Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Baiknya Persma

7 Mei 2018   05:59 Diperbarui: 7 Mei 2018   08:01 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang ada itu sesungguhnya tidak ada

Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.

Yang bukan dikira iya.

Adalah Semar, sosok misterius yang perjuangannya tiada tara.

Semar tidak diketahui keberadaanya, namun setiap orang pasti pernah mendengar namanya. Hari ini hanya Semar yang bersikeras bersandar pada keadilan, padahal (katanya) ia selalu bersantai-ria. Tidak seperti orang-orang yang selalu sibuk membicarakan toleransi dan keadilan. 

Lekuk tubuh Semar sendiri sudah menjadi buktinya. Ia berdiri namun terlihat jongkok, menunjukkan kedudukan penguasa dan rakyat jelata. Tangannya menunjuk ke atas dengan maksud menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Sedang kainnya memiliki makna yang mendalam, yakni membaur dengan segala perbedaan.

Semar ada karena hegemoni Hedonisme semakin semeraut. Hari ini Semar telah bereinkarnasi, kini ia bertransformasi menjadi sekawanan pemuda yang berfikiran revolusioner namun tetap mengikuti perkembangan zaman. Semar muncul bukan sebagai penyeimbang, ia adalah bukti bahwa masih ada pemuda yang menolak berfikiran realistis di era millenial seperti sekarang.

Semar dalam kedudukannya bukan semata-mata para pemuda yang mengaku agent of change, bukan berarti bagian dari ruang-ruang kapitalisme yang menciptakan ekonomi plasma. Semar berusaha menengahi berbagai sisi, ia adalah wujud dari cita-cita Soe Hook Gie yang kritis, Mochtar Lubis yang flamboyan, dan Akbar Tanjung yang realistis.

Akan nampak suatu masa dimana Semar dibutuhkan. Ketika ruang-ruang pengembangan minat dan bakat bagi pemuda mulai kaku terhadap gaya hidup, semar hadir sebagai otokritik. Sebab masa-masa itu telah terjadi, bahkan dirasakan oleh sebagian besar pemuda terutama di ranah perguruan tinggi.

Juga sebagi Antitesa, Semar tak lepas dari dunia penerbitan kampus. Manakala seseorang mulai mempertanyakan arah juang pergerakan mahasiswa, maka Pers Mahasiswa selalu saja dikambing-hitamkan. 

Persma nampak sebagai alat-alat propaganda, alat bagi kepentingan kampus yang kemudian mengikis jiwa kritis dan kreativitas. Walaupun pada tataran empiris, wartawan kampus merasa ogah dianggap tendesius, dan memihak. Jurgen Habermas selaku pemikir mazhab kritis mengatakan "bohong" karena mereka terkukung oleh kode etik Jurnalistik yang dijadikan pembenaran dalam pemberitaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun