Ancaman eksternal dari Amerika Serikat dan sekutunya, serta ketegangan berkelanjutan dengan Korea Selatan, menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh rezim Korea Utara selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Ketegangan konflik Korea Utara dengan negara-negara lain juga semakin membulatkan keputusan Korea Utara untuk mengembangkan kekuatan nuklir yang dimilikinya. Menguatnya perkembangan senjata nuklir Korea Utara semakin terlihat sejak kepemimpinan Kim Jong-un yang mengambil alih kekuasaan pada 2011. Dimana Kim Jong-un memprioritaskan program nuklir sebagai pilar utama keamanan nasional dan alat tawar diplomasi internasional dalam menghadapi tekanan global.
Di bawah kepemimpinannya, Korea Utara mempercepat pengembangan senjata nuklir, yang disertai dengan uji coba nuklir dan rudal balistik antarbenua. Langkah ini memperlihatkan ambisi Kim Jong-un untuk mempertahankan legitimasi rezimnya di dalam negeri sambil menavigasi ketegangan internasional dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia. Meskipun ada upaya diplomasi tingkat tinggi, termasuk pertemuan bersejarah dengan Presiden AS Donald Trump, hal tersebut tidak lantas melahirkan kesepakatan konkret mengenai denuklirisasi. Sebaliknya, Kim Jong-un dinilai memanfaatkan ketidakpastian global dan rivalitas geopolitik untuk memperkuat posisinya, sekaligus memastikan Korea Utara tetap menjadi aktor yang relevan di kancah internasional.
Politik Kim Jong-un
Korea Utara merupakan negara dengan prinsip Juche yang dapat diartikan sebagai sistem penguasaan tunggal, dibawah kepemimpinan keluarga Kim Il Sung yang kemudian dianut ke dalam ideologi Korea Utara. Namun, dengan kepemimpinan yang bersifat turun temurun tersebut tidak serta merta memiliki kesamaan dalam keputusan politik setiap pemimpinnya. Â
Tercermin sejak tahun 2011, Kim Jong-un yang baru naik menggantikan ayah nya untuk menjadi pemimpin Korea Utara langsung dengan cepat memperkuat program nuklir di Korea Utara sebagai inti dari strategi pertahanan dan alat diplomasinya atau yang kerap disebut dengan Byongjin Line. Â
Ambisi Senjata Nuklir Kim Jong-un
Tidak dapat dielakkan bahwa ambisi Korea Utara dalam memaksimalkan kekuatan nuklirnya semakin meningkat dibawah kepemimpinan Kim Jong-un. Selain menyadari bahwa pengembangan senjata nuklir dapat menjadi kekuatan utama dalam memberikan pengaruh Korea Utara dengan pandangan sebagai negara yang tertutup di panggung global. Pengembangan senjata nuklir juga dapat digunakan untuk  mengimbangi kekuatan di kawasan regional.
Melihat hal tersebut, memunculkan salah satu alasan utama Korea Utara mengembangkan senjata nuklir, yaitu  untuk menjaga keamanan rezim. Dalam pandangan Kim Jong-un, senjata nuklir merupakan jaminan utama keberlangsungan kekuasaannya di tengah ancaman eksternal, terutama dari Amerika Serikat dan sekutunya. Selain itu, program pengembangan senjata nuklir juga dinilai dapat meningkatkan legitimasi politiknya di dalam negeri dengan menunjukkan kekuatan militer dan teknologi yang dimilikinya kepada rakyat Korea Utara.
Namun dibalik kesan mengancam yang dimiliki oleh Kim Jong-un dalam upayanya menjaga keamanan rezim, nyatanya upaya tersebut juga dapat dilihat sebagai bentuk dari perasaan tidak aman yang dirasakan oleh rezim keluarga Kim terhadap ancaman dari negara-negara di luar sekutunya, seperti Amerika Serikat. Hal tersebut tidak lain dilatarbelakangi karena adanya gesekan antara Amerika Serikat dengan Korea Utara pada Perang Korea yang terus berlanjut hingga saat ini. gesekan tersebut kemudian semakin diperparah dengan bergabungnya Korea Selatan ke dalam aliansi Amerika Serikat yang semakin membangun perasaan tidak aman bagi Korea Utara. Meskipun beberapa waktu lalu Korea Utara dibawah kepemimpinan Kim Jong-un mulai melakukan diplomasi internasional dengan Amerika Serikat mengenai perkembangan senjata nuklir, namun tetap saja diplomasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun.
Upaya Diplomasi Nuklir Korea Utara
Di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, Korea Utara memang secara terang-terangan menyatakan untuk menggunakan senjata nuklir sebagai alat tawar dalam diplomasi internasionalnya. Hal tersebut terlihat dari pertemuan tingkat tinggi antar petinggi Korea Selatan di Pyongyang pada Maret 2018 lalu. Dalam pertemuan itu Kim Jong-un dengan lugas menyampaikan niatnya untuk melakukan pertemuan dengan Donald Trump, yang kala itu sedang menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Tidak disangka. Pernyataan Kim Jong-un kemudian menuai reaksi beragam dari berbagai pihak. Tidak sedikit juga dari mereka yang mengharapkan ajakan pertemuan ini akan diterima oleh Trump dan menjadi langkah baru untuk memulai denuklirisasi.