Mewujudkan bangsa yang tangguh dan "berdikari" nyatanya tinggal angan-angan belaka. Pergerakan nasional seakan-akan terjerat dalam Kapitalisme Global, kaum borjuis berhasil menguasai hampir dari seluruh elemen masyarakat. Berawal sejak Sukarno mangkat dari kekuasaanya, Indonesia mulai membuka diri terhadap bantuan-bantuan asing baik berupa investasi, modal, dan secara politis mewarnai suasana perang dingin, kesekian kalinya kita berkiblat pada "Paman Sam", Â sehingga diplomasi dengan amerika serikat telah mengharamkan Kesejahteraan demi memuluskan eksploitasi Sumber daya alam secara besar-besaran di Kalimantan, Timor-timur dan Papua di sekitar tahun 1980an.
Pada masa Orde baru Perekonomian mulai bergantung pada modal asing akan tetapi hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas Sumber Daya manusia di berbagai sektor, Khususnya di bidang Industrialisasi.
Alhasil ketika krisis moneter melanda pada tahun 1998, Indonesia tidak bisa berbuat banyak karena minimnya prodktivitas, berbanding terbalik dengan negara-negara di Asia seperti Jepang dan Singapura yang mampu mengatasi dalam kurun waktu relatif singkat.
Melihat Sejarah
Kepemimpinan Otoritarianisme ala Orba Selama 33 tahun di bawah kekuasan diktator Suharto, kata Komunis sangat tabu bagi warga negara Indonesia. Di sekolah-sekolah di ajarkan mata pelajaran PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa), mata pelajaran ini pun mengajarkan tentang G.30 S (Gerakan 30 September ) Partai Komunis Indoneia yang masih kontroversial. Atau  Partai yang menurut Pemerintah Orde Baru di anggap partai yang tidak berperikemanusian dan menuduh DN Aidit dan kawan-kawannya sebagai Pelaku G.30.S karena adanya keterlibatan beberapa tokoh PKI dalam gerakan tersebut.
Doktrin Orba tentang Komunis membuat para masyarakat termasuk kaum muda merasa jijik mendengarkan kata Komunis dan memahami komunis sebagai partai yang identik dengan anarkis, tidak mempunyai moral, tidak pecaya akan adanya  Tuhan. Hingga kini Komunisme masih menjadi musuh bersama, musuh yang harus dihabisi ke akar-akarnya.
Komunisme baik di belahan dunia manapun seperti hantu yang berkeliaran, para penguasa akan terusik. Berupaya membangun persekutuan antara golongan yang menolak kebangkitan PKI yang dikira berdampak besar bagi keutuhan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi ada konsolidasi bersama antara kaum Muslimin dan Militer, sekiranya mereka begitu bersikukuh; pertanyaanya,"PKI, ancaman terhadap Pancasila atau hanya 'amarah' para Jenderal Purnawirawan ?" pada bulan Juni 2016 silam di Jakarta, sekelompok purnawirawan TNI bersama sejumlah ormas menggelar simposium Pancasila dengan tajuk, "Mengamankan pancasila dari ancaman kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan ideologi lain.". simposium tersebut menolak rencana Presiden Jokowi yang diduga akan meminta maaf terhadap korban Tragedi 1965, nyatanya permintaan maaf tak kunjung terealisasikan hingga detik ini.
Militer dan Buruh
Balas dendam bukanlah hal yang manusiawi, dimana letak kemanusiaan apabila pembantaian dijadikan keramat guna membumihanguskan suatu kaum yang menjadi lawan politik, mayoritas dari mereka adalah simpatisan PKI, mereka di provokasi sehingga mudah diperdaya oleh janji-janji manis Komunisme yang terdengar utopis.
Malapetaka 30 September 1965-1966 (Peristiwa G 30 S PKI), pembataian massal yang dilakukan Soeharto terhadap rakyat Indonesia, jutaan rakyat dibunuh, puluhan ribu dipenjara tanpa sidang, demokrasi dibungkam, menjadi titik awal kebangkitan sistem Orde Baru yang dibangun Soeharto, setelah berhasil menggulingkan presiden Soekarno. Menurut Bertrand Russel, "Dalam empat bulan saja, lima kali lebih banyak orang telah mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun."
Sejak saat itu golongan militer mulai berbuat seenaknya, mereka mulai memperkaya diri dengan memanfaatkan keuntungan diplomatis bersama kekuatan dominan perang dingin dari kubu kapitalisme, Amerika Serikat. Secara politis dapat dilihat dari minoritas kaum buruh di timor leste, banyak dari mereka yang tidak menempuh pendidikan lantaran aneksasi yang diperbuat Indonesia demi mempertahankan integrasi sebagai wujud antisipasi adanya pemberontakan Partai Komunis disana, sejatinya Amerika Serikat tak ambil pusing dan merasa diuntungkan karena mampu menghalang teori domino (penyebaran komunisme di asia tenggara melalui Indocina) dapat di antisipasi oleh Indonesia. Sehingga otoritarianisme dalam wujud kapitalisme kaum borjuis yang berkuasa begitu dihalalkan.