Mohon tunggu...
Aprio Rabadi
Aprio Rabadi Mohon Tunggu... profesional -

Red Institute

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Punya Nama Besar

13 Juni 2014   06:17 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:57 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati menggalkan nama”. Tak pelak Soeharto sebagai sebuah nama terus menimbulkan pro dan kontra. Namanya terus menghiasi media massa berikut dengan segala kontroversinya. Muali dari kejatuhannya, sakitnya di RSPP, sampai kematiannya dan mungkin sampai hari kiamat namanya akan terus bergaung. Begitu berartikah punya nama besar?

“Nama besar” adalah sebuah parodi didalam kehidupan manusia, sejak dahulu kala orang yang mempunyai nama besar, tak lepas dari kehidupan ekonomi politik yang meterbelakangi kehidupannya, namun nama besar banyak di dapatkan justru setelah kematian si empunya nama.

Ada

yang mendapat nama besar karena maha karyanya, menemukan sesuatu atau punya referensi yang jelas yang akan membuat nama itu menjadi besar.

Kita dapat ambil satu cuntoh, Galileo adalah seorang yang mempunyai nama besar ketika di menemukan beberapa hukum alam, yang justru banyak ditentang sewaktu ia hidup, namun setelah dia mati, namnya banyak dipergunjingkan oleh para ahli ilmu alam, begitu juga Marx, siapsih yang kenal dengan nabinya kaum proletar ini, bahkan sewaktu dia meneinggal saja hanya beberapa orang yang hadir waktu pemakamannya. Siapa yang menyangka separuh abad kemudian ia begitu berpengaruh di dunia baik secara pemikiran maupun citra penokohan, bahkan mampu membagi dunia ini menjadi dua. Sekali lagi itu justru terjadi setelah ia meninggal.

Terlepas dari semua yang diatas untuk mempunyai nama besar memang bukan perkara mudah, seseorang butuh sebuah maha karya, hasil daya cipta, atau daya pikir yang diakui oleh khalayak ramai, justru yang menjadi persoalan adalah ketika dia telah mempunyai nama besar, hasil karya cipta, atau segala daya yang dia curahkan seakan tak perlu lagi dipertanyakan kehebatan karyanya tersebut. Seorang pelukis yang telah melukis puluhan kali dan menghasilkan sebuah maha karya yang dasyat diakui bayak pihak, maka otomatis hampir kalaupun tidak semua karya yang lain diakui pula kehebatannya.

Menurut banyak kaum posmoderen inilah yang disebut sebagai kematian objek, maka tak perlu lagi melihat apakah lukisan, cerita, ataupun hasil karya yang lain bagus tidaknya, karena sekali lagi dia sudah punya nama besar. Contohnya begini, perkataan seorang yang selama ini dikenal sebagai intelektual, profesor, rektor universitas ternama, dijamin pasti akan dipercayai kebenarannya ketika berhadapan dengan statmen seorang mahasiswa, walaupun dengan atas nama kebenaran dan keadilan sekalipun, si mahasiswa akan tetap dianggap salah.

Bisa dibayangkan ketika nama besar ini jatuh ke tangan “pendekar berwatak jahat” maka kesesattan kebenaran akan hadir diambang mata. Makanya kemudian untuk mempunyai nama besar bukan perkara gampang. Perkataan para tokoh, pemimpin, kyai, dan para pendeta maupun tokoh agama lain, yang telah mempunyai nama besar akan menjadi kunci dari satu peradaban bangsa, kemudian timbul akhirnya pertanyaan lama, akankah sejarah ditentukan atau dibentuk olah orang besar atau bisa dibuat, ditentukan setiap manusia di bumi ini ?. Bagaimana dengan almarhum Soeharto?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun