Sebenarnya saya sudah memiliki rencana untuk membuat satu tulisan khusus untuk KAI. Sayangnya, belum sempat saya eksekusi.
Terlebih ada beberapa kenangan yang menurut saya sangat berkesan dan tidak mungkin tidak diceritakan.
Jadi, agar hati menjadi lega dan hitung-hitung membalas 'utang rasa' saya kepada KAI, maka saya buat tulisan yang cukup panjang ini.
Melihat Kembali KAI Semasa Kecil
Sejak masih ingusan, KA Matarmaja kelas ekonomi selalu jadi andalah saya dan ibu kala mengunjungi saudara di Jakarta.
Di ingatan masa kecil saya (tahun 2000-an), harga tiket masih 20ribuan dan dapat dipesan di hari yang sama saat keberangkatan.
Kondektur masih keliling untuk melubangi tiket, pedagang asongan dan rames yang naik turun kereta dengan leluasa, hingga toilet yang pesing dan kumuh.
Hingga suatu masa, ada kejadian yang membuat saya agak trauma naik kereta.
Saya dan Ibu pernah kehabisan tiket saat akan pulang ke Blitar dari Jakarta. Seingat saya, satu-satunya KA yang ke Blitar dan harganya terjangkau saat itu hanya Matarmaja.
Karena kami harus pulang hari itu juga, akhirnya mau tidak mau Ibu membeli tiket lewat calo yang saat itu masih sangat umum di stasiun.
Setelah membayar, tiket yang kami dapatkan rupanya tidak memiliki nomor kursi, kami mengira semua tiket memang seperti itu.