Mohon tunggu...
Aprinawati
Aprinawati Mohon Tunggu... Lainnya - belajar dan belajar

belajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan dalam Jemaat: Pendekatan Coaching

1 April 2022   21:15 Diperbarui: 1 April 2022   21:19 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              Nirmala Eka Maharani dalam tulisannya di tirto.id (29 Juli 2020) mengemukakan bahwa  64,3 % masyarakat Indonesia mengalamami cemas dan depresi, sedangkan 80 % mengalami trauma psikologis.[1] Tulisan Jawa Pos (6 Oktober 2021) mengatakan bahwa tingkat stress masyarakat Indonesia meningkat 75%, sebelum 73 % di tahun 2020.[2] Selanjutnya dikatakan bahwa  faktor utama penyebab stress di antara lain ketidakpastian di tengah pandemi dan kekhawatiran akan kondisi keuangan pribadi dan keluarga. Memang dampak pandemi secara global menghantam segala dimensi segi hidup manusia secara merata. 

Krisis kesehatan mental dan kerohanian dialami oleh jemaat-jemaat Tuhan, gereja, dunia pendidikan Kristen, dan lembaga-lembaga kristen lainnya. Pandemi tidak tebang pilih memilih, dampaknya ibarat tsunami yang menyapu hulu dan hilir, pangkat dan kedudukan, strata sosial masyarakat, usia, latar belakang, bahkan penganut agama manapun. Oleh karena itu gereja-gereja Tuhan sangat memiliki andil dan peran dalam mendidik kesehatan mental dan kerohanian anggota gerejanya.

Faktor-faktor yang menghalangi jemaat bertumbuh di dalam iman antara lain: a). Faktor external:  ibadah tatap muka yang dibatasi, kurangnya fasilitas teknologi yang dimiliki baik anggota jemaat maupun gereja itu sendiri, dsb. b) Faktor internal: suasana ibadah yang kehilangan soulnya karena di batasi oleh layar gadget/Tv, yang seyogianya ibadah adalah persekutuan orang-orang percaya, masalah pribadi bisa berupa finansial, pekerjaan, sekolah daring, kelelahan psikis, kekuatiran, depresi, putus asa, dan lainnya sebagainya. Faktor-faktor ini mempengaruhi jemaat Tuhan untuk bertumbuh dalam iman menuju kedewasaan iman yang kuat dan tanggung di tengah-tengah situasi yang tidak menentu.

Gereja sebagai instrumen Allah, yang dipakai-Nya untuk mendewasakan iman umat-Nya ikut merasakan dampak pandemi ini. Bila dulu, setiap orang menanti-menanti bertemu dengan saudara-saudara seiman, mendengarkan "suara penggembalaan" melalui Pendeta/Gembala, mendengarkan kesaksian-kesaksian berupa kesaksian pribadi, koor, vocal group, anak-anak Sekolah Minggu bertemu dengan Guru-guru Sekolah minggu bersama teman-teman seusia mereka, setiap jemaat bebas untuk berjabat tangan, berbicara santai satu sama lain, sekarang kegiatan-kegiatan seperti itu dibatasi demi kesehatan bersama. Bagaimana sikap gereja untuk mendewasakan iman jemaat Tuhan?  Pendekatan seperti apa yang diterapkan oleh gereja guna menolong jemaat-jemaat Tuhan yang krisis mental dan krisis kerohanian? Melalui tulisan saya ini, saya mengajak para pembaca untuk menggumuli suatu bentuk pelayanan melalui pendekatan coaching dalam pembinaan iman jemaat.

Apa perbedaan konseling dan coaching?  Yakub B Subsada[3] menjelaskan konseling Kristen adalah hubungan timbal balik antara dua individu (yakni konselor yang berusaha menolong atau membimbing dan klien yang membutuhkan bimbingan) dalam suasana percakapan yang serasi/tepat yang memungkinkan klien mengenali dirinya, mengerti apa yang sedang terjadi, mampu melihat dan menacapai tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggungjawabnya kepada Tuhan sesuai dengan kemampuan dan Talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Coaching[4] adalah: seni memberdayakan seseorang sehingga orang tersebut dapat mengalami proses pembelajaran, pertumbuhan pribadi, dan perbaikan kinerja. Coaching juga merupakan proses mobilisasi sumber daya, baik sumber daya internal maupun eksternal yang dimiliki coachee untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain coaching adalah proses pendewasaan seseorang melalui pemberdayaan diri sendiri untuk bertumbuh secara pribadi melalui sumber-sumber internal dan external yang dimiliki coachee itu sendiri. Dalam proses coaching, Pendeta/Gembala menolong coachee (jemaat Tuhan) untuk memaksimalkan pontesi/sumber daya yang ia miliki, sehingga jemaat Tuhan mampu menjelajah dan mengembangkan kedewasaan rohaninya lebih luas dan lebih dalam. 

Menurut Keith E. Weibb[5] ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika seorang coach menggunakan pendekatan coaching kepada coachee antara lain:

  •  Aturan 80/20, artinya: coachee berbicara,  80% coach mendengakan dan 20 % coach berbicara. Dalam proses ini, para Pendeta/Gembala menggembangkan skill mendengar, menahan diri untuk tidak terlalu banyak berbicara, namun membiarkan jemaat Tuhan mengeluarkan isi hatinya. Di sini, kita bersikap sebagai pendengar yang aktif.
  • Pertanyaan-pertanyaan klarifikasi. Kadang-kadang, kita cepat mengambil kesimpulan atau memberikan ide/hasil pengalaman/hasil pengamatan kita terhadap cerita seseorang. Seolah-olah kita sudah mengerti maksud coachee, namun sebenarnya maksud tersebut sangat berbeda dari perspektif coachee. Sikap ini akan membuat coach tidak mampu memahami cerita coachee secara utuh dan jelas. Oleh karena itu, coach hendaknya menggunakan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi untuk menolong kita memahami isi dan alur cerita secara utuh. Tidak ada unsur menghakimi yang ditujukan kepada coachee.
  • Tanyakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Jane Vella berkata: "Open questions are the single pure practise that invites critical thingking and effective learning." Dalam beberapa pelayanan Yesus, Ia memakai pertanyaan-pertanyaan kepada murid-murid-Nya atau kepada orang-orang yang mengikuti Dia. Yesus mendengarkan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Ahli-ahli Taurat (Luk. 2:46); Rancangan di dalam hati manusia itu seperti yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbangnya (Amsal 20:5). Coach membuka wawasan coachee dan coachee mengembangkan pikiran dan ide-idenya secara luas dan mendalam 
  • Tindak Lanjut. Coach menolong coachee untuk memikirkan langkah-langkah praktis apa yang coachee dapat dilakukan dalam menghadapi krisis hadapinya. Tindak lanjut ini harus SMART= Specific (spesifik), Measurable (terukur), Attainable (tercapai), Relevant (relevan), Time-limited (waktu terlaksana). Tindakan lanjut menolong coachee untuk bertanggung jawab dalam memikirkan dan mengeksekusi langkah-langkah praktis yang diambilnya, karena penentu coachee  keluar dari masa-masa krisisnya adalah dirinya sendiri.

Galileo Galilei berkata: "You cannot teach a person anything. You can only help them discover it within themselves." Saya pikir kita semua setuju dengan pendapat ini. Pendeta/Gembala sangat tidak mungkin mampu mengatasi semua masalah-masalah/krisis-krisis yang dihadapai anggota jemaat, satu-satunya orang yang bisa mengatasi masalahnya yakni anggota jemaat itu sendiri. Demikian juga dalam pendewasaan iman gereja, pendekatan coahing menolong Pendeta/Gembala memberdayakan anggota jemaat dalam proses menuju pendewasaan iman. Pendekatan coaching dalam pembinaan iman jemaat menyentuh 8 unsur keseimbangan hidup yakni: karir, keuangan, keluarga, hiburan, kesehatan, pengembangan diri, sosial dan rohani.[6] Peran Pendeta/Gembala sebagai "pematik" yang menggunakan seni bertanya kepada anggota jemaat, baik Pendeta/Gembala dan anggota jemaat membiarkan Allah yang menuntun keduanya. 

 Krisis-krisis mental dan kerohanian yang dihadapi oleh jemaat saat ini membutuhkan dukungan yang besar dari orang-orang yang dipercaya yakni Pendeta/Gembala. Proses coaching membantu baik Pendeta/Gembala sebagai coach dan anggota jemaat sebagai coachee bersama-sama bertumbuh dalam iman dan membiarkan Allah Roh Kudus bekerja di dalam dan melalui proses itu. Yohanes 14: 26 berkata: "Tetapi Penolong itu yaitu Roh Kudus yang akan diutus Bapa supaya Aku dimuliakan, Dialah yang akan mengajarkan kalian tentang segala sesuatu. Dan Dia akan mengingatkan kalian tentang semua yang sudah Aku ajarkan kepada kalian (TSI)

 

Sumber Rujukan:

[1] https://tirto.id/studi-sebut-depresi-stres-cemas-berlebihan-melonjak-saat-pandemi-fUor

[2] https://www.jawapos.com/kesehatan/06/10/2021/akibat-pandemi-tingkat-stres-masyarakat-indonesia-naik-jadi-75-persen/

[3] Yakub Subsada, Pelayanan Konseling Melalui Telepon (Yogyakarta: ANDI, 210) 101.

[4] https://transforma.id/pengertian-coaching-yang-perlu-anda-pahami/

Coach adalah Orang yang melakukan coaching, Coachee adalah: Orang yang menerima coaching.

[5] Keith E. Webb, The Coaching Workshop -- Participant Manual, 20-49.

[6] Haryanto Kandani dan Timoteus Talip, Becoming High Achiever in The Workplace (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2012) 3-4.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun