Mohon tunggu...
Apsari Jacinda
Apsari Jacinda Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa akuntansi universitas airlangga

membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Love

Pengaruh Toxic Relationship terhadap Kesehatan Mental Remaja

13 Juni 2022   15:30 Diperbarui: 13 Juni 2022   15:31 3183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa remaja adalah masa ketika kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efektif mencapai puncaknya. Kemudian, dengan daya nalar baru, seseorang dapat membuat penilaian atas perdebatan tentang tema-tema abstrak manusia, kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan keadilan. 

Tentunya sebagai makhluk sosial, remaja ingin memenuhi kebutuhannya untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain. Hubungan yang terjalin sangat beragam, dari yang paling dekat yaitu keluarga, dengan rekan kerja, dan dengan pasangan atau pacar. Selain berkomunikasi dengan orang lain, menjalin hubungan romantis dengan seseorang adalah suatu keharusan bagi setiap manusia.

Beberapa orang berpikir bahwa hubungan antara seorang pria dan seorang wanita adalah hubungan yang indah seperti di film-film, yang terlihat romantis tanpa adanya kasus kekerasan yang terlibat di dalamnya. 

Akan tetapi, kenyataannya hal manis seperti yang ada di film-film tersebut tidak dapat dirasakan oleh beberapa pasangan. Kekerasan dalam hubungan mungkin terjadi, terutama pada masa remaja akhir. Jika tidak dipahami dan disikapi, kekerasan ini akan berbuntut ke tahap perkawinan. 

Kekerasan dalam hubungan ini biasa dikenal dengan "Toxic Relationship". Toxic relationship adalah hubungan yang tidak sehat antara dua orang di mana satu pihak merasa tertekan oleh tindakan pihak lain yang dapat merusak secara emosional dan fisik. 

Kekerasan yang terjadi pada hubungan asmara adalah masalah serius bagi para remaja. Hal ini disebabkan karena banyaknya pengaruh negatif dalam kehidupan yang dialami para remaja yang timbul akibat dari kekerasan dalam hubungan asmara. 

Selain dampak fisik seperti kerusakan yang terlihat jelas, terdapat pula dampak terhadap kesehatan mental remaja, khususnya kesejahteraan psikologis. 

Dampak yang paling umum terjadi pada korban kekerasan dalam menjalin hubungan asmara adalah penurunan harga diri, peningkatan tanda-tanda depresi, panik berlebihan, ketakutan, reaksi kebencian, gejala somatik seperti perubahan berat badan, penurunan kesehatan mental, sakit kepala dan gugup atau pusing, hubungan beracun,dan gejala disosiatif seperti syok, penolakan, penarikan diri, kebingungan, dan kelumpuhan psikologis (Wiwit, 2018). 

Hasil penelitian yang telah saya lakukan melalui melalui kuesioner yang disebarkan melalui Google Research Distributed Forms dan mendapatkan jumlah subjek sebanyak 36 orang. 

Menunjukkan bahwa remaja yang terjebak dalam toxic relationship mengalami penurunan harga diri, penurunan masalah kesehatan mental, dan berujung pada gejala depresi, kecemasan, ketakutan dan kebencian yang mendalam.

Menurut mereka yang masih mempertahankan toxic relationship ini, mereka memiliki anggapan bahwa pasangannya dapat berubah. 

Para remaja yang masih bertahan ini bahkan telah kehilangan jati dirinya karena untuk memenuhi tuntutan dari pasangan sehingga hilangnya rasa bahagia dalam hidup yang menyebabkan penurunan kesehatan mental.

Ini berarti bahwa mempertahankan hubungan yang beracun dapat menyebabkan kerusakan yang besar pada kesehatan mental remaja.

Untuk mengatasi hal ini, layanan perencanaan dan/atau penjadwalan individual diperlukan guna membantu individu memenuhi kebutuhan yang dianggap signifikan saat ini dan terkait dengan perencanaan berdasarkan pemahaman tentang masa yang akan datang. 

Alasan pemberian layanan respon dan/atau layanan perencanaan individu adalah karena layanan tersebut dibutuhkan oleh orang-orang yang sedang mengalami masalah serius dalam hidupnya,sehingga di kemudian hari individu tersebut dapat mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan seorang konselor (Farhat, 2015).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun