Mohon tunggu...
Aprilliyana Mustofa
Aprilliyana Mustofa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Nama: Aprilliyana Mustofa Nim: 43222010026 Prodi: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan: S1 Akuntansi Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   10:43 Diperbarui: 14 Desember 2023   11:18 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat oleh penulis

Nama: Aprilliyana Mustofa

Nim: 43222010026

Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Apa itu Hedonistic Calculus yang diusulkan oleh Jeremy Bentham?

Hedonistic Calculus, yang diusulkan oleh Jeremy Bentham, adalah suatu teori etika utilitarianisme yang berfokus pada prinsip dasar bahwa tindakan moral dapat diukur dan dinilai berdasarkan jumlah kebahagiaan atau kesenangan yang dihasilkan. Dalam pengembangannya, Bentham menyajikan suatu metode perhitungan yang disebut "Hedonistic Calculus" atau "Kalkulus Hedonistik," yang bertujuan untuk mengukur tingkat kebahagiaan atau penderitaan yang dapat timbul dari suatu tindakan atau keputusan.

Jeremy Bentham, seorang filsuf, penulis, dan reformator sosial Inggris abad ke-18, adalah salah satu tokoh sentral dalam perkembangan teori utilitarianisme. Utilitarianisme pada dasarnya menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menghasilkan hasil yang paling banyak menguntungkan bagi sebanyak mungkin orang. Dalam konteks ini, "keuntungan" atau "manfaat" diukur dalam bentuk kebahagiaan atau kesenangan, sedangkan "kerugian" diukur dalam bentuk penderitaan atau ketidakbahagiaan.

Hedonistic Calculus, yang dicetuskan oleh Bentham, adalah suatu alat analisis yang dia rancang untuk membantu menilai apakah suatu tindakan akan menghasilkan lebih banyak kesenangan daripada penderitaan. Metode ini terdiri dari beberapa kriteria yang dapat diukur dan diterapkan pada situasi atau tindakan tertentu. Adapun kriteria-kriteria tersebut melibatkan sejumlah variabel yang harus dipertimbangkan:

  • Intensitas : Seberapa kuat atau lemah kebahagiaan atau penderitaan yang mungkin timbul dari suatu tindakan. Intensitas menjadi faktor penting dalam menentukan nilai kebahagiaan atau penderitaan yang mungkin dihasilkan.
  • Durasi: Seberapa lama dampak kebahagiaan atau penderitaan akan berlangsung. Bentham menganggap durasi sebagai faktor yang perlu diperhitungkan, karena dampak jangka panjang mungkin lebih signifikan dibandingkan dengan dampak yang hanya bersifat sementara.
  • Kepastian atau ketidakpastian: Seberapa yakin kita bahwa suatu tindakan akan menghasilkan kebahagiaan atau penderitaan. Tingkat ketidakpastian dapat mempengaruhi penilaian terhadap suatu tindakan.
  • Kepentingan pribadi: Seberapa banyak orang yang akan terpengaruh oleh tindakan tersebut. Bentham berpendapat bahwa kepentingan setiap individu harus dianggap sama pentingnya, dan tidak boleh ada diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu.
  • Jumlah: Berapa banyak orang yang akan mengalami kebahagiaan atau penderitaan sebagai hasil dari suatu tindakan. Jumlah orang yang terlibat menjadi faktor penting dalam menentukan dampak keseluruhan suatu tindakan.
  • Saatnya terjadi: Kapan dampak kebahagiaan atau penderitaan akan terjadi. Bentham mengakui bahwa kebahagiaan yang terjadi segera lebih bernilai daripada kebahagiaan yang tertunda.
  • Kemungkinan dampak yang terjadi lagi: Sejauh mana suatu tindakan dapat menghasilkan konsekuensi yang berulang atau terus-menerus.
  • Kemurnian: Sejauh mana kebahagiaan murni, tanpa campuran penderitaan, dapat dihasilkan oleh suatu tindakan.

Hedonistic Calculus ini, pada dasarnya, adalah usaha untuk mengukur dan membandingkan kuantitas kebahagiaan dan penderitaan yang mungkin timbul dari suatu tindakan. Meskipun metode ini memberikan suatu pendekatan sistematis untuk mengevaluasi tindakan etis, kritik terhadapnya melibatkan kompleksitas realitas manusia yang sulit diukur secara obyektif dan ketidakmungkinan mengukur dengan tepat nilai-nilai subjektif seperti kebahagiaan. Meskipun demikian, kontribusi Bentham terhadap perkembangan teori utilitarianisme, termasuk Hedonistic Calculus-nya, tetap menjadi bagian integral dari sejarah filsafat etika.

Filosofi Hedonistic Calculus, yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham, mencerminkan pandangan utilitarianisme yang bersifat konsekuensialis dalam etika. Utilitarianisme menganggap kebahagiaan sebagai tujuan akhir dan menekankan bahwa tindakan yang benar atau etis adalah tindakan yang menghasilkan hasil yang paling banyak menguntungkan bagi sebanyak mungkin orang. Hedonistic Calculus adalah suatu upaya untuk memberikan metode terukur dan sistematis dalam menilai tingkat kebahagiaan atau kesenangan yang dihasilkan oleh suatu tindakan.

Salah satu dasar filosofis Hedonistic Calculus adalah pandangan bahwa kebahagiaan atau kesenangan adalah satu-satunya hal yang memiliki nilai intrinsik. Bentham berpendapat bahwa semua tindakan dapat diukur berdasarkan dampaknya pada kebahagiaan atau penderitaan, dan kuantitas kebahagiaan ini menjadi standar untuk menilai moralitas suatu tindakan. Dalam konteks ini, filosofi ini memandang manusia sebagai makhluk rasional yang secara alamiah mencari kebahagiaan.

Gambar dibuat oleh penulis
Gambar dibuat oleh penulis

Pada intinya, Hedonistic Calculus mengajukan pertanyaan mendasar tentang konsekuensi suatu tindakan: sejauh mana tindakan tersebut meningkatkan atau mengurangi jumlah keseluruhan kebahagiaan dalam masyarakat? Filosofi ini menekankan aspek empiris dan rasional dalam menilai nilai moral, menganggap bahwa nilai etika dapat diukur dan dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti intensitas, durasi, kepastian, dan jumlah orang yang terpengaruh.

Mengapa Jeremy Bentham mengembangkan konsep Hedonistic Calculus?

Dalam mengaplikasikan Hedonistic Calculus, Bentham mengusulkan suatu perbandingan kuantitatif yang sistematis terhadap tingkat kebahagiaan dan penderitaan yang mungkin timbul dari suatu tindakan. Kriteria ini mencakup pertimbangan atas sejauh mana suatu tindakan dapat memberikan kebahagiaan atau penderitaan, berapa lama dampak tersebut akan berlangsung, seberapa pasti hasilnya, berapa banyak orang yang terlibat, dan sejauh mana dampak tersebut dapat terjadi lagi.

Meskipun memiliki pendekatan yang logis dan terukur, filosofi Hedonistic Calculus juga mendapatkan kritik. Kritik utama mencakup kesulitan dalam mengukur secara objektif kebahagiaan atau penderitaan, serta masalah dengan asumsi dasar bahwa semua bentuk kebahagiaan dan penderitaan dapat diukur dan dibandingkan. Selain itu, kekhawatiran muncul tentang bagaimana menyikapi situasi di mana tindakan yang tampaknya menghasilkan lebih banyak kebahagiaan secara kuantitatif dapat melibatkan pelanggaran etika atau prinsip-prinsip moral yang lebih mendalam.

Meskipun demikian, konsep Hedonistic Calculus memberikan sumbangan penting dalam pengembangan etika utilitarianisme. Filosofi ini membuka jalan bagi perdebatan etika yang lebih luas tentang nilai kebahagiaan dan konsekuensialisme. Di samping itu, gagasan Bentham juga memicu perkembangan teori utilitarianisme selanjutnya, termasuk konsep kebahagiaan yang lebih tinggi yang diperkenalkan oleh John Stuart Mill. Dalam konteks filosofis, Hedonistic Calculus tetap menjadi topik menarik yang merangsang pertanyaan fundamental tentang sifat kebaikan dan moralitas.Top of Form

Maka dari itu, Hedonistic Calculus yang diusulkan oleh Jeremy Bentham memiliki dampak signifikan dalam perkembangan teori etika utilitarianisme. Meskipun metodenya telah menjadi dasar bagi banyak pemikiran etika, terdapat berbagai aspek dan implikasi yang dapat dijelaskan lebih lanjut terkait dengan pendekatan ini.

Salah satu keunggulan dari Hedonistic Calculus adalah pendekatannya yang sistematis dan terstruktur dalam mengukur konsekuensi etis suatu tindakan. Dengan mengidentifikasi kriteria seperti intensitas, durasi, dan jumlah orang yang terpengaruh, Bentham mencoba memberikan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan dampak tindakan secara holistik. Ini memberikan arah yang jelas dalam menilai apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindakan moral atau tidak.

Namun, kritik terhadap Hedonistic Calculus muncul dalam berbagai bentuk. Salah satu kritik utama adalah kesulitan dalam mengukur dan membandingkan kebahagiaan atau penderitaan secara objektif. Sifat subjektif dari pengalaman manusia membuat sulit untuk mengaplikasikan kriteria-kriteria tersebut dengan konsistensi. Apa yang mungkin memberikan kebahagiaan bagi satu individu tidak selalu berlaku untuk individu lainnya, dan tingkat intensitas atau durasi suatu pengalaman dapat bervariasi secara signifikan.

Selain itu, Hedonistic Calculus juga dianggap terlalu simplistik dalam memperlakukan semua bentuk kebahagiaan dan penderitaan sebagai setara. Beberapa kritikus berpendapat bahwa aspek-aspek moral, intelektual, atau estetika dari kehidupan manusia tidak dapat sepenuhnya diukur dengan menggunakan metode ini. Dengan fokus pada kuantitas, terdapat kekhawatiran bahwa kualitas pengalaman manusia diabaikan.

Dalam perkembangan lebih lanjut dari utilitarianisme, tokoh seperti John Stuart Mill memperkenalkan perbedaan antara kebahagiaan yang lebih rendah dan kebahagiaan yang lebih tinggi. Mill mengklaim bahwa kebahagiaan yang lebih tinggi, yang melibatkan aspek-aspek seperti kebebasan, keadilan, dan pencapaian pribadi, memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kebahagiaan yang lebih rendah. Meskipun demikian, konsep-konsep ini tidak sepenuhnya dapat diakomodasi oleh Hedonistic Calculus Bentham.

Penting untuk dicatat bahwa, sambil mengakui keterbatasan Hedonistic Calculus, sumbangannya terhadap etika utilitarianisme dan filsafat etika secara umum tidak dapat diabaikan. Bentham membuka jalan bagi pembicaraan tentang penilaian etis berdasarkan konsekuensi, dan meskipun metodenya mungkin tidak selalu dapat diaplikasikan dengan mudah, konsep-konsep yang diperkenalkan oleh Bentham tetap relevan dan memicu perdebatan filosofis yang substansial.

Dengan menggabungkan elemen-elemen ini, dapat disimpulkan bahwa Hedonistic Calculus adalah suatu konsep yang ambisius namun memiliki tantangan tersendiri dalam mengukur kebahagiaan dan penderitaan secara obyektif. Meskipun telah melahirkan berbagai diskusi dan kritik, warisannya tetap memainkan peran penting dalam pengembangan teori etika utilitarianisme dan membentuk dasar bagi pemikiran etika kontemporer.

Jeremy Bentham mengembangkan konsep Hedonistic Calculus sebagai bagian integral dari upayanya untuk membentuk dasar etika yang sistematis dan terukur. Pada abad ke-18, Bentham hidup di tengah-tengah perubahan sosial dan politik yang signifikan di Inggris, dan melalui pemikirannya, ia berusaha memberikan fondasi filosofis yang dapat membimbing tindakan dan kebijakan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan sosial secara maksimal.

Bentham secara substansial dipengaruhi oleh pandangan empiris dan rasionalis pada zamannya. Sambil mempertimbangkan dampak Revolusi Ilmiah dan Revolusi Industri, ia berusaha menyusun suatu teori etika yang dapat bersifat objektif dan dapat diukur. Utilitarianisme, yang dipegang oleh Bentham, menekankan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan hasil terbaik secara keseluruhan untuk sebanyak mungkin orang. Namun, untuk menjadikan utilitarianisme lebih dari sekadar prinsip umum, Bentham merasa perlu untuk mengembangkan suatu metode yang dapat mengukur dampak konsekuensi suatu tindakan secara lebih konkret.

Hedonistic Calculus muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan tersebut. Bentham berpendapat bahwa kebahagiaan atau kesenangan adalah satu-satunya hal yang bernilai intrinsik dan dapat diukur secara obyektif. Dengan merinci kriteria-kriteria seperti intensitas, durasi, kepastian, jumlah, dan lain-lain, Bentham mencoba menyediakan alat analisis yang dapat digunakan untuk memutuskan apakah suatu tindakan lebih cenderung menghasilkan kebahagiaan bersih atau penderitaan.

Selain dorongan empirisnya, Bentham juga memiliki niat untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan efisien. Pendekatan utilitarianisme yang digagasnya bersifat konsekuensialis, dan oleh karena itu, tindakan atau kebijakan yang diadopsi harus dievaluasi berdasarkan dampak keseluruhan pada kebahagiaan masyarakat. Dengan menyajikan metode kalkulasi seperti Hedonistic Calculus, Bentham berusaha memberikan landasan bagi penilaian yang lebih terinci dan ilmiah dalam menyusun hukum dan kebijakan.

Selain itu, Bentham terinspirasi oleh gagasan-gagasan ilmu ekonomi pada zamannya. Dalam pandangan utilitarianisme Bentham, manusia dikonsepsikan sebagai makhluk rasional yang berorientasi pada pencarian kebahagiaan. Oleh karena itu, ia melihat kebahagiaan sebagai nilai utama yang dapat dikejar dan diukur dengan cara yang mirip dengan pengukuran ekonomi. Dalam hal ini, Hedonistic Calculus mirip dengan analisis ekonomi utilitarian, di mana dampak suatu tindakan diukur dengan mempertimbangkan variabel-variabel tertentu yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat.

Pada intinya, Bentham mengembangkan Hedonistic Calculus karena ia ingin memberikan dasar ilmiah dan terukur untuk etika utilitarianismenya. Dengan merinci kriteria-kriteria tersebut, ia berharap dapat membimbing manusia dalam mengambil keputusan yang lebih baik, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam merancang struktur sosial dan hukum. Meskipun metodenya telah mendapat kritik dan perdebatan, kontribusinya tetap relevan dalam sejarah pemikiran etika, memberikan landasan bagi pemikiran etika konsekuensialis dan terus menginspirasi perdebatan filosofis tentang sifat kebaikan dan moralitas.

Bagaimana Hedonistic Calculus dapat diterapkan untuk menganalisis fenomena kejahatan korupsi?

Hedonistic Calculus, yang diusulkan oleh Jeremy Bentham, dapat diaplikasikan secara relevan untuk menganalisis fenomena kejahatan korupsi yang kompleks. Ketika diterapkan pada konteks kejahatan korupsi, Hedonistic Calculus menyediakan kerangka kerja yang dapat membantu dalam memahami dan mengevaluasi dampak dari tindakan korupsi terhadap masyarakat. Analisis ini melibatkan penerapan kriteria-kriteria seperti intensitas, durasi, kepastian, jumlah, dan variabel lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan atau penderitaan yang mungkin timbul dari perbuatan korupsi.

Pertama-tama, dalam konteks intensitas, Hedonistic Calculus dapat membantu mengukur sejauh mana tindakan korupsi tersebut memiliki dampak pada kebahagiaan atau penderitaan. Tergantung pada skala dan lingkup korupsi, intensitas dapat bervariasi. Misalnya, korupsi yang melibatkan jumlah uang besar atau kebijakan yang merugikan banyak orang dapat dianggap memiliki intensitas tinggi karena dampaknya yang signifikan terhadap kebahagiaan masyarakat.

Durasi merupakan faktor kritis dalam Hedonistic Calculus, dan dalam kasus korupsi, dapat mencakup seberapa lama efek merugikan dari korupsi tersebut dirasakan oleh masyarakat. Korupsi yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dapat memiliki dampak yang lebih berkelanjutan dan merugikan, memberikan bobot lebih tinggi dalam perhitungan keseluruhan konsekuensi etis.

Kepastian atau ketidakpastian dalam hasil korupsi juga menjadi pertimbangan penting. Jika korupsi memiliki kemungkinan terjadi lagi atau menjadi norma dalam sistem, maka tingkat kepastian akan menjadi faktor yang mempengaruhi evaluasi etisnya. Ketidakpastian dapat meningkatkan tingkat penderitaan karena menciptakan ketidakstabilan dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Jumlah orang yang terlibat atau terdampak oleh korupsi juga menjadi kriteria penting. Semakin banyak orang yang merasakan dampak buruk dari korupsi, semakin besar jumlahnya dalam perhitungan Hedonistic Calculus. Korupsi yang merugikan banyak orang dapat dianggap lebih tidak etis dibandingkan dengan kasus yang hanya merugikan sedikit orang.

Saatnya terjadi adalah aspek penting dalam analisis Hedonistic Calculus. Dalam konteks korupsi, dampak jangka pendek atau jangka panjang dari tindakan tersebut dapat mempengaruhi penilaian etisnya. Misalnya, korupsi yang memberikan keuntungan segera mungkin memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan korupsi yang menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang.

Kemungkinan dampak yang terjadi lagi juga dapat menjadi kriteria yang relevan dalam menganalisis korupsi. Jika suatu sistem atau lingkungan mendukung dan memfasilitasi korupsi berulang, maka efek negatifnya dapat terus berlanjut. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana masyarakat mengalami penderitaan berulang karena korupsi yang tidak terkendali.

Kemurnian, atau sejauh mana suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan murni tanpa campuran penderitaan, dapat diartikan sebagai keberlanjutan kebijakan atau tindakan korupsi dalam jangka panjang. Jika suatu tindakan korupsi terus-menerus merugikan masyarakat tanpa adanya kompensasi atau perbaikan, maka dapat dianggap memiliki dampak yang kurang murni.

Dalam konteks kejahatan korupsi, faktor kemungkinan sanksi hukum juga perlu dipertimbangkan. Hedonistic Calculus dapat membantu memahami apakah ancaman atau penerapan hukuman memiliki potensi untuk mengurangi tingkat korupsi dengan menciptakan kepastian bahwa tindakan tersebut akan dihukum.

Penerapan Hedonistic Calculus dalam analisis korupsi dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsekuensi etis dari tindakan tersebut. Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria ini, kita dapat mengukur dan membandingkan tingkat kebahagiaan dan penderitaan yang dihasilkan oleh korupsi dalam masyarakat. Analisis ini dapat membantu pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat untuk membuat keputusan yang lebih informasional dan berdasarkan data untuk mengurangi dampak negatif korupsi dan mempromosikan kesejahteraan sosial.

Selain itu, dalam menerapkan Hedonistic Calculus untuk menganalisis fenomena kejahatan korupsi, perlu juga mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan politik yang dapat memengaruhi penilaian terhadap konsekuensi etis. Bentham menciptakan Hedonistic Calculus dalam konteks utilitarianisme, yang menekankan pada prinsip kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Namun, keterbatasan metode ini muncul ketika menghadapi realitas kompleksitas kehidupan sosial.

Dalam banyak kasus, korupsi dapat terjadi dalam konteks budaya tertentu di mana praktik korupsi dianggap sebagai norma atau bahkan diterima sebagai bagian dari sistem nilai masyarakat. Hedonistic Calculus mungkin kurang efektif dalam mengukur dampak korupsi dalam budaya seperti ini, di mana beberapa orang mungkin menganggap kebahagiaan mereka terkait erat dengan keberhasilan atau keuntungan pribadi yang diperoleh melalui tindakan korupsi.

Selain itu, aspek keadilan dan distribusi hasil dari tindakan korupsi perlu diperhitungkan. Meskipun Hedonistic Calculus mengevaluasi jumlah keseluruhan kebahagiaan dan penderitaan, mungkin tidak secara langsung menangkap ketidaksetaraan yang mungkin timbul dari tindakan korupsi. Jika korupsi menyebabkan redistribusi sumber daya atau peluang yang tidak adil, maka aspek keadilan sosial dan distribusi kebahagiaan perlu diperhatikan secara khusus.

Sementara Hedonistic Calculus dapat membantu mengukur dampak langsung korupsi pada tingkat kebahagiaan atau penderitaan masyarakat, metode ini mungkin kurang mampu mengukur dampak jangka panjang dan tidak langsung. Dalam beberapa kasus, korupsi dapat merusak struktur sosial dan ekonomi dalam jangka panjang, menyebabkan kepercayaan publik yang rusak, kurangnya investasi asing, atau ketidakstabilan politik. Faktor-faktor ini dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan penilaian mereka memerlukan pertimbangan tambahan yang mungkin tidak sepenuhnya tertangkap oleh Hedonistic Calculus.

Selanjutnya, dalam mengaplikasikan Hedonistic Calculus pada korupsi, penting untuk mengakui bahwa kebahagiaan dan penderitaan dapat bervariasi secara subjektif. Tidak semua orang akan merespons tindakan korupsi dengan cara yang sama, dan interpretasi kebahagiaan atau penderitaan dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, latar belakang sosial, dan posisi ekonomi. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan kerangka nilai yang beragam dalam masyarakat untuk memahami dengan lebih akurat dampak psikologis dan emosional dari korupsi.

Gambar dibuat oleh penulis
Gambar dibuat oleh penulis

Selain itu, Hedonistic Calculus dapat diterapkan untuk menganalisis efektivitas kebijakan anti-korupsi dan penegakan hukum. Pertimbangan atas efektivitas sanksi atau tindakan pencegahan dalam mengurangi tingkat korupsi dapat diukur menggunakan kriteria-kriteria yang diajukan oleh Hedonistic Calculus, seperti kepastian, intensitas, dan durasi. Analisis semacam itu dapat membantu merancang kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah korupsi.

Dengan demikian, meskipun Hedonistic Calculus memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk mengukur konsekuensi etis dari korupsi, diperlukan pemahaman kontekstual yang mendalam dan pengakuan terhadap kompleksitas faktor-faktor sosial dan budaya. Integrasi faktor-faktor ini dapat memperkaya analisis dan memastikan bahwa penilaian etis lebih holistik, sesuai dengan realitas masyarakat yang kompleks dan bervariasi.

Kesimpulannya, Hedonistic Calculus yang diusulkan oleh Jeremy Bentham memberikan kerangka kerja yang sistematis dan terukur untuk menganalisis dampak etis dari suatu tindakan, termasuk fenomena kejahatan korupsi. Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria seperti intensitas, durasi, kepastian, jumlah, dan variabel lainnya, Hedonistic Calculus dapat membantu mengukur tingkat kebahagiaan atau penderitaan yang mungkin timbul dari tindakan korupsi.

Namun, dalam menerapkan Hedonistic Calculus pada konteks korupsi, perlu diakui bahwa realitas sosial, budaya, dan politik dapat memengaruhi penilaian terhadap konsekuensi etis. Budaya di mana korupsi dianggap sebagai norma atau bahkan diterima dapat membuat evaluasi terhadap kebahagiaan atau penderitaan menjadi lebih kompleks. Selain itu, aspek keadilan, distribusi hasil, dan dampak jangka panjang korupsi perlu diperhitungkan secara khusus.

Penting juga untuk memahami bahwa Hedonistic Calculus mungkin tidak sepenuhnya mampu mengukur dampak jangka panjang dan tidak langsung dari korupsi, seperti kerusakan struktur sosial, kepercayaan publik yang rusak, atau dampak ekonomi dan politik yang mungkin terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, analisis terhadap korupsi juga memerlukan pertimbangan tambahan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Selain itu, dalam mengaplikasikan Hedonistic Calculus pada korupsi, perlu diingat bahwa persepsi kebahagiaan atau penderitaan dapat bervariasi secara subjektif. Faktor-faktor seperti nilai budaya, latar belakang sosial, dan posisi ekonomi dapat memengaruhi cara orang menilai dampak korupsi terhadap kehidupan mereka. Oleh karena itu, untuk memahami lebih akurat dampak psikologis dan emosional korupsi, perlu memperhitungkan kerangka nilai yang beragam dalam masyarakat.

Meskipun demikian, Hedonistic Calculus tetap menjadi alat analisis yang berharga dalam membantu merinci dan memahami konsekuensi etis dari korupsi. Dengan mengintegrasikan kriteria-kriteria yang diajukan oleh Hedonistic Calculus, kita dapat menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak korupsi pada kebahagiaan masyarakat dan merancang kebijakan yang lebih efektif dalam memerangi fenomena ini. Sebagai suatu metode, Hedonistic Calculus dapat memberikan kontribusi

penting dalam memandu upaya pencegahan korupsi dan menciptakan lingkungan sosial yang lebih adil dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Ainullah, A. (2017). Penerapan Teori Kemanfaatan Hukum (Utilitarianisme) Dalam Kebijakan Pembatasan Usia Pernikahan. Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, 3(1), 86-97.

Hadiyanto, Y. (2022). Rekonstruksi Regulasi Pemidanaan Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri Berbasis Kemanfaatan (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

Hamudy, N. A. (2019). Evictions In Jakarta From The View Of Utilitarianism. Jurnal Bina Praja: Journal Of Home Affairs Governance, 11(1), 75-86.

Kelik Wardiono, S. H., & Saepul Rochman, S. H. (2020). Filsafat Hukum: Dialektika Wacana Modernis. Muhammadiyah University Press.

Mubarok, A. S. (2017). Rekaman Closed Circuit Television Dalam Pembuktian Tindak Pidana Di Indonesia (Doctoral Dissertation, Untag Surabaya).

Panggabean, M. L. (2017). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana. Dictum, 1, 25-43.

Rozi, R. M., & Sh, M. (2021). Formulasi Aspek Pidana Pada Kartel Di Indonesia. Inara Publisher.

Safudin, E., Baihaqi, A., Syakirin, A., Imtihanah, A. H., Kususiyanah, A., Pahlevi, F. S., & Abdullah, F. (2022). Memahami Teori Hukum: Percikan Pemikiran Ilmu Hukum Lintas Mazhab. Q Media.

Setiawan, F. R. (2015). Makan Sebagai Aktivitas Produktif: Tinjauan Filosofis Tentang Makan Dari Perspektif Foucaultian. Melintas, 31(3), 303-335.

Sigit Jatmiko, S. J. (2020). Penyitaan Kendaraan Bermotor Sebagai Barang Bukti Tindak Pidana Pencurian Yang Masih Dalam Objek Jaminan Fidusia (Doctoral Dissertation, Universitas Batanghari).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun