"Mau BBM naik mau ngga, tetep aja bayarnya cuma Rp.10.000."Â
Sering kita dengar ungkapan semacam tadi menjadi jawaban permisif setelah dicabutnya subsidi BBM oleh Presiden Joko Widodo. Harga BBM yang melambung tinggi membuat resah banyak orang, namun daripada itu, keresahan ini tidak pernah di apresiasi-sekedar celotehan orang-orang di warung kopi.Â
Memang susah bila berhadapan dengan Pemerintah yang tidak peka perasaan rakyatnya, bahkan bila keresahan rakyat miskin ditampung lansung oleh mahasiswa, masih belum cukup untuk memaksa pemerintah mencari alternatif lain, terkecuali melalui aksi berkepanjangan seperti yang terjadi di tahun 1998.
Maksud penulis adalah demonstrasi.
Di berbagai negara yang belum dewasa menganut demokrasi, demonstrasi masih menjadi momok bagi sebagian elit politik. Demokrasi masih di anggap pengacau bagi stabilitas keamanan dan politik. Cara-cara progresif menjadi kitab bagi para asisten, para staff ahli, dan penasehat yang berada di balik oligharki politik saat ini.
Pembuktian kasus wacana di atas mulai terlihat di berbagai media sosial setelah warganet banyak yang menanyakan kebijakan perihal kenaikan BBM tanpa adanya penguguman sama sekali oleh Pertamina. Akhirnya ini tak lebih sekedar sikap paranoid yang berlebihan. Demi stabilitas, pemerintah merelakan bagian paling penting dalam demokrasi, yakni keterbukaan kebijakan dan informasi publik.
Berdasarkan UU No.14 tahun 2008 pasal 3 mengenai keterbukaan informasi publik secara riil BUMN seperti Pertamina musti menjamin hak masyarakat mengenai informasi dari awal proses pembuatan kebijakan, proses, hingga hasil pengambilan keputusan publik.Â
Tetapi bila kita melihat berita acara yang dipublikasikan oleh Pertamina belakangan ini dengan judul "Daftar Harga BBK Tmt 24 Februari 2018" memang ada kenaikan harga Pertamax secara berjenjang yang pada awalnya Rp.8.400 menjadi Rp.8.600 hingga Rp.9000 per februari hingga Maret 2018.
Kenaikan bahan bakar di sektor non-subsidi memaksa kita bertanya-tanya sikap Presiden yang tidak responsif alias membiarkan begitu saja kenaikan yang terjadi-lalu menghiraukan arti pentingnya pengunguman lansung oleh Presiden di tahun politik seperti ini.
Di tengah hiruk pikuk Pilkada serentak tahun 2018, Penulis menilai Presiden mencoba meminimalisir ketidakpuasan masyarakat terhadap elektabilitas dirinya yang masih tergolong tinggi untuk saat ini, atau secara positif kita menilai ada upaya untuk menekan kegaduhan yang bisa saja terjadi karena kenaikan harga BBM semacam ini bisa saja berdampak ke aspek lain yang tak kalah krusial, yang sewaktu-waktu krisis multidimensional seperti sekarang terjadi malah tak kunjung reda.
 Langkah taktis yang dilakukan rezim sebetulnya berawal setelah keputusan Pemerintah bahwa tarif listrik dan BBM dari 1 Januari sampai 31 Maret 2018 tetap, jadi sama dengan periode tiga bulan terakhir di tahun 2017 seperti yang dikatakan menteri ESDM, Ignasius Jonan.
Sikap Presiden yang "mencari aman" seperti ini juga memberi kesempatan bagi konstentan politik  lain untuk memantau terus jalan Joko Widodo yang telah mendapat dukungan oleh PDIP sebagai calon Presiden di pemilihan presiden tahun 2019.
Meski kita melihat sikap "mencari aman" malah beresiko menurunkan kepercayaan publik, namun di sisi lain dengan adanya stabilitas politik di tahun politik seperti sekarang-rezim akan lebih mudah mengatur sumber daya yang ada dalam rangka pembangunan dan peningkatan pembangunan di bidang infrastruktur tanpa harus disibukkan untuk mengurus kritikan masyarakat. Tentu ini terlepas dari adanya inflasi yang timbul setelah kenaikan harga BBM yang dilatarbelakangi kenaikan harga minyak dunia.
Untuk masalah inflasi, penulis merasa itu masih dalam batas wajar, karena bagaimanapun juga pengaruh dari kenaikan BBM non-subsidi tidak akan berdampak besar terhadap inflasi seperti yang dikatakan menteri kordinator perekonomian baru-baru ini (02/03/2018).
Efek dari antisipasi polemik berkepanjangan bila harga BBM naik memang menguntungkan, namun yang di dapat hanya kesejahteraan semu pasca pembangunan, karena seperti kita lihat sekarang, pembangunan sekarang masih mengacu pada cetak biru infrastruktur dari awal masa-masa reformasi. Seperti pembangunan di bidang lain khususnya agraira masih kurang maksimal, terbukti setelah kegagalan peningkatan produksi partanian konsvensional yang selama ini digenjot habis.
Tanpa adanya Integritas dari seorang elit politik hanya akan lahir kesewenang-wenangan, lalu menimbulkan ketidakpedulian. Masyarakat hari ini memang jangan terus dimanjakan, tetapi bila hanya sebatas slogan-slogan semata malah tidak akan berefek apa-apa. Negeri ini hanya akan semakin dimanjakan oleh para pengusaha di balik layar-para kartel-korpoorasi yang mau enak sendiri.
Mau bagaimana lagi, selama 4 tahun rezim berkuasa, kita telah dinyenyakkan harga minyak dunia yang rendah-lalu dimanfaatkan untuk propaganda kenaikan harga bersubsidi demi Infrastruktur yang bersifat konsumtif dalam pembangunan; tujuannya satu demi kesejahteraan semu tadi, namun nyatanya ?
Mahasiswa, Penggiat Media Sosial, Anggota PPK, dan Pemantau Pemilihan Umum FISIP Universitas Lampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H