[caption caption="Koreo bendera Palestina saat tumnas menjamu malaysia di solo. Sumber: CNN Indonesia"][/caption]
Kemenangan telak atas Malaysia menjadi kado indah kembalinya Timnas Sepakbola Indonesia ke kancah internasional setelah lepas dari pembekuan FIFA. Meski menang saya rasa tetap ada sejumlah ganjalan seperti kekurangan yang masih perlu diperbaiki, karena Thailand dan Filipina yang akan dihadapi di AFF nanti akan lebih kuat dari Malaysia yang lebih banyak membuat keasalahan sendiri.
Ganjalan lainnya adalah kesepakatan lucu pelatih timnas Alfred Riedl hanya boleh memanggil dua pemain saja di masing-masing klub ISC untuk persiapan dan pertandingan AFF Cup nantinya. Padahal dalam peraturan FIFA klub wajib melepas pemain untuk tim nasional berapapun jumlahnya saat FIFA Match Day seperti saat ujicoba dengan Malaysia kemarin, maka tak heran di hampir semua dunia ada jeda pertandingan internasional dimana liga lokal dihentikan sementara. Okelah AFF Cup tidak sepenuhnya masuk kalender FIFA, tapi tentu sulit untuk mengumpulkan pemain terbaik dan mencapai prestasi yang baik dengan aturan konyol macam ini.
Konon alasannya karena TSC yang dijalankan PT GTS sebagai kepanjangan tangan PSSI sudah kadung berjalan dan dijadwalkan selesai pada Desember beserta kontrak sponsor yang tidak bisa ditawar, maka timnas yang harus menyesuaikan karena TSC tidak bisa memberikan jeda buat timnas. Padahal TSC juga belum kompetisi resmi karena juara tidak akan masuk LCA, degradasi juga tidak ada. Lucunya untuk utusan PON, klub-klub mau melepas lebih banyak pemainnya dan bahkan TSC juga dihentikan sementara saat PON.
Padahal kita sama-sama tahu rangking FIFA Indonesia saat ini masih tercatat sebagai yang terburuk dalam sejarah PSSI karena timnas lama tidak melakukan pertandingan internasional, untuk mendongkrak rangking FIFA -yang sebetulnya penting untuk seeding kualifikasi Piala Asia atau Piala Dunia-. PSSI harusnya meniru Filipina yang rangking FIFA nya melesat menjauhi Indonesia karena rajin melalukan pertandingan internasional sebagai program federasinya, miris karena beberapa tahun yang lalu Filipina kita bantai dengan 13 gol di Piala Tiger. PSSI? jangankan menganggap penting perbanyak pertandingan internasional, malah mempersulit pelatih timnas mengumpulkan pemain terbaik.
Alfred Riedl juga malah sepakat-sepakat saja dengan aturan konyol ini. Entah, beberapa dari kita juga masih heran kenapa Alfred Riedl bisa kembali jadi pelatih timnas setelah sejumlah kegagalannya, mungkin karena memang masih bisa ditawar untuk menyepakati aturan konyol ini? entahlah.
Tapi mungkin juga hambatan dari PSSI dan klub-klub ISC ini bukanlah masalah bagi Riedl. Tahun 2006, Riedl pernah mengalami masalah yang lebih sulit dalam mengumpulkan pemain tim nasional, bukan PSSI atau klub bebal lagi yang jadi hambatan, tapi tentara Zionis Israel, ya sebelum melatih Vietnam, Laos, dan akhirnya Indonesia, Riedl memang menjadi pelatih Timnas Palestina saat mengarungi laga Pra Piala Dunia 2006. Bukan hal mudah menangani timnas di negara yang tengah berkonflik diduduki Israel, by the way federasi sepakbola dan timnas Palestina yang baru diakui FIFA pada tahun 1998 pelatih pertamanya justru berkewarganegaraan Israel, yaitu Azmi Nasser, Arab-Kristen asal Nazareth.
Perjuangan Riedl dan timnas Palestina saat itu diabadikan dalam sebuah film dokumenter Goal Dreams. Dalam film itu tergambar bagaimana kesulitan Riedl melatih dan mengumpulkan pemain di negara yang tengah dilanda konflik dan berbagai masalah lainnya. Seperti masalah perbedaan bahasa dan budaya dari para pemain Palestina, karena selain diisi pemain lokal yang bermain di dua liga dan tempat yang berbeda, Gaza dan Tepi Barat, pemainnya juga berasal dari pesepakbola keturunan Palestina di Eropa, AS, dan Amerika Latin. Selain itu Riedl juga harus dipusingkan tempat pertandingan dan pemusatan latihan tidak bisa bertempat di Palestina karena alasan keamanan dan akhirnya dilakukan di Mesir.
Meski dengan berbagai kesulitan yang menghadang, Riedl dinilai cukup sukses mengembangkan permainan Palestina di dua pertandingan awal saat mengalahkan Taiwan 8-0 dan menahan Irak 1-1. Masalah muncul di pertandingan ketiga saat mereka harus away ke Uzbekistan, pemerintah Israel melarang para pemain yang berasal dari Gaza melintasi perbatasan Rafah, sehingga Alfred Riedl tidak bisa memainkan hampir setengah skuad yang dipilihnya, dan pada pertandingan sisa Palestina di kualifikasi mengalami kekalahan.
Jadi mungkin bagi Riedl kelakuan PSSI dan klub-klub TSC ini belum ada apa-apanya dibanding kelakuan pemerintah Zionis yang pernah dihadapinya. Masih beruntung pemain yang tidak bisa keluar Gaza untuk bertanding, beberapa pemain timnas Palestina di masa lainnya bahkan ada yang sampai dipenjara Israel hingga dibunuh. PSSI harusnya bersyukur ada di negara damai jadi janganlah menghalangi pemanggilan pemain untuk timnas.
Tapi serius, dengan kondisi persepakbolaan Indonesia yang tengah terpuruk, PSSI harus benar-benar memikirkan bagaimana timnas banyak melakukan pertandingan internasional resmi memanfaatkan FIFA Match Day tentunya dengan mensingkronkan jadwal pertandingan tersebut dengan liga lokal yang perlu diliburkan.
Jangan ulangi kesalahan lama seperti keledai, jadwal timnas dan liga harus benar-benar dijadwalkan pada awal tahun atau awal musim. Dengan siapa timnas bertanding harus diupayakan jauh-jauh hari dan berapa lama pula jeda kompetisi diberikan. Jumlah 18 klub itu terlalu banyak bagi Indonesia yang wilayahnya luas dan profesiobalitas klubnya masih rendah -terutama soal finansial-, jadi menurut saya kompetisi tertinggi kita junlah pesertanya harus dikurangi.
Jangan samakan dengan kompetisi negara Eropa yang luas wilayahnya lebih kecil dan bisa dijangakau naik bis atau kereta saja, timnas di Eropa juga terbiasa latihan timnas yang pendek berbeda dengan kita yang masih biasa pelatnas jangka panjang. Belum lagi kompetisi liga kita harus sering diliburkan untuk Pilkada, Pilpres, Puasa, Peringatan hari buruh, dll. Sangat tidak masuk akal kalau klub-klub sekedar mau eksis dan pengelola liga tetap memaksakan liga 18 klub demi mencontek Eropa.
Saran saya kurangilah peserta liga berdasarkan nilai profesionalitasnya sejumlah 12 atau 14 saja, sisanya dibuatkan kompetisi baru yang statusnya semi profesional dibawah ISC dan diatas Divisi Utama. Kompetisi ini jadi kasta kedua yang tidak begitu jauh kualitasnya dengan kasta tertinggi, dan klubnya juga tidak terlalu banyak seperti DU.
Divisi Utama saat ini statusnya amatir karena banyak klubnya yang tidak mampu secara finansial, tapi harus diakui beberapa manajemennya sudah baik perlu dilakukan penilain lisensi profesional pada klub-klub Divisi Utama yang boleh bermain di level kedua. Jangan lucu seperti saat ini, sehabis main di liga amatir tiba-tiba bisa langsung ke liga profesional kasta tertinggi.
Atau solusi lainnya liga dengan dua wilayah, baca tulisan saya lainnya: Liga Sepak Bola Satu Wilayah Tidak Tepat untuk Indonesia
Jumlah tim di kasta tertinggi yang sedikit bukan berarti mengurangi kualitas, selain jadwal untuk timnas yang lebih bisa dioptimalkan. Beberapa liga terbaik di Asia jumlah klubnya tidak banyak-banyak seperti Australia hanya 10, Korsel hanya 12, UAE dan Qatar hanya 14, China-Saudi-Iran hanya 16. Tapi klub yang tampil benar-benar profesional sehingga kualitas liganya sangat baik. Tidak seperti di Indonesia yang asal rame -entah untuk kepentingan politik atau bagaimana-, kualitas klub dan liga diabaikan sehingga sepakbola kita tidak maju-maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H