Oleh: Apriliyantino
Zain belum sepenuhnya percaya pada kenyataan yang sedang dihadapinya. Jauh-jauh dia ke Palembang hanya untuk memenuhi janji masa lalu. Bertemu Rindu di tempat biasa, seperti sepuluh tahun lalu. Ia pun tak benar-benar mengerti betapa kekuatan rasa mendorong dan memberinya energi sehingga niat menjelma gerak dan tindakan. Pertemuan pun terjadi.
Kini tepat di hadapannya, seorang wanita yang sangat dikenalnya, melambaikan tangan padanya. Masih dengan postur tinggi semampai yang sama, ia terpana. Ada getar yang tiba-tiba saja mendera hatinya. Sesuatu yang sepuluh tahun lalu berakhir sendu. Sesuatu yang ia sempat kubur sebagai debu.
"Apa kabar?" Zain mencoba memulai kata sebelum Rindu membuka suara. Dalam sekejap, mereka berdua bersitatap. Mencoba menemukan sisa-sisa masa lalu yang nyatanya tak banyak berubah. Sepuluh tahun terpisah jarak dan terjeda waktu sejak pertemuan terakhir di gedung perpustakaan kampus sore itu.
"Alhamdulillah, baik. Mas sendiri?" jawab Rindu sambil menunjuk ke arah bench kosong di di depan kompleks ruko di seputaran International Plaza (IP) Pelambang. Zain mengikutinya. Jelas di depannya, sosok yang selama sepuluh tahun ini tak pernah ia temui. Ia tetap dengan langkah gemulai yang khas. Sekilas saja, Zain bisa menilai jika Rindu tetap merawat tubuhnya dengan baik. Meskipun ia tahu jika wanita di dekatnya itu kini telah memiliki tiga orang anak.
Angin kering menerpa keduanya. Udara panas Kota Palembang seolah mendidihkan rasa di dalam dada mereka. Sesekali kedua saling pandang, lalu tersenyum ke arah lain. Ada sipu yang tak hendak mereka perlihatkan satu sama lain. Keduanya masih tak benar-benar percaya bahwa saling sapa di dunia maya membawa mereka pada nostalgia dan akhirnya mempertemukan mereka lagi.
"Yuk kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol. Kita makan martabak HAR, mau?" Rindu memecah suasana canggung yang meliputi keduanya. Di seberang jalan, sebuah gerai martabak telor, tempat yang tidak asing lagi bagi keduanya. Dulu, sewaktu mereka masih sama-sama dibangku kuliah, beberapa kali pernah makan martabak telor di tempat itu. Mereka akhirnya sepakat untuk ke lantai dua. Dari balik kaca jendela, keriuhan kota bisa dipantau di bawah sana.
"Kupikir dirimu akan berubah. Nyatanya, kau masih seperti dulu. Kenapa begitu?" Rindu mendesakkan tanya yang lumayan sulit untuk dijawab seketika. Zain menyeruput es teh yang mereka pesan. Sementara martabak HAR masih dalam proses penggorengan.
"Iyakah? Apa kau lupa kaidah lama, tentang manusia yang terus berubah? Man changed by the time, huh?" Zain buru-buru mencari kalimat sebagai tameng atas pertanyaan filosofis itu. Rindu mengulum senyum. Ia tampak menikmati percakapan itu. Sama seperti dulu ketika masih kuliah di Inderalaya. Momen ketika semesta memberi mereka berdua banyak kesempatan untuk bertemu.
"Aku percaya itu. Namun di mataku, tak banyak yang berubah pada dirimu," Rindu tetap pada sudut pandangnya sendiri. Zain tak berubah. Mereka berdua tertawa. Beberapa pasang mata para penjaga kedai mengarah kepada mereka. Suasana yang sepi sebab masih masa pandemi COVID-19, membuat sepelan apapun percakapan dilakukan, sejelas itu pula suaranya merambati udara dan mendarat ke berbagai telinga. Mereka berdua sukses mencuri perhatian.
Keduanya kembali bersitatap. Tetapi Zain, seperti dulu, tak berani berlama-lama. Sekejap saja ia sudah berpaling ke objek berbeda. Sementara itu, Rindu masih saja mengamati setiap detail dari lelaki itu.