Gunung bagi sebagian orang adalah tempat bersantai sambil menikmati keindahan alam. Bagi saya tidak salah, namun perlu dievaluasi. Gunung dengan segala kesakralan dibaliknya, harus dilihat lebih dari sekadar pemandangan. Keindahan gunung harus dibaca sebagai sebuah tanda bahwa setiap pendaki mesti menginternalisasi nilai keindahan dalam aspek kehidupannya, dan harus menjadi prinsip bahwa kecacatan dalam tindakan adalah noda yang bertentangan dengan kesakralan gunung. Jika suatu ketika, seorang pendaki, melanggar nilai keindahan, sejatinya kegiatan mendaki hanya dilakukan untuk menghibur aspek raganya, namun  mengabaikan aspek jiwanya.
Menurut saya, aktivitas mendaki merupakan  the art of knowing yourself. Perjalanan menuju puncak serta tumbuhnya ikhtiar untuk mewujudkan potensi dalam diri harus terus terawat dan berjalan secara berkelindan bagai dua sisi sayap, untuk sampai pada puncak perjalanan. Jika Mulla Shadra mengatakan "berfilsafat adalah perjalanan akal menuju tuhan", maka saya mengatakan "mendaki gunung adalah perjalanan raga menuju Tuhan". Sebab dibalik perjalanan, rentetan manifestasi menjadi signifikasi menuju Tuhan.
Kegiatan mendaki harus melibatkan dua keintiman, untuk mencapai titik ekstase dalam perjalanan. Raga menjejaki alam dan jiwa menjajaki makna, tubuh material mencapai kulminasi dibalik panorama bukit, sedang tubuh immaterial memproleh keintimannya disisi ketuhanan.
Maraknya kasus kejahatan atas lingkungan, seperti aktivitas pertambangan, Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada tahun 2022, ditemukan setidaknya ada 164 izin tambang di 55 pulau kecil di seluruh Indonesia, sadar atau tidak, perusakan lingkungan melalui pertambangan sangat mempengaruhi sirkulasi ekologi, mengingat tingginya potensi kerusakan dan rendahnya daya pulih.Â
Disisi lain, kebiasaan buang sampah di pegunungan menjadi salah satu pemicu kerusakan alam. Mengutip Jurnal ekologi, Masyarakat dan Sains, dalam penelitiannya yang dipublikasikan pada Mei 2024 soal dampak pembuangan sampah. Hasil penelitian itu menunjukkan salah satu dampak dari pembuangan sampah, yaitu kebakaran hutan, disisi lain tentu menodai keindahan alam.
Dalam pandangan saya, sejumlah kerusakan diatas berawal dari cara pandang yang keliru soal alam. Sejauh ini, manusia moderen semakin jauh dari hakikat dirinya, yang tentu menampilkan impresi yang buruk sebab kemajuan pengetahuan tidak mampu menggeser kualitas diri manusia.
Kerusakan lingkungan hanya gambaran kecil dari masalah yang besar. Kerusakan terbesar berawal dari world view yang "sesat". Runutan masalahnya dapat secara lengkap ditemukan pada gelombang revolusi di Eropa atau abd pencerahan (Renaissance). Abad ini ditandai dengan lepasnya akal dari dominasi agama. artinya menjadikan akal sebagai hakim segala sesuatu. Sehingga dinamika perkembangan pengetahuan di barat dimaknai sebagai gerak melampaui dan meninggalkan agama (lebih spesifik gereja ortodoks), sehingga sangat wajar jika nuansa spiritual-religious terasing dari zona pencerahan di barat. Saintisme yang belakangan berkembang, berujung panda sikap radikal kaum positivisme, yang memandang secara dikotomis antara agama dan ilmu pengetahuan.
Pandangan yang yang bertendensi dikotomis menurut Seyyed Hossein Nasr (Seorang pemikir dan pakar sains, lahir di Teheran, Iran pada tanggal 7 April 1933) menjadi katalisator dari fenomena eksploitasi atas lingkungan . Menurutnya ilmu pengetahuan seharusnya dipersepsi sebagai manifestasi atau cermin tuhan. Dalam bukunya antara tuhan manusia dan alam, ia menyebutkan "Manusia modern telah kehilangan pandangan tentang alam sebagai kitab Tuhan. Ia memperlakukan alam semata-mata sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa menyadari bahwa alam adalah cerminan dari Yang Maha Kuasa".
Pandangan yang menyeluruh membantu kita memandang secara menyeluruh serta memperlakukan alam sesuai dengan kaidah penciptaannya. Pandangan seperti ini sekaligus memfilter kepentingan semu, sebuah hasrat yang di dalam Al-Qur'an disinggung sebagai ornamen kebinatangan (kerendahan), merusak alam berarti tanda bahwa kita tengah mengalami kemerosotan nilai dan dekadensi moral. Sebab alam secara intrinsik mengandung unsur yang bersifat sakral, tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Pandangan seperti ini akan meminimalisir kerusakan dan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Agama sebagaimana agama (an sich) lepas dari kepentingan dibaliknya dan sains tanpa saintisme (sains yang tereduksi), berkaitan secara komplementer tanpa kandungan konflik apapun. Alih-alih menemukan pencerahan, upaya memisahkan keduanya justru menjadi jalan menuju kegelapan dan kerusakan.