Mohon tunggu...
Feriska Aprillia
Feriska Aprillia Mohon Tunggu... -

Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Ingin Memberdayakan Pers Sebagai Pilar ke-4 Demokrasi

14 Januari 2015   21:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:09 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_390723" align="aligncenter" width="575" caption="Jokowi dan Peran Media - Sumber: Olahan Penulis"][/caption]

Saat memimpin rapat paripurna Kabinet Kerja di kantor Kepresidenan (7/1/2015), Presiden Joko Widodo menyatakan antara lain, "Hasil Analisis Intelijen terhadap 343 media selama dua setengah bulan ini tentang kinerja pemerintahan menunjukan ekspos media ada yang pro dan ada yang kontra terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah. Ekspos media itu belum tentu atau tidak mewakili kinerja pemerintah. Jajaran kabinet kerja diingatkan untuk tidak mengesampingkan liputan media massa, khususnya menyangkut pelaksanaan kegiatan dan pengambilan kebijakan di lingkungan pemerintah".

Sementara itu Wakil Ketua Komisis I DPR-RI Tantowi Yahya dari Partai Golkar (8/1/2015) bereaksi, "Aneh kalau Jokowi saat ini memata-matai pers yang telah membantu mengantarkannya menjadi Presiden. Jokowi menjadikan Analisis Intelijen terhadap media adalah merupakan tindakan mengekang kebebasan pers." (Suara karya, 9/1/2015).

Manajemen Informasi

Vonis Tantowi itu mengingatkan saya akan kata-kata bijak dari William J Stanton, dari Universitas Colorado AS, penulis buku Fundamentals of Marketing. Ia mengatakan"Me-manage masa depan ialah dengan me-manage informasi".Untuk mengelola informasi, konsep negara berparadigma otoriter seperti Indonesia di era Orde Baru berbeda dengan konsep demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Di Era Orde Baru, penguasa rezim me-manage informasi bertujuan untuk mengendalikan media massa dan membredel dan atau mengkriminalkan media yang isinya tidak berkenan di hati penguasa rezim.

Di Kementerian Penerangan dan Lembaga-lembaga Intelijen ada unit kerja yang tugasnya memonitor semua mediamassa dan melakukan kajian serta analisi intelijen terhadap media yang beritanya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah terancam di bredel dan atau di kriminalkan. Di negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan pers, kegiatan memonitor, mengkaji dan melakukan analisis intelijen terhadap isi media massa justru bertujuan untuk memberdayakan media sebagai kekuatan keempat demokrasi seperti beberapa contoh berikut:

Di era Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta (1966-1977), meskipun Presiden Soeharto otoriter, dirinya justru menghargai dan melindungi kebebasan pers. Dibawah pemerintahannya terdapat unit kerja yang tugasnya membaca semua surat kabar, kemudian memberi warna merah dengan stabilo setiap kolom berita yang negatif terhadap kinerja pemerintah Provinsi Jakarta. Setiap pagi Ali Sadikin memulai pekerjaannya dengan terlebih dahulu membaca kolom berita yang berwarna merah. Dia memerlukan kontrol dan kritik pers sebagaimasukan untuk melakukan perbaikan kinerja pemerintahannya.Dengan menghargai kontrol dan kritik pers terbukti pemerintahan Ali Sadikin dipuji publik sebagai success story.

Ketika menjadi salah satu Ketua Serikat Penerbitan Surat Kabar (SPS), saya berkesempatan studi banding ke Washington dalam program "Bagaimana Membangun Interaksi Positif Pers, Pemerintah dan Masyarakat". Ketika itu tahun terakhir masa bakti pertama Bill Clinton menjadi Presiden AS (1992-1996). Saya menemukan, di bawah National Security Agency terdapat unit kerja yang tugasnya memonitor, mengkaji, dan melakukan analisis intelijen terhadap isi media massa. Fokusnya ialah berita-berita negatif. Kemudia unit kerja itu merumuskan draf saran tindak dalam beberapa opsi. Hasil akhir dari unit kerja itu menjadi bahan masukan bagi Presiden AS untuk melakukan perbaikan kebijakan dalam rangka semakin meningkatkan efektivitas pemerintahan. Kebijakan pemerintah AS yang mendengar kontrol dan kritik pers, dan mengakomodasinya menjadi bahan masukan untuk perbaikan kebijakan pemerintah merupakan wujud pengakuan negara terhadap peran pers sebagai kekuatan keempat demokrasi.

Dari uraian diatas, kira-kira kemana arah kebijakan pers Jokowi dengan unit kerjanya yang bertugas memonitor, mengkaji dan melakukan analisis intelijen terhadap isi media massa? Apakah dia bertujuan untuk mengendalikan, membredel dan atau mengkriminalkan pers? atau Jokowi justru ingin memberdayakan peran media sebagai pilar keempat ?

Bagi Jokowi, demokrasi ialah mendengar suara rakyat. Untuk dapat mendengar aneka ragam suara rakyat (diverse voices), strateginya pasti bukan dengan meniadakan kebebasan pers, tetapi dengan melindungi dan menjamin kebebasan pers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun