Penulis :
Dosen Pengampu : Dr. Ira Alia maerani, S.H.,M.H.
Aprita Putri Fadila (Mahasiswi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, UNISSULA)
Hampir dua tahun dunia diselimuti pandemi Covid19. Kasusnya pun tidak kunjung usai. Walaupun sudah ditemukan vaksin namun belum menunjukkan data penuruan yang signifikan. Sebagai contoh  Amerika Serikat masih menduduki posisi negara teratas dengan penambahan COVID-19 harian sebanyak 88.491 kasus.Â
Sedangkan, Indonesia berada di urutan 70 dengan penambahan kasus harian sebanyak 400 kasus. Â Rusia pun menjadi Negara dengan penyumbang jumlah kematian tertinggi di dunia.
Diberbagai dunia pun banyak masalah yang timbul dari dampak pandemi Covid19. Di Indonesia sendiri, publik banyak mendapatkan kemadaratan saat sektor kesehatan dijadikan lahan bisnis.Â
Baru-baru ini para pengusaha di bidang kesehatan menilai, bahwa banyak para pelaku usaha kesehatan yang merasa terbebani dengan  harga eceran tertinggi (HET) tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) yang ditetapkan pemerintah Rp 275.000 (Jawa-Bali) dan Rp 300.000 (luar Jawa-Bali).
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H Teguh, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (13/11) mengungkapkan bahwa rumah sakit, klinik dan lab dapat dikategorikan terdesak. Jika tidak melakukan layanan, mereka akan ditutup, tapi kalau mereka melakukan maka akan buntung.
Disisi lain, Dyah Anggraeni, seorang pengusaha laboratorium, mengatakan berdasarkan simulasi yang dilakukan pihaknya dengan harga reagen open system sebesar Rp 96.000, harga PCR seharusnya di atas Rp 300.000. Tetapi, kata Dyah, pihaknya tetap melakukan layanan tes PCR dengan sejumlah efisiensi dan sistem subsidi silang dari layanan tes yang lain. (kumparan.com)
Jika kita melihat fakta diatas, negara haruslah memberikan jaminan  kesehatan bagi seluruh rakyatnya secara gratis. Rakyat pun membutuhkan peran negara dalam menangani kesehatan dan pengobatan Covid 19. Misalnya, tes covid 19 yang belum tentu semua rakyat Indonesia bisa memenuhinya secara mandiri. Bukan malah menjadikannya sebagai lahan bisnis. Dengan mengeksploitasi hajat dasar publik.
Negara seolah berlepas tangan akan tanggung jawabnya dalam memberikan layanan kesehatan. Keselamatan rakyat pun menjadi taruhannya. Tentu ini bukan menjadi hal yang tabu lagi di zaman kapitalis seperti sekarang ini. Rakyat pun harus mati-matian memikirkan nasib hidupnya sendiri. Negara justru hanya berpihak kepada kepentingan kelompok tertentu saja.Â
Dengan menyerahkannya kepada pihak  swasta dalam menjalankan kesehatan. Bagi para orang kaya akan mudah mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai. Berbeda bagi orang miskin, untuk makan saja tidak mampu, apalagi untuk membayar fasilitas kesehatan.
Begitu pun dengan para pelaku usaha dalam menentukan harga tes PCR. Jika mereka menjualnya dengan harga murah, tentu mereka tidak akan mendapatkan keuntungan. Sedang jika meraka menjualnya dengan harga mahal, rakyat pun penuh pertimbangan ketika membelinya. Begitulah fenomena di jaman kapitalisme yang sangat ambigu.
Ini sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dimana  dalam Islam,kesehatan merupakan hal yang sangat penting. Negara wajib menjamin kesehatan bagi seluruh rakyatnya.
Apalagi dalam kondisi wabah seperti sekarang ini. Peran negara sangat dibutuhkan dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaiknya. Sebagaimana sabda Rasulullah," Pemimpin negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." Â (HR. Bukhari)
Pada masa Rasulullah menjadi seorang khalifah, dan pada saat itu terjadi wabah, beliau mengingatkan,
 " "
"Tha'un (wabah penyakit menular) adalah peringatan dari Allah untuk menguji hamba-hambanya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu lari darinya." (HR.Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dan yang sehat agar penyakit yang dideritanya tidak menular kepada yang lain. Sebagaimana hadist : " Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Jika kita melihat dari dua hadist diatas, tentu penyebaran wabah Covid19 dapat dicegah dan diminimalisasi.
Begitupun pada masa kekhalifahan  'Abbasiyah . Salah seorang dokter yang juga merupakan ilmuwan bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi menjadi sosok yang berperan dalam perjuangan jaminan kesehatan di masa khilafah 'Abbasiyah.
Kepada murid-muridnya, ia mencoba meluruskan bahwa niat tulus seorang dokter adalah menyembuhkan orang sakit, yang lebih besar daripada niat untuk mendapatkan upah atau imbalan materi lainnya. Mereka diminta memberikan perhatian kepada orang fakir, sebagaimana orang kaya maupun pejabat negara. Mereka juga harus mampu memberikan motivasi kesembuhan kepada pasiennya, meski mereka sendiri tidak yakin. Karena kondisi fisik pasien banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya ('Abdul Mun'im Shafi, Ta'lim at-Thibb 'Inda al-Arab, hal. 279).
Inilah bukti bahwa Islam merupakan solusi praktis dalam menyelesaikan wabah. Dalam pelayanan kesehatannya, Islam tidak pandang bulu. Sebagaimana dicontohkan pada masa Rasulullah hingga kekhalifahan selanjutnya. Tidak rindukah kita akan kembalinya sistem Islam secara kaffah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H