Mohon tunggu...
Anas Apriyadi
Anas Apriyadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hanya karyawan swasta yang suka baca. ~menulis menyehatkan jiwa~

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

PSSI dan Zionis yang Menyusahkan Riedl

8 September 2016   16:21 Diperbarui: 8 September 2016   16:30 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Koreo bendera Palestina saat tumnas menjamu malaysia di solo. Sumber: CNN Indonesia"][/caption]

Kemenangan telak atas Malaysia menjadi kado indah kembalinya Timnas Sepakbola Indonesia ke kancah internasional setelah lepas dari pembekuan FIFA. Meski menang saya rasa tetap ada sejumlah ganjalan seperti kekurangan yang masih perlu diperbaiki, karena Thailand dan Filipina yang akan dihadapi di AFF nanti akan lebih kuat dari Malaysia yang lebih banyak membuat keasalahan sendiri.

Ganjalan lainnya adalah kesepakatan lucu pelatih timnas Alfred Riedl hanya boleh memanggil dua pemain saja di masing-masing klub ISC untuk persiapan dan pertandingan AFF Cup nantinya. Padahal dalam peraturan FIFA klub wajib melepas pemain untuk tim nasional berapapun jumlahnya saat FIFA Match Day seperti saat ujicoba dengan Malaysia kemarin, maka tak heran di hampir semua dunia ada jeda pertandingan internasional dimana liga lokal dihentikan sementara. Okelah AFF Cup tidak sepenuhnya masuk kalender FIFA, tapi tentu sulit untuk mengumpulkan pemain terbaik dan mencapai prestasi yang baik dengan aturan konyol macam ini.

Konon alasannya karena TSC yang dijalankan PT GTS sebagai kepanjangan tangan PSSI sudah kadung berjalan dan dijadwalkan selesai pada Desember beserta kontrak sponsor yang tidak bisa ditawar, maka timnas yang harus menyesuaikan karena TSC tidak bisa memberikan jeda buat timnas. Padahal TSC juga belum kompetisi resmi karena juara tidak akan masuk LCA, degradasi juga tidak ada. Lucunya untuk utusan PON, klub-klub mau melepas lebih banyak pemainnya dan bahkan TSC juga dihentikan sementara saat PON.

Padahal kita sama-sama tahu rangking FIFA Indonesia saat ini masih tercatat sebagai yang terburuk dalam sejarah PSSI karena timnas lama tidak melakukan pertandingan internasional, untuk mendongkrak rangking FIFA -yang sebetulnya penting untuk seeding kualifikasi Piala Asia atau Piala Dunia-. PSSI harusnya meniru Filipina yang rangking FIFA nya melesat menjauhi Indonesia karena rajin melalukan pertandingan internasional sebagai program federasinya, miris karena beberapa tahun yang lalu Filipina kita bantai dengan 13 gol di Piala Tiger. PSSI? jangankan menganggap penting perbanyak pertandingan internasional, malah mempersulit pelatih timnas mengumpulkan pemain terbaik.

Alfred Riedl juga malah sepakat-sepakat saja dengan aturan konyol ini. Entah, beberapa dari kita juga masih heran kenapa Alfred Riedl bisa kembali jadi pelatih timnas setelah sejumlah kegagalannya, mungkin karena memang masih bisa ditawar untuk menyepakati aturan konyol ini? entahlah.

Tapi mungkin juga hambatan dari PSSI dan klub-klub ISC ini bukanlah masalah bagi Riedl. Tahun 2006, Riedl pernah mengalami masalah yang lebih sulit dalam mengumpulkan pemain tim nasional, bukan PSSI atau klub bebal lagi yang jadi hambatan, tapi tentara Zionis Israel, ya sebelum melatih Vietnam, Laos, dan akhirnya Indonesia, Riedl memang menjadi pelatih Timnas Palestina saat mengarungi laga Pra Piala Dunia 2006. Bukan hal mudah menangani timnas di negara yang tengah berkonflik diduduki Israel, by the way federasi sepakbola dan timnas Palestina yang baru diakui FIFA pada tahun 1998 pelatih pertamanya justru berkewarganegaraan Israel, yaitu Azmi Nasser, Arab-Kristen asal Nazareth.

Perjuangan Riedl dan timnas Palestina saat itu diabadikan dalam sebuah film dokumenter Goal Dreams. Dalam film itu tergambar bagaimana kesulitan Riedl melatih dan mengumpulkan pemain di negara yang tengah dilanda konflik dan berbagai masalah lainnya. Seperti masalah perbedaan bahasa dan budaya dari para pemain Palestina, karena selain diisi pemain lokal yang bermain di dua liga dan tempat yang berbeda, Gaza dan Tepi Barat, pemainnya juga berasal dari pesepakbola keturunan Palestina di Eropa, AS, dan Amerika Latin. Selain itu Riedl juga harus dipusingkan tempat pertandingan dan pemusatan latihan tidak bisa bertempat di Palestina karena alasan keamanan dan akhirnya dilakukan di Mesir.

Meski dengan berbagai kesulitan yang menghadang, Riedl dinilai cukup sukses mengembangkan permainan Palestina di dua pertandingan awal saat mengalahkan Taiwan 8-0 dan menahan Irak 1-1. Masalah muncul di pertandingan ketiga saat mereka harus away ke Uzbekistan, pemerintah Israel melarang para pemain yang berasal dari Gaza melintasi perbatasan Rafah, sehingga Alfred Riedl tidak bisa memainkan hampir setengah skuad yang dipilihnya, dan pada pertandingan sisa Palestina di kualifikasi mengalami kekalahan.

Jadi mungkin bagi Riedl kelakuan PSSI dan klub-klub TSC ini belum ada apa-apanya dibanding kelakuan pemerintah Zionis yang pernah dihadapinya. Masih beruntung pemain yang tidak bisa keluar Gaza untuk bertanding, beberapa pemain timnas Palestina di masa lainnya bahkan ada yang sampai dipenjara Israel hingga dibunuh. PSSI harusnya bersyukur ada di negara damai jadi janganlah menghalangi pemanggilan pemain untuk timnas.

Tapi serius, dengan kondisi persepakbolaan Indonesia yang tengah terpuruk, PSSI harus benar-benar memikirkan bagaimana timnas banyak melakukan pertandingan internasional resmi memanfaatkan FIFA Match Day tentunya dengan mensingkronkan jadwal pertandingan tersebut dengan liga lokal yang perlu diliburkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun