Seperti kata pepatah, apa yang kita lakukan hari ini akan menuai hasil di hari kemudian. Manusia bukanlah batu sehingga ada kalanya berubah karena roda terus berputar. Bagi penulis, tak perlu kita mengikuti arus, mengalir seperti aliran sungai yang suatu saat nanti menghancurkan batu-batu dihadapannya.Â
Akan jauh lebih baik apabila kita memilih menjadi kendaraan yang mau menggerakkan roda tersebut. tak perlu sungkan apa yang kita lakukan hari ini, karena inisiatif berbekal kreatifitas dan inovasi telah memberi konstribusi sosial bagi orang-orang di sekeliling kita.
Anyway, perkembangan teknologi dan informasi terutama di ranah media sosial telah memberikan dampak mengkhawatirkan. Hal itu berujung pada sikap malas sehingga kita sebagai manusia malah dikuasai oleh Gawai 'bukan' menguasai. Ketidaktahuan tentang adab di dunia maya menjadikan seseorang dengan mudah memicu kebencian. Padahal hanya persoalan sepele seperti selera hobi masing-masing individu yang di komentari oleh kita dengan cara-cara egois tanpa memperhatikan perasaan orang tersebut.
Sering kali orang yang terlalu eksis menjadi sasaran perundungan bagi orang yang naik pitam dibuatnya. Salah satu korban tadi tidaklah salah, hanya saja ia adalah "Tokoh Netizen" yang segala postingannya diperhatikan oleh warganet.
Apabila disorot lebih mendalam, kebiasaan ini bermula manakala media sosial hanya dijadikan ajang pamer bukan sebagai  tempat sharing pengetahuan dan informasi. Mulai dari pagi hingga pagi lagi, postingan yang ditambahkan baik melalui microbloging, twiter hingga media sosial, facebook dan Instagram rata-rata bersifat pribadi dimana seseorang menginginkan pengakuan akan status sosial yang dimilikinya. Tak heran 'kucing kecetit 'upload, makan di restoran 'upload, ketemu pejabat 'upload, menginap di hotel 'upload." Itu dilakukan semata hanya bentuk pencitraan diri di internet.
Senada dengan hal itu, Abraham Maslow pun beranggapan demikian, eksistensi merupakan faktor penunjang seseorang agar status sosialnya dihargai. Bagi penulis tak ada yang salah dari perilaku tersebut, sebab, tentu kita menyadari segala sesuatu yang kita posting di media sosial akan berdampak baik secara personal maupun bagi khalayak umum.
Memberikan gambaran bagaimana orang ingin sekali menjadi pusat perhatian. Telah memberikan dampak baik itu negatif maupun positif. Sikap 'narsisme' jika dilakukan dengan positif dan tidak merugikan orang lain akan melahirkan respon positif dari warganet, katakanlah selfie yang terkesan artistik dan tidak nyeleneh seperti selfie ketika terjadi kecelakaan yang pada dasarnya merupakan kasus tereduksinya nilai empati dalam diri manusia, mendekatkan yang jauh-menjauhkan yang dekat.Â
Orang sedang kesakitan malah sibuk upload kecelakaan di media sosial-justru akan berimbas buruk bagi diri kita sendiri sehingga tak heran cibiran warganet berdatangan tiada henti.
Miris, apabila kita menengok prilaku kids zaman now hari ini. Generasi yang terdoktrin nuansa kapitalistik oleh iklan dan sinetron yang tidak mendidik. Melahirkan anak muda yang resah apabila tidak memiliki pacar dan uang, seakan itu segalanya.Â
Generasi muda yang lebih banyak wacana daripada eksekusi, generasi apatis akan keadaan lingkungannya, lebih peduli update status tentang gotong royong daripada ikut membantu. Generasi yang hanya bisa berguman di media sosial, "wah kasihan sekali yaah keluarga mereka."
Kecakapan diri dan interprestasi teknologi yang dikuasai generasi zaman now akan sia-sia bila tidak dipergunakan untuk kepentingan umum. Alih-alih kasus empati, lalu tinggal bagaimana cara kita mensolusikannya, andaikan ada inisiatif dari anak muda, daripada sekedar berguman dan mengeluh.Â