Mohon tunggu...
Aqila Adinda Putrijaya Minerva
Aqila Adinda Putrijaya Minerva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Teknologi Radiologi Pencitraan di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mona Lisa dan Vandalisme: Haruskah Aksi Merusak Karya Fenomenal?

8 Juni 2022   14:42 Diperbarui: 8 Juni 2022   14:55 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sama dengan kasus tersebut, kerumunan protes memiliki rasa dan identitas yang sama sehingga mereka dapat melakukan vandalisme. 

Sisi lainnya ialah adanya vandalisme membuat kasus yang sedang digaungkan dapat perhatian lebih dan tersebar dengan cepat, khususnya dunia maya. Maka, hal tersebut menjadi alasan adanya vandalisme.

Walaupun tujuan untuk protes sama, tetapi tidak semua orang merupakan protesters dan tidak semua merupakan rioters serta looters. 

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan protes ialah mereka yang mengekspresikan diri dengan cara wajar dan tertib tanpa menginjak hak-hak orang lain.

Artinya, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang merusak atau merugikan orang lain, seperti vandalisme. Berbeda halnya dengan rioters dan looters, mereka mengekspresikan ketidakpuasan dengan kekerasan, vandalisme, pencurian serta penghancuran properti publik atau pribadi. Dua hal tersebut sering kali jarang diketahui masyarakat. 

Adanya kasus Mona Lisa dengan membawa nama aktivis lingkungan dapat menguatkan narasi social justice warrior dan konotasi negatif lainnya terhadap gerakan tersebut.

Terjadinya demo dan dialog pemerintah dengan aktivis tentu disebabkan oleh suatu alasan. Hal paling utama ialah penanganan isu lingkungan yang dirasa tidak efisien dan tidak menimbulkan efek apapun. Salah satu kasus yang ditemui ialah implementasi Paris Agreement yang dibuat oleh UNFCCC. 

Poin utama Paris Agreement ialah menetapkan peraturan internasional untuk menghindari perubahan iklim yang berbahaya dengan membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2°C dan mengupayakan upaya untuk membatasinya hingga 1,5°C. 

Namun, setelah beberapa tahun pengimplementasian Paris Agreement, tidak terlihat adanya perubahan, bahkan memperparah tingkat emisi karbon. Menurut data statistik, tingkat emisi karbon tahun 2021 mencapai 36,4 milyar emisi. 

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 34,81 hingga 35,50 milyar emisi. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Paris Agreement tidak efektif untuk membantu memperbaiki isu lingkungan.

Namun, alasan tersebut tentu tidak membuat pembenaran mengenai tindakan vandalisme. Daripada melakukan vandalisme dan membuat narasi aktivis semakin berkonotasi negatif. Lebih baik membuat rencana yang lebih efektif dalam berdialog dengan pihak otoritas dan masyarakat umum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun