak tantangan yang merintangi, melalui gagasannya "will to power", Nietzsche berusaha menunjukkan meyakinkan bahwa terdapat kehendak penuh untuk melampaui keterbatasan diri dan menembus sekat dan bats yang merintangi.
Segala sesuatu dapat menjadi "cermin reflektif", seperti gunung bagi Nietzsche dan materi bagi Shadra. Demikian itu hanya terwujud jika kita mulai berhenti mempersepsi segala sesuatu secara reduktif. Kehadiran para filosof telah memberi banyak bukti, sekaligus melonggarkan jalan menuju kesana.
Meminjam istilah Husain Heriyanto "paradigma holistik" adalah corak berpikir yang menyeluruh, berkebalikan dengan corak berpikir yang reuktif. Individu yang berparadigma holistik membangun nalar otentik. Ciri dari karakter tersebut adalah lahirnya Manusia yang berpikiran luas dan dalam yang tidak diintervensi oleh kepentingan apapun dan dalam hal  apapun, serta mampu memberi solusi dalam menjawab tantangan untuk menyelesaikan segenap persoalan sosial. Sedangkan corak berpikir yang reduktif cenderung melihat persoalan dari satu sudut, dan kehadirannya selalu menjadi sumber masalah.
Saya mencintai alam lebih dalam sejak berkenalan dengan Soe hook gie. Sosok yang sangat berpengaruh terutama sejak tahun 1960-70-an. Dia merupakan aktivis yang kritis, berani dan humanis. Perjalanan hidupnya diwarnai dengan penentangan, ia terlibat dalam menumbangkan Orla (orde lama) dan mengangkangi sejumlah aksi protes atas kesewenang-wenangan rezim orba. Ia seorang aktivis yang humanis, seperti yang tampak pada pembelaannya terhadap HAM, sejumlah kritik yang dilontarkan, dimotivasi oleh kegelisahannya atas kondisi sosial yang menempatkan masyarakat secara tidak adil.
Selain sebagai aktivis, ia juga dikenal sebagai seorang pencinta alam yang salah satu kebiasaannya mendaki gunung. Organisasi MAPALA (Mahasiswa pecinta Alam) merupakan organisasi yang ia didirikan bersama kawan-kawannya sewaktu masih menjadi mahasiswa di UI. Ia menganggap bahwa mapala adalah wadah untuk tetap menjaga kewarasan dari kebisingan perkotaan.
Menurut saya, Setiap orang butuh mengambil jeda, untuk memikirkan kembali keperluan jiwa dan memahami diri sendiri lebih dalam dan penuh seksama. Gunung adalah tempat terbaik untuk bercengkrama dengan diri sendiri. Melukiskan kembali segenap benih harapan sebelum akhirnya bersemi dan bersemai dengan alam sekitar. Mendaki gunung ibarat mendaki kedalaman diri, cukup beresiko dan penuh tantangan, namun diujung perjalanan, terdapat harapan yang siap menjulurkan tangannya. Gunung selalu menawarkan keindahannya sendiri, keindahan itu seperti hidangan yang sengaja dipersiapkan untuk para pendaki. Saya dan Soe Hook Gie, minimal, yang pernah menikmati hidangan itu.
Soe Hook Gie telah banyak menginspirasi kaum mudah setelahnya. Membacanya seperti sedang menonton sebuah pertunjukan. Ia membawa saya hanyut dalam sosok karakter yang independen, otentik yang tidak diintervensi oleh apapun dan siapapun. Menghayati Soe Hook Gie membuat saya seperti mendapat sudut bidikan baru untuk memotret realitas apa adanya.
Harapan saya, dalam waktu yang dekat, ingin mendaki gunung Semeru, (gunung terakhir yang pernah dikunjungi oleh Soe Hook Gie) sambil membayangkan karakter Zarathustra, untuk menciptakan perubahan, tidak hanya dari sisi aksidental, namun juga pada sisi substansial, sebagaimana ungkapan Shadra.
Saya sadar betul akan sulitnya membayangkan Peristiwa itu, dalam waktu yang tidak cukup lama, akan saya tangguhkan sebagai lentera dibalik cakrawala idealisme untuk menerangi kegelapan diri, sebelum akhirnya melangkah menuju puncak perfeksi.