Mohon tunggu...
Aqila Adinda Putrijaya Minerva
Aqila Adinda Putrijaya Minerva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Teknologi Radiologi Pencitraan di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Virtopsy PMCT: Prosedur Autopsi Virtual Kala Covid-19 Menyerang

17 Mei 2023   03:00 Diperbarui: 17 Mei 2023   03:06 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi COVID-19 tidak hanya menciptakan distorsi dan transformasi pada mobilisasi masyarakat, tetapi distorsi tersebut juga terlihat pada bidang kesehatan. Masyarakat tentu menyadari prosedur penanganan pasien di rumah sakit, khususnya pasien dengan diagnosa positif COVID-19 berbeda dari sebelum pandemi. Hazmat berlapis-lapis harus digunakan oleh tenaga kesehatan dalam menangani pasien. Transformasi prosedur tersebut terlihat pula pada prosedur autopsi korban selama masa pandemi. Risiko transmisi dan infeksi COVID-19 pada tenaga kesehatan sangat tinggi. Jika menggunakan protokol konvensional dengan pembedahan kontak langsung pada pasien, risiko tenaga kesehatan terkena infeksi sangatlah tinggi sehingga protokol tersebut sangat tidak dianjurkan. Maka dari itu, Virtopsy atau Virtual Autopsy menjadi jalan utama dalam melakukan autopsi agar tetap mampu menegakkan sebab kematian dari seseorang.

Virtopsy dan Prinsip PMCT

Virtopsy atau Virtual Autopsy merupakan salah satu prosedur pemeriksaan autopsi non invasif yang mengkombinasikan protokol autopsi konvensional dan penggunaan modalitas pencitraan diagnostik (Badam, dkk., 2017). Adanya Virtopsy sangat membantu tenaga kesehatan dalam menganalisa sebab kematian seseorang tanpa harus kontak langsung dengan tubuh mayat. Ditambah lagi pandemi yang memungkinkan bahwa mayat tersebut telah terinfeksi COVID-19. Selain itu, Virtopsy dapat dilakukan sebagai alternatif dari protokol standar autopsi untuk pemeriksaan seluruh tubuh dengan waktu yang lebih singkat, membantu diagnosis lebih baik dengan visualisasi, dan menghormati perspektif kepercayaan keluarga pasien mengenai autopsi (Tejaswi & Periya, 2013). Biasanya modalitas yang digunakan adalah CT Scan dan MRI. Namun, PMCT (Post-Mortem Computed Tomography) menjadi modalitas yang digunakan pada pembahasan kali ini. Prinsip kerja PMCT sama dengan modalitas CT Scan pada umumnya yang menggunakan sinar-X dan rotasi multidetektor dalam menghasilkan citra.

Prosedur Virtopsy PMCT

Analisis kali ini menggunakan salah satu kasus dari Vaishnav (2022) mengenai kasus kematian mendadak seorang pria muda dengan pendarahan di bagian mulut dan hidung. Pupil mata kedua pria tersebut dilatasi parsial dan tidak bereaksi saat diberi cahaya berintensitas tinggi. Pemeriksaan swab pada nasofaring dilakukan sebagai protokol standar rumah sakit menghasilkan pria tersebut positif terinfeksi COVID-19. Pemeriksaan PMCT dilakukan 48 jam setelah kematian.

Sebelum Virtopsy dilakukan, ahli radiologi telah memastikan riwayat klinis dan temuan postmortem prosedur terbatas agar ahli radiologi dapat menginterpretasi hasil citra dengan tepat walaupun terdapat perubahan dekomposisi pada tubuh mayat. Setelahnya,  tubuh dibalut dengan berlapis-lapis lapisan polietena dan dipindahkan ke ruang khusus penanganan COVID-19 bersama ruang pemeriksaan CT Scan khusus. Pemeriksaan seluruh tubuh dilakukan dengan non-kontras PMCT dengan 256 multi slices CT Scan. Pasien diposisikan supine atau terlentang. Parameter scanning atau pengaturan dalam menciptakan citra adalah 100kV dan 120kV dengan slice thickness 1mm dan 5mm pada citra axial. Seluruh pemeriksaan dan rekonstruksi atau pembuatan citra dilakukan selama 10 menit.

Validitas Sebab Kematian Berdasarkan Citra PMCT

Pertimbangan yang biasa terdapat pada prosedur Virtopsy dan autopsi konvensional adalah perbedaan hasil diagnosis atau sebab kematian dari pasien. Namun, berdasarkan kasus yang ditelaah pada jurnal didapatkan bahwa validitas penegakan sebab kematian sama dan berkesinambungan dengan temuan postmortem sebelum prosedur PMCT berlangsung. Berdasarkan pemeriksaan dan temuan dari riwayat klinis, disimpulkan bahwa pasien mengalami cerebral edema dengan herniasi tonsillar bilateral sebagai dampak dari pendarahan hipertensif intracerebral. Disimpulkan pula bahwa kematian tersebut natural atau tidak terdapat sebab cedera eksternal. Validitas dari kesimpulan tersebut dinyatakan tinggi dikarenakan temuan pada citra sesuai dengan kondisi klinis dan tanda vital pasien sebelum Virtopsy berlangsung.

Isu Penggunaan Virtopsy di Indonesia

Segala jenis autopsi masih menjadi lika-liku pembahasan yang masih mencari titik terang, khususnya perlindungan hukum bagi tenaga medis. Hal tersebut juga terjadi pada penggunaan Virtopsy di Indonesia. Menurut Muhammad Habiburrahman dan Aria Yudhistira (2021), permasalahan yang masih menjadi perbincangan saat ini adalah legalitas dan keabsahan bukti dari hasil citra. Masalah kode etik, legalitas, dan tinjauan aspek sosial kebudayaan masih belum dibahas sepenuhnya. Kerahasiaan medis juga menjadi pertimbangan dalam penggunaan Virtopsy, walaupun terdapat banyak keunggulan yang diberikan oleh prosedur ini.  Berdasarkan KODEKI, penggunaan Virtopsy harus ditelaah lebih lanjut berlandaskan pada beneficence dan non-maleficence. Dokter dan radiogfer harus memahami relevansi dari data-data yang didapatkan dan mampu menjaga kerahasiaan data pasien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun