Perjalanan sebuah buku untuk sampai ke tangan setiap pembacanya pasti punya cerita masing-masing. Buku "Pasukan Buzzer" karya Chang Kang-Myoung, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, juga punya cerita tersendiri sampai kepada saya.Â
Berawal dari sebuah email yang dikirimkan oleh Gramedia, berisi tantangan menjadi pengulas buku, saya membeli buku ini. Beberapa orang membaca baru menulis ulasan, sementara saya mengalami hal sebaliknya. Â
Selama beberapa waktu menunggu, saya merenungkan informasi apa yang sudah saya miliki sehubungan dengan isu pasukan buzzer, yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pendengung. Bisa dibilang kata ini asing dan tak asing bagi saya.Â
Saya mungkin asing dalam pengalaman karena rasanya tidak pernah secara langsung berinteraksi dengan pendengung. Namun secara pengetahuan rasanya tidak kosong-kosong amat.Â
Dua buku yang ditulis oleh Agus Sudibyo yang berjudul Jagat Digital dan Tarung Digital, membuat kesadaran saya akan fenomena ini pun muncul.
Sudibyo dalam Jagat Digital menyinggung bagaimana negara adidaya seperti Amerika ternyata juga pernah berurusan dengan para pendengung, tepatnya pada pemilihan presiden 2016 lalu.
Intervensi pasukan buzzer diyakini memberikan pengaruh terhadap kemenangan Donald Trump dari partai Republik dan terdelegitimasinya Hillary Clinton yang diusung partai Demokrat.Â
Dalam buku kedua yang berjudul Tarung Digital, Sudibyo secara lebih mendalam menjabarkan bagaimana propaganda komputasional telah menjadi fenomena global.Â
Ia mengatakan bahwa propaganda yang membenarkan muslihat, manipulasi, dan penyebaran kebencian itu telah terjadi di berbagai negara, seperti Amerika, Uni Eropa, Kanada, Perancis, Spanyol, Ukraina, India, dan banyak negara lainnya tidak terkecuali Indonesia. Dua buku ini semakin memotivasi saya membaca karya Chang Kang-Myoung.
Di awal saya kira buku ini tidak berbeda dengan buku karya Sudibyo, dalam arti genre buku ini mungkin non-fiksi. Tanpa diduga, buku ini ternyata adalah karya fiksi.Â
Sempat muncul keraguan apakah sebuah karya fiksi mampu memberikan sumbangsih bagi isu ini. Bagaimanapun saya telah berekspektasi akan dikenyangkan dengan teori-teori baru atau analisis yang lebih menyegarkan karena buku itu ditulis dalam konteks negara-bangsa Korea.Â
Meski tidak sesuai dengan ekspektasi saya, Â buku bertebal hampir 290 halaman yang terbagi dalam sembilan bab ini, ternyata memiliki taji tersendiri untuk memuaskan saya sebagai pembaca.Â
Membaca Pasukan Buzzer seperti menyusuri lahan penuh ranjau. Penulis cerdik menanam ranjau kejutan dengan jenis dan level ledakan yang berbeda. Jika satu ranjau lolos meledak masih ada ranjau lain yang siap mengejutkan pembaca.
Salah satu hal yang memukau saya adalah bagaimana Chang Kang-Myoung memanfaatkan bentuk verbatim dalam karyanya. Percakapan Chatatkat, satu dari tiga anggota tim Aleph, pasukan buzzer dalam novel ini, saat membongkar strategi dan trik-trik timnya kepada seorang wartawan dituliskan Chang Kang-Myoung dalam bentuk potongan-potongan verbatim.Â
Tentu verbatim bukanlah suatu yang asing bagi Chang Kang-Myoung, yang berlatar belakang sebagai reporter selama sebelas tahun. Namun bagaimana ia secara taktis menggunakan bentuk tersebut, piawai menyerbarkannya di sepanjang novel, lihai melengkapinya dengan narasi di beberapa bagian, ternyata mampu memberikan sensasi seakan-akan saya sebagai pembaca ada di sana ketika Chatatkat membuka setiap trik-triknya.
Berimajinasi lebih jauh, seandainya saya adalah salah satu warga internet yang dimaksud dalam percakapan tersebut membuat beberapa respon muncul dalam diri saya. Pertama, saya tertarik dengan percakapan tersebut, karena setiap informasi membuat saya menjadi lebih waspada, berharap saya tidak akan masuk pada perangkap yang sama.Â
Respon lain, saya merasa marah dan bodoh, karena ternyata saya tidak berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah masuk dalam perangkap yang sengaja dipasang.Â
Namun bisa jadi saya berbesar hati dan berempati kepada diri sendiri bahwa sesungguhnya itu tak sepenuhnya kesalahan saya, toh saya seakan sudah diarahkan, perilaku saya telah diprediksi dan dianalisa sedemikian rupa.Â
Terakhir, saya merasa putus asa dan tak berdaya, menyadari bahwa ada tangan-tangan tidak terlihat di sekitar saya yang telah mengatur hidup saya.Â
Dan saya bertanya apakah sesungguhnya saya masih memiliki kehendak bebas akan diri saya sendiri, apakah perilaku saya sepenuhnya berada dalam kendali saya, bisa jadi saya hanya pion-pion kecil dalam skema yang lebih besar yang diatur oleh orang-orang yang lebih berkuasa.
Selain terkejut oleh kepiawaian penulis memanfaatkan verbatim, kejutan lain adalah kejelian penulis mengamati perilaku-perilaku yang umum dilakukan oleh para pengguna internet, meramunya dengan isu-isu faktual yang viral di masyarakat dan mengubah semua itu dalam sebuah karya fiksi yang menarik.Â
Dalam salah satu bagian diceritakan bagaimana tim Aleph berhasil menghancurkan satu situs komunitas internet, yang merupakan forum diskusi yang mewadahi pemikiran kritis anggota forum terhadap isu sosial, hanya dengan memanfaatkan kebiasaan orang berkomentar terhadap satu unggahan.Â
Atau gagalnya sebuah film mendapat apresiasi dan atensi dari masyarakat hanya karena sebuah cerita bohong yang tidak diverifikasi. Penulis seakan  menempatkan tim Aleph sebagai devil's advocate yang menggugat perilaku-perilaku orang-orang di internet termasuk saya sebagai pembaca.
Satu poin lain yang harus diapresiasi dari karya Chang Kang-Myoung adalah plot yang tidak terduga dan ketegangan yang terus dibangun di sepanjang novel.Â
Penulis seakan menyuguhkan pecahan-pecahan puzzle yang terserak acak di awal novel. Meski dibuat bingung, penulis mampu membuat pembaca bertahan, terus menelusuri bagian-bagian yang tidak langsung terjawab hinga lembar demi lembar bukupun terlewati.
    Â
Meski saya begitu berharap buku ini bisa dibaca dan diapresiasi semua kalangan, sayangnya ini bukan bacaan yang tepat bagi remaja.ÂTopik pendengung memang relevan bagi remaja yang dalam novel digambarkan sebagai kelompok usia yang mudah diperdaya, namun gambaran-gambaran petualangan malam antara tiga tokoh cerita dengan para wanita penghibur justru memberikan efek yang negatif, entah itu dalam hal aktivitas seksual atau tentang sikap dan penghargaan terhadap perempuan.
Sebagaimana buku ini sampai kepada saya karena keputusan saya membuat ulasan. Semoga ulasan buku ini membawa orang lain kepada buku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H