Mohon tunggu...
Aqeela Soraya
Aqeela Soraya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Aku anak sekolah

Hobiku membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kami Janji Nggak akan Rebutan Lagi Bunda

20 September 2024   16:33 Diperbarui: 20 September 2024   16:51 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat betul hari itu, ketika aku dan adikku, Rudi, terlibat dalam perkelahian kecil yang membuat bunda turun tangan.

Kami adalah anak kembar, yang katanya selalu berbagi segalanya. Mulai dari baju, sepatu, hingga makanan. Tapi, satu hal yang tak pernah bisa kami bagi dengan baik adalah HP. Aku dan Rudi hanya berbeda 5 menit, tapi dalam hal keinginan untuk menguasai segalanya, kami bisa dibilang jauh berbeda.

Pagi itu, Minggu pagi, suasana rumah sangat tenang. Mama sedang di dapur, sibuk memasak, sementara ayah sudah berangkat kerja lebih awal. Aku duduk di sofa ruang tamu, asyik dengan HP milik kami bersama. Satu HP untuk berdua, jelas tidak pernah menjadi ide yang bagus.

“Ra, sekarang giliranku,” suara Rudi menyusup ke telingaku. Ia duduk di sebelahku dengan tangan terentang, menunggu aku menyerahkan HP.

“Tunggu bentar,” jawabku, masih asyik bermain gim. “Aku belum selesai.”

Rudi menghela napas panjang. Aku bisa melihat wajahnya mulai memerah, tanda bahwa kesabarannya mulai habis.

“Kamu udah main dari tadi pagi. Sekarang giliranku!” katanya dengan nada yang mulai meninggi. Tangannya kini menarik lengan bajuku, mencoba mengambil HP itu dariku.

“Aku Cuma bentar lagi kok,” jawabku, mencoba mengulur waktu. Aku tahu, kalau aku menyerahkan HP ini sekarang, dia akan memainkan gim favoritnya, dan aku harus menunggu entah berapa lama sampai akhirnya bisa memegang HP lagi. Pikiran itu membuatku lebih erat memegang HP tersebut.

Rudi semakin kesal. Ia mencoba menarik HP dari tanganku, namun aku tidak mau kalah. Aku mengeratkan cengkeramanku dan menariknya kembali. Ini bukan soal bermain HP lagi, melainkan soal siapa yang lebih kuat dan lebih berhak. Kami terlibat dalam perang tarik-menarik yang memanas.

“Berhenti! Sekarang giliranku! Waktumu sudah habis Raya!” Rudi menjerit.

“Nggak! Aku masih main! Ketika hari Jumat kan kamu main sepuasnya!” balasku tak kalah keras.

Suara kami mulai menarik perhatian bunda yang sebelumnya sibuk di dapur. Ia menghampiri kami dengan spatula di tangan, wajahnya terlihat kelelahan dan kesal.

“Apa lagi ini?” tanya bunda seraya memijat kepalanya pening.

Bunda, Raya nggak mau gantian!” keluh Rudi, kali ini suaranya terdengar seperti anak kecil yang merengek.

 Aku langsung menyahut, “Aku belum selesai! Dia mau ngambil duluan!”

Bunda memijit keningnya lagi, tanda bahwa ia sudah muak dengan situasi ini. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya kami bertengkar karena HP. Setiap hari hampir sama. Aku dan Rudi selalu berselisih karena waktu bermain HP yang tak pernah cukup.

“Kalian ini apa nggak bisa berbagi dengan baik?” tanya bunda. Suaranya sedikit bergetar karena emosi yang ia tahan. “Sudah berapa kali bunda bilang, ada aturan main. Setiap kalian dapat giliran setengah jam. Kalau lebih dari itu, harus gantian.”

“Tapi Rudi udah main lama banget pas hari Jumat.” Sergahku tak terima.

“Emangnya kenapa?! Makanya, hari Jumat itu libur dong!” timpal Rudi cepat. Ia masih sempat memamerkan sekolahnya yang hari liburnya adalah hari jumat. Tapi, hari Minggu ia sekolah. Dikarenakan hari Minggu waktu itu disekolahnya ada acara, ia diperbolehkan libur.

Bunda menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi aku bisa melihat bahwa batas kesabarannya semakin tipis.

“Kalian berdua ini sudah besar. Kenapa nggak bisa menyelesaikan masalah seperti orang dewasa? Kalian harus belajar berbagi, bukan malah rebutan kayak gini terus,” suara bunda terdengar berat, penuh dengan kekecewaan. “Kalau begini terus, Bunda ambil saja HP-nya, biar kalian nggak ada yang main HP satu pun.”

Ucapan itu membuatku dan Rudi terdiam. Kami berdua sama-sama takut kalau HP itu benar-benar akan diambil, dan kami tidak bisa main lagi. Tapi aku masih kesal. Kesal karena Rudi selalu merasa punya hak yang lebih atas HP itu.

 Kami memang kembar, tapi aku sering merasa bahwa ia selalu lebih diutamakan hanya karena ia lahir terakhir. Sementara aku, yang lahir lebih dulu, selalu dianggap harus mengalah

Aku menatap bunda, berharap ada cara lain untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, ia hanya menggeleng, sudah lelah menghadapi kami.

“Bunda nggak peduli siapa yang benar atau salah. Yang penting sekarang, kalian berdua duduk, tenang, dan pikirkan gimana caranya berbagi tanpa berkelahi,” perintah bunda sebelum kembali ke dapur.

Keheningan menyelimuti kami sejenak. Rudi duduk dengan tangan bersilang di dadanya, masih merajuk. Sementara aku, masih memegang HP, merasa sedikit bersalah tapi juga tidak ingin kalah.

“Ini gara-gara kamu,” gumam Rudi dengan nada tajam.

“Apa? Ini jelas-jelas salah kamu! Kamu selalu merasa lebih berhak!” balasku.

“Karena aku anak bungsu! Harusnya kamu yang ngalah,” jawabnya dengan tegas.

Pernyataan itu membuat emosiku meningkat. Rasanya aku ingin membalasnya dengan sesuatu yang lebih tajam, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menahanku. Mungkin karena lelah bertengkar, atau mungkin karena aku tahu, di balik semua ini, Rudi juga merasakan hal yang sama denganku. Bahwa kami selalu merasa harus bersaing.

“Kenapa kita berkelahi terus soal HP?” tanyaku tiba-tiba, suaraku melembut. Aku tidak mengerti kenapa pertanyaan itu keluar, tapi sejujurnya, aku memang penasaran. Kenapa hal sekecil ini bisa membuat kami begitu keras kepala?

Rudi menoleh padaku, raut wajahnya melembut. “Karena kamu selalu nggak adil,” jawabnya lirih.

Aku terdiam. Selama ini, aku selalu merasa bahwa Rudi yang tidak adil. Tapi sekarang, mendengarnya mengatakan hal yang sama membuatku berpikir ulang. Mungkin, kami berdua sama-sama tidak adil. Kami sibuk memperjuangkan kepentingan masing-masing tanpa benar-benar memikirkan satu sama lain.

“Aku nggak mau kita begini terus,” kataku akhirnya, seraya menundukkan kepala.

Rudi mengangguk pelan. “Aku juga nggak mau. Aku capek berantem terus sama kamu.”

Keheningan menyelimuti kami lagi, kali ini terasa lebih ringan. Akhirnya, aku mengulurkan HP itu ke arahnya.

“Kamu duluan deh. Aku bisa nunggu,” kataku dengan berat hati, tapi juga dengan perasaan lega. Mungkin, inilah saatnya aku belajar mengalah.

Rudi tampak terkejut mendengar tawaranku. Matanya membelalak, seolah tak percaya aku benar-benar menawarkan HP kepadanya tanpa perlawanan.

Namun, aku bisa melihat ada kebingungan dalam tatapannya, seperti ia merasa aneh dengan kebaikan yang tiba-tiba muncul dari diriku.

“Kamu serius?” tanyanya, suaranya agak ragu.

Aku mengangguk, mencoba tersenyum meskipun rasanya sedikit canggung. “Iya, aku serius.”

Dia meraih HP dari tanganku dengan gerakan hati-hati, seolah takut kalau aku berubah pikiran dan tiba-tiba menariknya kembali. Tapi aku tetap diam, membiarkannya memegang HP itu. Ada perasaan hangat yang mulai merayap dalam diriku, sebuah perasaan lega karena akhirnya aku bisa mengalah tanpa merasa kalah.

Rudi menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Makasih Ra,” ucapnya dengan tulus. Itu pertama kalinya dalam beberapa waktu aku mendengar suara lembut darinya, tanpa nada marah atau kesal.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum balik. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, pertengkaran kami tentang HP berakhir tanpa drama yang lebih besar.

Kami duduk bersebelahan di sofa, diam-diam menikmati waktu masing-masing. Rudi mulai memainkan gim di HP, sementara aku bersandar ke sandaran sofa, menikmati momen tenang yang jarang terjadi.

 Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Aku dan Rudi sama-sama tahu bahwa meskipun kami kembar, kami sering merasa seperti dua orang yang berbeda. Tapi mungkin, perbedaan itulah yang membuat kami lebih kuat—karena di balik semua pertengkaran dan perbedaan, kami tetap saudara, tetap saling mendukung di saat yang tepat.

Tak lama kemudian, bunda kembali dari dapur dengan wajah yang lebih tenang. Melihat kami duduk bersama tanpa berkelahi, ia tersenyum lelah tapi puas.

“Nah, gitu dong,” katanya sambil menyeka tangannya dengan lap. “Bunda nggak mau lihat kalian berdua terus ribut soal HP lagi. Kalau bisa dibicarakan baik-baik, kenapa harus berkelahi?”

Aku dan Rudi saling bertukar pandang. Kami sama-sama tahu bunda benar. Terkadang, hal kecil seperti giliran bermain HP bisa menjadi sumber konflik yang tidak perlu jika kami tidak belajar mengatasi perbedaan dengan kepala dingin.

“Maaf, bun,” ucap Rudi, mendahului aku.

Aku mengangguk, ikut meminta maaf. “Iya, bunda. Kami janji nggak akan rebutan lagi.”

Bunda mengangguk puas, lalu duduk di kursi sebelah kami. “Bunda ngerti, kalian masih belajar. Tapi coba lebih sabar lagi, ya? Semua masalah pasti ada solusinya kalau kalian mau bicara baik-baik.”

Kami hanya mengangguk lagi, merasa sedikit malu tapi juga lega. Kejadian Minggu pagi itu memberi pelajaran penting—bahwa terkadang, solusi terbaik bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tapi tentang bagaimana kami bisa saling memahami dan mengalah demi kebersamaan.

Saat bunda kembali ke dapur, aku melirik Rudi yang masih asyik dengan HP. Sekilas, aku merasa bangga pada diriku sendiri karena bisa menahan diri kali ini.

 Mungkin, inilah tanda bahwa kami benar-benar mulai dewasa, meskipun hanya sedikit demi sedikit. Dan mungkin, dengan belajar lebih sabar, kami bisa lebih sering berbagi, bukan hanya soal HP, tapi juga soal perasaan, perhatian, dan waktu.

Hari itu, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa konflik kecil kami soal HP justru menjadi momen yang mengajarkan kami sesuatu yang lebih besar: tentang arti kebersamaan, pengertian, dan kasih sayang sebagai saudara kembar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun