10 Desember 2024, untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Suara 3 Zaman menyelenggarakan diskusi publik yang bertempat di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) Yogyakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Sukinah, atau yang kerap disapa dengan “Yu Sukinah,” sebagai saksi atas matinya keadilan HAM di Indonesia. Sukinah bukan hanya petani biasa dari Pegunungan Kendeng Utara, melainkan simbol perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan negeri ini. Pada kesempatan tersebut, Sukinah menceritakan perjuangannya bersama perempuan setempat dalam menghadapi realitas pahit di Indonesia.
Perjuangan Melawan Pabrik Semen
Sukinah memulai perjuangannya pada tahun 2013 bersama sekitar 80 perempuan dari desanya. Mereka menentang pendirian pabrik semen di wilayah mereka karena pabrik tersebut merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat. Sukinah menyatakan bahwa keberadaan pabrik semen diwilayahnya menyebabkan udara menjadi kotor dan lahan pertanian, yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat, dikeruk untuk kepentingan perusahaan semen.
Ketika peletakan batu pertama pabrik semen dilakukan, Sukinah dan perempuan lainnya menghadang di pintu masuk lokasi pembangunan. Mereka bermaksud menyuarakan keresahan atas dampak pembangunan pabrik tersebut. Namun, alih-alih didengar, mereka justru dihadapkan oleh aparat bersenjata lengkap, termasuk TNI, polisi, dan Brimob. Mereka juga mencoba melapor kepada Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah kala itu, tetapi justru mendapatkan respons, “Apakah sudah membaca AMDAL-nya?” Masyarakat yang tidak akrab dengan istilah itu hanya memahami bahwa AMDAL berarti pacul dan lahan. Adegan ini memperlihatkan ketimpangan kuasa antara rakyat kecil dan penguasa.
Tidak hanya menghadang di depan pintu masuk pabrik, Sukinah dan perempuan lainnya juga mendirikan tenda perjuangan di lokasi selama dua tahun sepuluh bulan sebelum tenda itu akhirnya dibakar oleh orang tak dikenal. Ancaman aparat berbunyi, “Jikalau ada satu saja laki-laki di situ, akan saya tembak di tempat.” Ancaman tersebut membuat para perempuan ketakutan, menangis, dan hanya bisa berdoa untuk keselamatan masing-masing. Bagaikan air susu dibalas air tuba, perlawanan damai mereka dibalas dengan intimidasi. Hal ini mencerminkan bagaimana negara lebih mementingkan kepentingan korporasi dibandingkan hak hidup rakyatnya.
Ketidakadilan yang Berlapis
Setelah tenda perjuangan dibakar dan muncul ancaman nyawa, Sukinah dan perempuan lainnya melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Namun, bukannya perlindungan yang didapat, mereka justru dihadang oleh massa pro-pabrik semen. Bahkan, wartawan yang meliput kejadian tersebut menjadi korban kekerasan dan sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.
Ketidakadilan serupa juga dialami oleh teman-teman Sukinah di Kabupaten Blora. Ketika masyarakat memprotes pencemaran udara oleh PT KRI, mereka justru mendapat respons kekerasan dari aparat. Dua warga ditusuk, sementara 23 orang lainnya ditangkap, meskipun akhirnya dua di antaranya yang masih di bawah umur, dipulangkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa ketidakadilan sering kali terjadi secara sistematis dan berlapis, melibatkan korporasi, aparat negara, dan sistem hukum yang timpang.
Harapan Besar di Tengah Gelap
“Kami hanya ingin keadilan,” ucap Sukinah. Harapan sederhana ini menjadi sesuatu yang terasa mahal di negeri ini. Namun, Sukinah tidak menyerah. Ia meminta dukungan dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa, untuk terus menyuarakan ketidakadilan yang terjadi. “Kita menginjak bumi yang sama, kita menghirup udara yang sama. Jangan sampai suara kami dibungkam,” ujarnya penuh harap.
Kisah Sukinah adalah potret nyata bagaimana pelanggaran HAM tidak hanya terjadi melalui kekerasan fisik, tetapi juga melalui perampasan hak atas lingkungan yang bersih, hak atas rasa aman, dan hak untuk menyuarakan pendapat. Perjuangannya menunjukkan bahwa rakyat kecil sering kali harus berhadapan dengan kekuatan besar yang melibatkan korporasi, aparat negara, dan sistem hukum yang timpang.